BADUNG, Balipolitika.com– Menghargai seniman legendaris berarti memahami nilai seni yang mereka hasilkan sekaligus kontribusi mereka terhadap dunia seni.
Sayangnya, menyandang status sebagai daerah seni yang kaya dengan berbagai bentuk kesenian tradisional maupun modern, baik berupa seni tari, musik, seni rupa, dan seni pertunjukkan, Pesta Kesenian Bali (PKB) yang pertama kali digelar pada tahun 1979 di era kepemimpinan Gubernur Bali ke-6, Ida Bagus Mantra, kini, justru dinilai melenceng dari fitrahnya.
PKB yang bertujuan untuk melestarikan, memperkenalkan, dan membangkitkan seni serta budaya tradisional Bali sekaligus menjadi wadah bagi para seniman menuangkan kreativitas, faktanya justru “mengekang” kebebasan berekspresi.
Penilaian tersebut dilontarkan oleh Wakil Ketua 1 Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Provinsi Bali, I Wayan Disel Astawa, S.E.
Layaknya pesta, Disel menilai biarlah PKB menjadi perayaan khusus bagi para seniman yang terbukti telah membuat Bali termasyur hingga ke mancanegara.
Politisi asal Desa Ungasan, Badung ini bahkan menilai jauh-jauh hari sebelum ide brilian PKB muncul dan terwujud di tahun 1979, para seniman Bali telah mengharumkan nama Pulau Dewata dengan semangat ngayah bagi leluhur dan Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Salah satu sosok seniman tersebut adalah I Nyoman Subrata alias Petruk (76 tahun).
Politisi partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu menilai I Nyoman Subrata alias Petruk layak menyandang gelar maestro seni lawak Bali.
“Eksistensi I Nyoman Subrata alias Pak Petruk tidak diragukan lagi. Ia berkesenian jauh-jauh hari sebelum Pesta Kesenian Bali (PKB) ada. Tahun ini PKB menginjak pelaksanaan ke-47, sementara Pak Petruk sudah berkesenian di bidang drama gong setengah abad lamanya atau 50 tahun. Saat seorang legenda hidup kesenian Bali masih aktif berkesenian di usia yang sudah sangat tua, yakni 76 tahun lalu diperlakukan seperti ini, ini namanya musibah kebudayaan Bali,” ujar Disel, Kamis, 5 Juni 2025.
Alasan tidak memberikan lampu hijau bagi seorang maestro seni pertunjukkan lawak Bali di panggung Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025, Selasa, 2 Juli 2025 mendatang imbuh Disel adalah kehilangan sekaligus kesedihan mendalam bagi masyarakat Indonesia, khususnya Bali.
“Lebih-lebih alasannya adalah syarat dan ketentuan dari Tim Kurator Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025 di mana Pak Petruk dinilai melanggar norma kesopanan. Mohon tim kurator menjelaskan norma kesopanan seperti apa yang dimaksud sehingga Pak Petruk yang sudah berkesenian di bidang drama modern selama 50 tahun dinilai seperti itu? Apa jadinya pula dengan kelompok-kelompok kesenian asal Buleleng seperti bondres menggunakan bahasa keseharian mereka yakni bahasa kepara khas Buleleng di atas panggung pertunjukkan? Apakah akan dilarang dan dinilai melanggar norma kesopanan?” tanya Disel.
Disel menambahkan sosok Petruk kini berusia tidak muda lagi dan sejatinya sudah tidak membutuhkan panggung, sebaliknya kitalah yang membutuhkan sang maestro tampil di panggung.
“Anehnya, saat Pak Petruk menunjukkan kesediaan untuk pentas di satu sisi Tim Kurator PKB yang terhormat seolah-olah membenturkan sang seniman dengan Paguyuban Peduli Seni Drama Gong Lawas di bawah naungan Yayasan Bali Murda Citta dengan dalih norma kesopanan. Ini serius karena norma kesopanan atau ada udang di balik batu?” sentil Disel.
Seiring viralnya kasus ini, Disel mengaku mendapatkan informasi bahwa seniman legendaris I Nyoman Subrata alias Petruk bukan pertama kali mengalami kejadian serupa, melainkan sudah dua kali lebih.
“Saya sebagai penikmat seni drama gong merasa sedih atas kejadian ini. Tentunya ini juga menjadi kesedihan bagi seluruh pecinta drama gong Bali seiring tidak tampilnya I Nyoman Subrata alias Pak Petruk tahun ini di usia Beliau yang menginjak usia 76 tahun. Ini benar-benar musibah kebudayaan Bali,” tegas Disel.
Lebih jauh, Disel menyanjung tinggi sikap kesetiakawanan yang ditunjukkan seniman legendaris Sang Ketut Arka alias Ajik Perak (70 tahun).
Sikap Ajik Perak yang memutuskan undur diri dari keikutsertaan pentas di Kalangan Ardha Chandra Art Centre, Denpasar, Rabu, 2 Juli 2025 mendatang Disel nilai sebagai sebuah sikap yang harus dihargai masyarakat Indonesia, khususnya Bali.
“Tidak tampilnya dua legenda hidup drama gong Bali era 1980-an, yakni Pak Petruk dan Pak Perak harus menjadi pembelajaran kita bersama ke depan. Kebudayaan harus berpijak pada prinsip universalitas dan kebebasan individu dalam berkarya. Semua pihak harus mendukung seniman dan budayawan berjuang mempertahankan kebebasan berkarya tanpa intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Tanpa seni dan seniman, Bali ini tidak ada apa-apanya,” tutup Disel. (bp/ken)