NUSA PENIDA, Balipolitika.com– Lolosnya perkara perdata nomor: 82/Pdt.G/2023/PN Srp. dengan tergugat Kelian Pembangunan Banjar Adat Sental Kangin I Nyoman Supaya (tergugat 1), Kelian Banjar Adat Sental Kangin Kadek Parnata (tergugat 2), dan Penyarikan Banjar Adat Sental Kangin Gede Arianta (tergugat 3), serta pemangku Pura Segara Banjar Adat Sental Kangin membuat Pengadilan Negeri Semarapura terbukti menjadikan kasus adat di Banjar Adat Sental Kangin ibarat api dalam sekam.
Di satu sisi, Pengadilan Negeri Semarapura menerima dan meloloskan gugatan-gugatan tanpa memberikan pertimbangan yang cukup tentang legal standing para penggugat, yakni I Made Sudiarta (penggugat 1), I Wayan Widhi Adnyana, SE (penggugat 2), dan I Putu Suartika (penggugat 3) di mana kasus itu disidangkan sejak Selasa, 12 September 2023.
Di sisi lain, kini, pasca perayaan Nyepi Saka 1947, konflik tersebut memuncak di Banjar Sental Kangin, Nusa Penida hingga sejumlah warga terpaksa diungsikan pihak berwajib pada Minggu 30 Maret 2025.
Situasi memanas disertai kulkul bulus yang bertalu-talu ini disikapi Polsek Nusa Penida dengan melakukan evakuasi demi keamanan antara kedua belah pihak.
Bahkan dalam rangka meredakan konflik Banjar Sental Kangin, Kapolsek Nusa Penida, Kompol Ida Bagus Putra Sumerta terjun langsung melakukan evakuasi.
Usut punya usut, sinyal gesekan antar warga ini sejatinya sudah sangat tampak dalam setiap persidangan di Pengadilan Negeri Semarapura di mana kala itu krama adat berbondong-bondong ke Klungkung Daratan menunjukkan empati terhadap para tergugat, yakni Kelian Pembangunan Banjar Adat Sental Kangin I Nyoman Supaya (tergugat 1), Kelian Banjar Adat Sental Kangin Kadek Parnata (tergugat 2), dan Penyarikan Banjar Adat Sental Kangin Gede Arianta (tergugat 3), serta pemangku Pura Segara Banjar Adat Sental Kangin.
Sejak Selasa, 12 September 2023 silam, Ruang Sidang Pengadilan Negeri Semarapura selalu heboh setiap kasus ini disidangkan karena prajuru Banjar Adat Sental Kangin digugat oleh 3 krama yang terkena sanksi adat kasepekang.
Anehnya kala itu, dalam perkara perdata yang diloloskan tersebut, mereka semua digugat bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat atau prajuru banjar, melainkan sebagai pribadi-pribadi alias warga biasa.
Yang patut dicatat, tidak ada masalah pribadi di antara pada tergugat dengan para pengugatnya yang merupakan mantan anggota banjar yang telah melanggar awig-awig sehingga dikeluarkan dari keanggotaaan banjar (ulung mekrama/kasepekang).
Adapun objek sengketa dalam perkara ini berupa bidang tanah tepi pantai sepanjang 71 meter, seluas kurang lebih 700 meter persegi alias 7 are yang diduduki oleh para penggugat.
Objek sengketa ini berlokasi di pesisir pantai Banjar Adat Sental Kangin yang merupakan sebagian dari hamparan tanah seluas kurang lebih 4.600 meter persegi yang sebelumnya disepakati oleh segenap warga untuk dimohon pensertifikatannya sebagai tanah Pelaba Pura Segara Banjar Adat Sental Kangin dan prosesnya berjalan namun terhambat oleh ulah para penggugat.
Mediasi tidak menemui titik temu alias buntu karena kepentingan para penggugat dalam gugatannya tidak bisa dipenuhi oleh para tergugat.
Pasalnya para penggugat menuntut hal-hal yang merupakan kesepakatan hasil paruman seluruh krama Banjar Adat Sental Kangin, terutama mengenai tanah obyek sengketa dan putusan ulung mekrama sehingga para tergugat yang digugat sebagai pribadi mustahil bisa memenuhi keinginan para penggugat.
Bahkan hingga akhir persidangan pun, diprediksi gugatan tidak dapat diterima karena seharusnya yang digugat adalah seluruh krama Banjar Adat Sental Kangin yang menyepakati setiap paruman yang hasilnya digugat oleh para penggugat.
