JEMBRANA, Balipolitika.com- Berbeda dengan warga Kampung Islam di kabupaten/kota se-Bali lain yang menunjukkan toleransi tinggi sekaligus menghormati Catur Brata Penyepian umat Hindu, Sabtu, 29 Maret 2025, warga Kampung Islam Loloan Jembrana justru berbalik 180 derajat.
Mereka dengan santainya malah asyik bersepeda, berkendara motor, bahkan tampak ada aktivitas jual beli dalam video yang viral di lini media sosial.
Tak hanya itu, tampak masyarakat setempat juga tetap menyalakan lampu sebagaimana hari-hari biasanya.
Mirisnya, saat nyaris seluruh pelanggar hari suci Nyepi memohon maaf atas penodaan tersebut baik secara langsung maupun melalui media sosial, warga Kampung Islam Loloan Jembrana terkesan cuek.
Warga Kampung Loloan Jembrana sama sekali tidak menyampaikan permintaan maaf atas pelanggaran kesepakatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) se-Bali terhitung hingga, Selasa, 1 April 2025.
Diberitakan sebelumnya, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) dan Pemerhati Pembangunan Bali, I Gusti Putu Artha menilai warga Kampung Loloan Jembrana yang melanggar surat kesepakatan FKUB se-Bali tidak punya empati.
“Apabila benar sebagaimana terungkap dalam video viral bahwa suasana Kampung Loloan Jembrana demikian ramai, semua keluar ke jalan raya, bebas berkendara, dan lampu menyala bebas saat Nyepi maka sikap saya adalah sebagai berikut,” tulis I Gusti Putu Artha sembari merinci 6 poin sikap.
Pertama, saya menyatakan warga Kampung Loloan tidak memiliki empati dan sikap toleransi untuk dapat sehari saja bersimpati bagi khusyuknya pelaksanaan tradisi Catur Brata Penyepian yang ratusan tahun diwariskan oleh leluhur Bali.
Kedua, sikap yang ditunjukkan warga Kampung Loloan tak mencerminkan sikap di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Ingat Kampung Loloan bagian dari tanah Bali dan Pakraman Desa Adat di Jembrana yang terikat pada tradisi Nyepi yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Kampung Loloan bukan bagian “asing” di tanah Bali yang bisa berbuat sesukanya tanpa berempati atas tradisi Nyepi.
Ketiga, jika benar kata Ipat (Wakil Bupati Jembrana, I Gede Ngurah Patriana Krisna, red) bahwa ini telah terjadi bertahun-tahun suasana hingar bingar ini, saya berpandangan bahwa itu kegagalan pemimpin formal dan pemimpin umat untuk mengejawantahkan sikap toleransi kepada warganya.
Keempat, pembiaran sikap anti toleransi itu amat melukai perasaan umat Hindu Bali yang setia menjaga tradisi leluhurnya menjalankan Nyepi sebagai agenda satu-satunya di dunia yang demikian hening dan sepi dari berbagai kegiatan.
Kelima, sikap yang ditunjukkan Wakil Bupati Jembrana Patriana Krisna (Ipat) dengan membela perilaku semacam itu dengan dalih “sudah sejak dulu” demikian, cermin pembelaan yang menyedihkan sekelas pejabat publik. Saya amat sedih memiliki pejabat publik dengan komunikasi politik keuamatan yang tak berempati dan buruk.
Keenam, saya berharap FKUB, Bupati, dan Wakil Bupati beserta Forkopimda menggelar rapat untuk membahas kasus ini dan memastikan kejadian tersebut tak berulang tahun depan. (bp/tim)