DENPASAR, Balipolitika.com– Tagar #kamibersamapetruk, #savepetruk, dan sejenisnya mulai bermunculan di berbagai lini media sosial pasca kabar viral tidak tampilnya seniman legendaris I Nyoman Subrata alias Petruk (76 tahun) di Panggung Ardha Chandra Art Centre, Denpasar serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025, Rabu, 2 Juli 2025 mendatang.
Solidaritas dukungan terhadap sang legenda hidup drama gong Bali kelahiran Bangli, 1 September 1949 yang berkarier sejak tahun 1975 atau 50 tahun lamanya itu semakin menguat setelah Sang Ketut Arka alias Ajik Perak (70 tahun) memilih untuk undur diri dari PKB 2025.
Banyak pihak menilai acuan “norma kesopanan” yang dijadikan dasar “memblokir” Petruk untuk pentas bernuansa politis.
Dengan kata lain, Petruk diblokir tampil karena kritikannya di atas panggung ditakutkan membuat banyak telinga “panas”.
Merespons kondisi itu, Wakil Ketua DPRD Kota Denpasar yang juga Ketua DPC Partai Gerindra Kota Denpasar, Ida Bagus Yoga Adi Putra, S.H., M.Kn. mengajak semua pihak untuk menghormati sosok Petruk.
Menyimak sederet pementasan sang seniman tiga zaman, Gus Yoga menilai sangat wajar apa yang disajikan I Nyoman Subrata dalam perannya sebagai sosok punakawan Petruk.
Memerankan sosok jenaka yang sesekali kritis, cerdas, dan sabar adalah peran I Nyoman Subrata mewakili kehidupan masyarakat kelas bawah.
Dalam bingkai komedi atau lawakan di atas panggung, Petruk jelas-jelas memahami sor singgih bahasa di Bali karena bahasa kasar yang dilontarkannya dan dicap melanggar norma kesopanan ditujukan kepada lawan mainnya sesama punakawan, di antaranya Dolar.
Istilah “bangsat ci we” yang melekat pada sosok I Nyoman Subrata “Petruk” ini bukan ditujukan kepada penonton, orang yang disujikan, pejabat, atau sejenisnya.
Oleh sebab itu, Gus Yoga mengaku tidak paham norma kesopanan apa yang dilanggar oleh sang seniman legendaris tersebut sesuai penilaian Tim Kurator PKB 2025.
“Saya pribadi yakin masyarakat Indonesia, khususnya Bali mengetahui posisi I Nyoman Subrata “Petruk”. Sebagai seorang seniman yang dituntut menghadirkan gelak tawa penonton agar laku “diupah”, tentu ia dituntut berimprovisasi menghibur penonton. Mungkin para kurator yang melabeli Kak Petruk melanggar norma kesopanan ini perlu memberikan contoh bagaimana caranya bertutur kata di atas panggung agar penonton tertawa dengan bahasa-bahasa sopan dimaksud,” tandas Gus Yoga.
Di sisi lain, Gus Yoga menilai kehadiran Petruk dan seniman lawak lainnya justru menjadi tantangan tersendiri bagi seorang pemimpin dalam menyikapi kritik dari masyarakat dengan tenang dan berbesar hati.
“Intinya, saya pikir para pemimpin atau pejabat harus legowo menerima kritik dengan lapang dada. Lebih-lebih kritik tersebut adalah fakta. Saya pribadi menganggap kritik justru sesuatu yang membuat diri saya harus berbuat lebih baik lagi ke depan. Bukankah kritik yang disampaikan dengan jujur justru menunjukkan kepedulian orang lain terhadap kita? Justru mereka yang diam dan membiarkan situasi buruk terus terjadi tanpa berani mengungkapkan hal sebenarnya berbahaya bagi seorang pemimpin,” ungkap Gus Yoga.
Lebih lanjut, Gus Yoga mengakui dirinya kagum oleh sebuah penggalan ujaran Petruk saat pentas di mana sang seniman mengatakan kritik harus disampaikan langsung di hadapan yang dikritik.
“Ini saya pikir mengajarkan nilai demokrasi hakiki kepada masyarakat untuk berani berbicara di depan; bukan kasak-kusuk di belakang. Dari seniman legendaris Petruk harus diakui kita sudah diajarkan banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Save Petruk!” tutupnya. (bp/ken)