Salah satu dokumen yang diterima redaksi balipolitika.com tersurat I Gusti Agung Panji, SH selaku juru sita pada Pengadilan Negeri Semarapura atas perintah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarapura dalam perkara perdata nomor: 82/Pdt.G/2023/PN Srp telah memanggil tergugat 1 atas I Nyoman Supaya untuk mengikuti persidangan pada Selasa, 12 September 2023 di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Semarapura.
Merespons sorotan tajam publik terkait disidangkannya perkara perdata nomor: 82/Pdt.G/2023/PN Srp, Ketua Pengadilan Pengadilan Negeri Semarapura Ni Made Dewi Sukrani, S.H. memilih irit bicara.
“Inggih, untuk informasi keterbukaan publik, besok (Rabu, 1 November 2023, red) dapat menghubungi panitera muda hukum inggih. Langsung saja ke ke kantor mengingat perkara yang disebut (82/Pdt.G/2023/PN Srp, red) masih aktif dan sedang berjalan. Kami tidak bisa banyak memberikan statement. Hanya saja pada asasnya kami pengadilan tidak boleh menolak perkara. Mungkin ada baiknya datang ke kantor langsung ya, biar baik dan tepat info yang diberikan,” ucap Ketua Pengadilan Pengadilan Negeri Semarapura Ni Made Dewi Sukrani, S.H., Selasa, 31 Oktober 2023 silam.
Sebagaimana riil di lapangan, dalam persidangan yang berlangsung, para tergugat selalu hadir disertai lebih dari seratus kepala keluarga Banjar Adat Sental Kangin yang setia mendampingi para tergugat.
Mereka mengaku terpanggil untuk berjuang bersama-sama secara kompak mempertahankan sekaligus menegakkan hasil paruman Banjar Adat Banjar Sental Kangin serta menjaga dan mempertahankan wewidangan Banjar Adat Sental Kangin yang dikuasai, difungsikan, serta dirawat secara tidak terputus dari sejak dahulu kala, bahkan dari sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan hingga saat ini.
Memperhatikan situasi demikian, sembari melihat adanya cacat formil dalam gugatannya, kuasa hukum para tergugat, Nyoman Samuel Kurniawam mengaku sempat menawarkan kepada kuasa hukum para penggugat untuk mencabut gugatannya, namun ditolak.
Walhasil pihak pengadlian harus senantiasa mempersiapkan pengamanan ekstra setiap kali persidangan berlangsung karena dipastikan rombongan kepala keluarga Banjar Adat Sental Kangin dipastikan hadir mendampingi para tergugat mengingat yang digugat adalah hasil paruman adat.
Kepada redaksi balipolitika.com, para tergugat menjelaskan berdasarkan hasil paruman adat, setelah kawasan pesisir pantai Banjar Adat Sental Kangin bersih dan indah serta dilirik banyak wisatawan, banjar adat setempat ingin memfungsikan kawasan itu untuk menunjang biaya-biaya upacara agama di Pura Segara Banjar Adat Sental Kangin sekaligus sebagai sumber mata pencaharian warga setempat.
Dalam paruman tersebut, kawasan yang sebelumnya dipenuhi gubuk-gubuk petani rumput laut atas seizin Banjar Adat Sental Kangin disebut kumuh karena ditinggalkan oleh para petani rumput laut. Lama tidak berfungsi, gubuk-gubuk itu pun roboh berserakan.
Berdasarkan hasil paruman Krama Banjar Adat Sental Kangin, lokasi itu hendak difungsikan sebagai kawasan resto, bar, dan beach club (PLOT 1), kawasan kuliner, spa, dan artshop (PLOT 2), dan terakhir kawasan jualan canang, buah, dan sayur (PLOT3) yang keseluruhannya dilakukan demi peningkatan kesejahteraan bersama yang seadil-adilnya bagi seluruh Krama Banjar Adat Sental Kangin.
Dijelaskan oleh para tergugat bahwa berdasarkan paruman, setelah dihitung objek yang bisa dibangun sepanjang 170 meter.
Jika dibagi per orang dengan jumlah KK di Banjar Adat Sental Kangin berjumlah 100 KK, maka 1 KK hanya mendapat bagian 1,7 meter.
Menyikapi kondisi ini dan agar pembangunan PLOT 1, PLOT 2, dan PLOT 3 ideal, khususnya untuk rancangan beach club, banjar adat pun membentuk kelompok. Dengan kata lain, beach club yang hendak dibangun akan dibagi per kelompok.
