BALI, Balipolitika.com – Dalam konteks Hindu di Bali, tamiang memiliki makna yang terkait dengan ritual dan upacara keagamaan.
Tamiang adalah salah satu jenis sesajen atau persembahan, dalam upacara keagamaan Hindu di Bali. Tamiang biasanya terdiri dari bahan-bahan alami seperti daun, bunga, dan biji-bijian yang menjadi sebuah struktur tertentu.
Dalam upacara Kuningan, tamiang memiliki makna sebagai simbol kesucian dan perlindungan. Tamiang sebagai sarana untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari Tuhan kepada umat manusia.
Selain itu, tamiang juga dapat melambangkan hubungan antara manusia dengan alam semesta dan Tuhan.
Dalam konteks ini, tamiang menjadi bagian penting dari ritual keagamaan yang bertujuan memelihara keseimbangan dan harmoni antara manusia dan alam semesta.
Hari suci Kuningan, jatuh pada 3 Mei 2025 dan awalnya adalah penampahan serta akhirnya manis. Arti harfiah dari kata penampahan, adalah menjadikan sesuatu hal itu terpotong atau terpangkas.
Secara makna filsafatnya yang terpotong dan terpangkas adalah hal-hal yang bersifat ahamkara, momo angkara, sifat -sifat kegelapan yang ada dalam diri sebagai umat manusia.
“Semua sifat itu harus terpangkas dengan jalan upacara ‘mabyakala’ secara nyata, tetapi secara tidak nyata kita harus mulat sarira atau koreksi diri agar tidak memunculkan sifat-sifat keraksasaan dan menjadi sifat-sifat kemanusiaan sehingga mempunyai hati nurani,” jelasnya Jero Mangku Ketut Maliarsa.
Di samping itu, menurut lontar Sundarigama arti filsafat hari suci penampahan Kuningan adalah ‘pamyakala kala malaradan’ artinya menghilangkan atau memusnahkan sifat-sifat kebinatangan/ keraksasaan yang ada pada diri manusia.
Hari suci penampahan ini, sebagai puncak para umat Hindu untuk kembali mempertahankan kemenangan Dharma melawan Adharma berupa Ahamkara atau kegelapan yang ada pada angga sarira manusia itu sendiri.
Hal ini berarti agar umat Hindu mampu nyomya bhuta kala yang ada pada diri manusia yang sering juga bernama”nyupat angga sarira”. “Pesan utama arti hari suci penampahan Kuningan adalah menciptakan situasi dan kondisi agar para umat Hindu mampu mulat sarira atau mawas diri,” jelasnya.
Makanya pada hari suci Kuningan ini, para umat Hindu mempersembahkan nasi kuning sebagai lambang kebijaksanaan dan kemakmuran dengan tujuan agar beliau-beliau melimpahkan rahmatnya berupa kesejahteraan, kesuburan, dan rezeki.
“Upacara- upakara ini sebagai wujud ucapan syukur para umat Hindu dan rasa terima kasih kepada semua yang turun dan juga sebagai wujud rasa hormat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, beserta manifestasinya karena telah melimpahkan rahmatnya,” sebut pemangku asal Bon Dalem ini.
Kalau bahasa kerennya “ngaturang suksemaning idep” sebagai umat Hindu kepada-Nya. Hari suci Kuningan jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan, yang sering hari suci atau Tumpek Kuningan yaitu 10 hari setelah hari suci Galungan.
Dan umat Hindu dalam mempersembahkan sesajen berupa bebantenan pada pagi hari, mulai matahari terbit sampai tengah hari. Oleh karena pada pagi hari inilah kita akan mendapat pancaran kesucian dan pancaran vibrasi keheningan.
Serta pada hari suci Kuningan, palinggih juga terhias tamiang sebagai simbol ketajaman pikiran atau sebagai simbol kesucian pikiran.
Serta juga ada endongan, sebagai niyasa perbekalan untuk berperang (dalam berperang melawan Adharma ). Bahkan juga ada tamiang sebagai wujud perlindungan diri dari marabahaya.
Kolem atau pidpid sebagai lambang perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewa, bhatara dan hyang leluhur.
“Pelaksanaan upacara dan upakara pada hari suci Kuningan pada pagi hari, sampai tengah hari juga bermakna bahwa lewat tengah hari para dewa,bhatara ,dewa hyang pitara dan leluhur sudah kembali ke suarga loka,” sebutnya. (BP/OKA)