RABU, 21 Mei 2025 merupakan Hari Baca Nasional di Swiss (Schweizer Vorlese tag). Tradisi baca di Eropa sudah tua, tapi baru delapan tahun silam di Swiss dicanangkan Hari Baca Nasional. Berawal dari gagasan ingin meneguhkan ulang tradisi membaca di kalangan anak-anak di Swiss dari pemerintah. Dimulai dari membaca di tengah keluarga.
Ide awal, agar orang tua atau yang dewasa membaca bersama adik-adiknya di rumah. Membaca menjadikan rasa bangga di tengah keluarga.
Kenapa baru delapan tahun silam dimulai? Aku tak menemukan jawabannya. Dugaanku, karena maraknya digitalisme yang sangat mewah, sehingga anak-anak menyukai menonton atau bermain game ketimbang membaca.
Kampanye membaca ini berlanjut, hingga tak sebatas anak membaca di rumah, tetapi untuk orang dewasa dan umum. Aku teringat ungkapan sastrawan Italia; Ketika di daerah itu tak ada surat kabar, maka kabar burung akan beredar masif.
Rabu malam, 21 Mei 2025 dari pukul 19.00 sampai pukul 21.00, beberapa orang mendatangi kedai kecil Zündhözli di Kota Zug, Swiss. Aku datang bersama dua teman Indonesia, Krisna Diantha dan Meita.
Orang-orang memenuhi ruangan kecil itu dan tujuh orang maju membaca karya sendiri maupun karya penulis lain. Mengingat tak ada pendaftaran, siapa baca apa? Maka setelah acara dibuka oleh Lisa, panitia, calon pembaca dipersilakan maju di kursi empuk yang di atasnya sudah digantungkan lampu.
Sepertinya orang-orang saling menghitung urutan di tempat duduk dan giliranku maju duluan. Aku membawa bukuku sendiri berjudul Zugersee (Danau Zug). Tapi karena durasi baca tiap orang maksimal 7 menit, maka kubaca cerpenku yang lebih pendek berjudul Meine Verlorene Zettel (Catatan Kecilku yang Hilang).
Kisah saat pertama tiba di Swiss dan bekerja di pabrik elektronik bersama para pengungsi dari Sri Lanka dan Eks-Yugoslavia. Suasana kerja yang tak ramah dan keras. Semua omelan teman kerja kucatat dalam kertas kecil, untuk melampiaskan kejengkelan. Lima tahun di pabrik itu, terjadi teror di New York dengan menabrakkan pesawat di gedung WTC. Pabrikku mengurangi 150 karyawan, termasuk aku. Kucari catatan kecilku itu dan tak kutemukan lagi.
Mengingat teks dalam bahasa Jerman, tentu aku sudah berlatih membacanya beberapa hari, jangan sampai keseleo, salah baca dan ucap. Usai baca aku undur diri dan giliran orang lain yang sebagian aku tak kenal. Menariknya usai baca, selalu menuai tepuk tangan.
Ada teman dari Kurdi membacakan karyanya berjudul Putri Raja di Zebra Cross Jalan Raya. Itu kisah pribadinya ketika pertama tinggal di Swiss, saat menyeberang di zebra cross, tak berani menoleh ke sopir mobil, karena begitu tertib. Begitu lampu trafic light merah, seketika pengendara berhenti. Ia bandingkan di Turki, asal ia tinggal. Lima tahun kemudian, ia berubah menulisnya, ketika mulai menemukan kejorokan, ketidakdisiplinan di jalan raya Swiss.
Di tengah acara ada break; minum dan makan roti dengan buah zaitun atau oliven. Pembacaan berlanjut hingga pukul 20.30, kami undur diri.
Usai acara disepakati, nuansa membacakan buku dalam suasana nyaman ini akan dilanjutkan. Bulan Juli depan, aku diminta membuat acara membaca puisi.
Panitia tahu aku telah sekitar sembilan tahun mengadakan Gantungan Puisi (Gedicht Pflücken) di tepi Danau Zug dengan 3 format: membaca puisi, menuliskan puisi dan membawa pulang puisi.
Gerimis mengguyur dan kami meninggalkan tempat.
Zug, 22 Mei 2025
BIODATA
Sigit Susanto lahir di Kendal, 21 Juni 1963. Karya-karyanya antara lain Sosialisme di Kuba (2004), Pegadaian (novel; 2004), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 1 (2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia II (2008), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia III (2012), Kesetrum Cinta (2016), Jejak-Jejak yang Tertinggal (puisi, 2023), Si Bolang dari Baon (novel, 2024). Ia juga menerjemahkan beberapa karya sastra dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia, seperti: Proses karya Franz Kafka (2016), Surat untuk Ayah karya Franz Kafka (2016), Metamorfosis karya Franz Kafka (2018), Percakapan dengan Kafka karya Gustav Janouch (2018), Novelet Catur karya Stefan Zweig dalam proses penerbitan).