Pada saat pembagian, ternyata kelompok para penggugat yang awalnya terdiri dari 24 orang, tenyata secara arogan menduduki lahan sepanjang 71 meter sehingga mengakibatkan ada 35 orang belum mendapatkan bagian lahan.
Setelah dilakukan musyawarah di mana 35 orang tersebut dijadikan satu kelompok, diputuskan bersama-sama bahwa kemudian tanah diduduki oleh para penggugat yang tadinya sepanjang 71 meter tersebut dibagi dua, dengan pembagian yang lebih menguntungkan kelompok para penggugat, yaitu sepanjang 40 meter untuk kelompok para penggugat yang terdiri dari hanya 27 orang, sedangkan sisanya sepanjang 31 meter diberikan kepada kelompok 35 orang tersebut.
Dalam paruman inilah para penggugat dinilai menunjukkan arogansinya alias bersikeras ingin menduduki lahan sepanjang 71 meter tersebut sekaligus menyatakan menolak keputusan paruman.
Atas sikap para penggugat yang tidak menghormati putusan paruman diberitahukan perihal sanksi adat yang bisa dikenakan, yaitu ulung makrame alias kasepekang atau dikeluarkan dari keanggotaan Banjar Adat Sental Kangin.
Setelah diberitahukan dan dinasehati perihal sanksi adat tersebut, akhirnya 21 orang anggota kelompok para penggugat tersebut menyadari kekeliruannya.
Di sisi lain, 3 orang penggugat tetap tidak mau menerima keputusan paruman. Belakangan 21 orang tersebut memutuskan keluar dari kelompok para penggugat.
“Tetapi ketiga orang ini tidak setuju dengan berkata bahwa tanah itu adalah tanah negara dan siapa pun yang menguasai fisiknya dialah pemiliknya,” ungkap salah seorang tergugat.
“Pernyataan para penggugat inilah yang membuat semua warga merasa bahwa para penggugat dibelenggu oleh nafsu serakahnya, ingin menguasai lebih dari seharusnya, hingga melupakan keadilan buat krama lainnya yang seharusnya ikut dipikirkan supaya bisa juga mendapatkan keadilan untuk ikut memfungsikan kawasan wewidangan banjarnya,” timpal tergugat lainnya.
Singkat cerita, 3 oknum yang dikeluarkan dari keanggotaan Banjar Adat Sental Kangin tersebut tidak menggubris keputusan paruman dan bersikeras melanjutkan pembangunan di atas lahan sepanjang 71 meter tersebut.
Meski krama Banjar Adat Sental Kangin berusaha mencari keadilan ke Gubernur Bali, Polda Bali, Polres Klungkung, dan DPRD Provinsi Bali, para penggugat bersikukuh menggugat.
Namun anehnya bukan menggugat krama Banjar Adat Sental Kangin, melainkan menggugat hanya 4 orang yang merupakan unsur pimpinan banjar sebagai orang pribadi.
Dalam posisi kasus ini, gugatan tersebut Error in Persona alias pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus bertindak sebagai penggugat atau ditarik tergugat.
Merespons sikap kukuh para penggugat ini, kuasa hukum para tergugat, Nyoman Samuel Kurniawan menegaskan bahwa berbicara mengenai sporadik atas tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dalam Pasal 24 ayat 2 dinyatakan bahwa dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih dari 20 tahun secara tidak terputus hingga saat ini oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya.
“Ada dua syarat fundamental yang harus dipenuhi. Pertama, penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. Kedua, penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan maupun pihak lainnya. Hal ini jelas-jelas menggugurkan klaim dari para penggugat tersebut,” tegas Nyoman Samuel Kurniawan, Sabtu, 28 Oktober 2023.
“Jadi pada dasarnya apabila ingin menguasai suatu fisik bidang tanah negara, pemohon harus mendapatkan pembenaran dari pejabat lingkungan tanah tersebut berada, baik melalui kepala dusun, kepala desa, dan camat, karena aparat desa dan aparat pemerintahan tersebutlah yang mengetahui mengenai tanah tersebut. Sementara para penggugat baru mulai menduduki lahan sepanjang 71 meter tersebut sejak Banjar Adat Sental Kangin mengadakan pembagian lahan pada bulan November 2022 yang mana saat itu para penggugat dengan tanpa malu-malu menduduki lahan seluas 71 meter sehingga menimbulkan permasalahan. Para penggugat sepertinya lupa bahwa mereka hanya diberikan hak mengunakan oleh banjar, bukan hak menguasai, bukan hak memiliki,” terangnya.
Lebih jauh, kuasa hukum para tergugat menekankan perlu dipertanyakan sejak kapan para penggugat ini merasa menggarap tanah tersebut.
Pasalnya jika mereka selaku warga banjar adat mengklaim atas dasar izin dari banjar untuk membangun gubuk rumput laut memang izinnya sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa izin itu diberikan kepada para penggugat untuk membangun guguk rumput laut yang letaknya jauh berbeda dengan letak obyek sengketa yang diduduki oleh para penggugat, sehingga jelas tidak ada kaitannya sama sekali.
Dijelaskan bahwa I Putu Suartika (penggugat 3) dulu diberikan izin untuk membangun gubuk rumput laut dan menggarap rumput laut di sebelah di depan pom bensin, sepanjang 10 meter sedangkan I Made Sudiarta (penggugat 1) diberikan izin membangun gubuk rumput laut dan menggarap rumput laut justru lebih ke timur lagi, yakni di dekat Pura Segara Banjar Adat Sental Kangin sepanjang 7 meter.
“Fakta ini menegaskan bahwa tempat-tempat gubuk para penggugat dulu berbeda jauh dengan tempat yang mereka duduki saat ini hingga menimbulkan permasalahan,” terang seorang tergugat.
Karena perkembangan pariwisata, krama Banjar Adat Sental Kangin menggelar paruman untuk melahirkan keputusan melebur kawasan tersebut untuk dibersihkan dan difungsikan oleh Banjar Adat Sental Kangin sebagai kawasan akomodasi pariwisata.
Masyarakat setempat tidak lagi menggantungkan mata pencaharian dari hasil bertani rumput laut dan beralih ke sektor pariwisata.
Dengan demikian, terciptalah kesepakatan Berita Acara Paruman yang ditandatangani oleh semua warga Banjar Adat Sental Kangin termasuk para penggugat.
Kawasan itu dilebur oleh Banjar Adat Sental Kangin. Gubuk-gubuk dibersihkan sesuai dengan kesepakatan berita acara paruman banjar adat yang ditandatangani oleh seluruh warga termasuk ketiga orang penggugat ini.
Dengan bukti tanda tangan ini dapat disimpulkan bahwa ketiga orang penggugat ini juga sepakat agar gubuk-gubuknya dilebur untuk bisa ditata sebagai akomodasi pariwisata yang lebih menjanjikan. Sekarang mereka menggugat, sehingga di kalangan krama Banjar Adat Sental Kangin mencuat berbagai pertanyaan.
“Alas hak apa yang mereka gunakan untuk menggugat? Bukankah untuk menggugat harus ada dasar alas hak yang dijadikan sebagai alasan untuk mendalilkan keberhakanya terhadap obyek yang digugatnya itu?” urai salah seorang tergugat.
“Sedangkan menurut kami merekalah yang menyerobot lahan dan menyerobot aturan di Banjar Adat Sental Kangin, menyerobot penguasaan fisik tersebut. Tapi Kenapa mereka yang menggugat? Kalau bicara penguasaan fisik, mereka mendapat itu dengan cara menyerobot dan terjadinya baru beberapa bulan sehingga mereka terkena sanksi kasepekang. Ketiga oknum ini mencoba menguasai fisik tanah dengan dasar keserakahan dan menggugat untuk membuat posisinya biar seolah-olah menjadi korban dan pengadilan mau dijadikan alat untuk menyamarkan kesalahannya yang sudah menyerobot tanah, menyerobot awig-awig dan menyerobot sepadan. Biarpun seolah-olah terlihat sebagai korban, tetap saja kesalahannya yang mutlak tidak bisa disembunyikan di balik gugatannya karena seluruh orang yang ada di lingkungan Banjar Sental Kangin dan yang tinggalnya tidak terlalu jauh dari sana mengetahui persis semua kebenarannya bahwa si penggugat memang sudah hilang akal sehat dan hilang hati nuraninya hingga melenceng jauh dari kebenaran seorang manusia pada umumnya,” ungkap tergugat.
“Jika sampai dibiarkan, maka kejadian ini bisa saja terjadi di berbagai tempat karena ada banyak tanah kosong di sempadan pantai dan ada banyak tanah kosong di seluruh Bali. Nanti dikhawatirkan ada banyak orang yang akan meniru untuk mendirikan bangunan di tanah-tanah kosong itu tanpa mempedulikan itu tanah siapa. Lalu kalau distop oleh yang punya lahan, nanti yang nyetop itu digugat duluan ke pengadilan negeri untuk menyamarkan kesalahannya. Kondisi ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan terjadinya “wabah konflik” di mana-mana ke depan,” sambung tokoh masyarakat Wayan Muka Udiana.
Digarisbawahi kuasa hukum para tergugat, ketiga penggugat ini mencoba menguasai tanah tersebut dengan cara merampas dari Banjar Adat Sental Kangin dengan memaksakan mendirikan bangunan tanpa seizin banjar adat.
“Jika berbicara mengenai izin, kalau berbicara hak untuk membangun di atas tanah hak milik sendiri pun wajib memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan, red) apalagi membangun di tanah yang bukan hak milik. Pada umumnya orang yang membangun tanpa izin akan berlindung di hukum adat (Hukum Desa Kala Patra, red) untuk menunjang keberlangsungan sebagai masyarakat adat. Hal tersebut dimaklumi oleh pemerintah. Sedangkan para penggugat ini mau berlindung di mana? Hukum negara sudah dilanggar, yaitu membangun di atas tanah yang bukan tanah miliknya, membangun tanpa izin PBG (IMB, red) dengan tanpa jaminan perlindungan hukum dari banjar adat atas persetujuan wewidangan karena dikeluarkan dan bahkan kini menggugat mantan banjarnya,” urai Nyoman Samuel Kurniawan.
Ditambahkannya bangunan yang didirikan oleh ketiga oknum penggugat ini diduga melanggar sempadan pantai serta menyerobot pasir pantai.
Hal ini terang benderang melanggar Perda Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang Tata Ruang Umum Wilayah Provinsi Bali, khususnya Pasal 139 yang menyebutkan bahwa pemanfaatan sempadan pantai jarak sekurang-kurangnya 100 meter dari titik tertinggi pasang air ke daratan.
“Dalih bahwa ketiga oknum tersebut memiliki izin usaha berbasis risiko bukan berarti mereka bisa melanggar kesepakatan berita acara paruman Banjar Adat Sental Kangin yang telah ditandatangani oleh seluruh warga termasuk oleh ketiga oknum ini,” sambungnya.
Lebih jauh, Nyoman Samuel Kurniawan menekankan izin usaha yang diklaim oleh ketiga oknum penggugat ini tidak dapat dijadikan dasar mendirikan bangunan usaha di tanah tersebut mengingat IMB merupakan produk hukum yang berisi persetujuan atau perizinan yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah Setempat (pemerintah kabupaten/kota) dan wajib dimiliki atau diurus pemilik bangunan yang ingin membangun, merobohkan, menambah atau mengurangi luas, ataupun merenovasi suatu bangunan.
“Dan izin usaha berbasis risiko adalah perizinan berusaha yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan kegiatan usahanya yang dinilai berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha. Dari kedua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa IMB dan Izin Usaha Berbasis Risiko merupakan dua hal yang berbeda secara hukum dan tidak dapat saling mengganti fungsi masing-masing sebaliknya harus saling melengkapi,” tutup Nyoman Samuel Kurniawan.
Terupdate, terkait konflik yang pecah dan memuncak di Banjar Sental Kangin, Nusa Penida, Minggu 30 Maret 2025 hingga mengakibatkan sejumlah warga yang menerima sanksi adat kasepekang alias karunayang diungsikan ke luar pulau imbas aksi Made Paing yang menggeber sepeda motor sambil mengangkat kaki ke atas kepala motor di hadapan warga yang berkumpul di pos kamling.
Saat masyarakat yang berkumpul bersorak-sorak merespons aksi tersebut, Made Paing lantas menjemput sang anak yang berstatus anggota TNI aktif di mana kemudian sang akan disebut menantang warga satu per satu.
Situasi ini kontan membuat warga yang berkumpul marah hingga akhirnya kulkul bulus dibunyikan.
“Yang membuat masyarakat spontan kesurupan melawan karena si tentara terus mendorong- dorong semua orang dan menantang semua sehingga masyarakat memukul kentongan bulus yang menyebabkan dia terpaksa diungsikan oleh aparat untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan,” ucap salah seorang warga setempat.
Warga menambahkan I Made Sudiarta dan I Putu Suartika yang menggugat Jero Kelian Pembangunan Banjar Adat Sental Kangin I Nyoman Supaya (tergugat 1), Kelian Banjar Adat Sental Kangin Kadek Parnata (tergugat 2), dan Penyarikan Banjar Adat Sental Kangin Gede Arianta (tergugat 3), serta pemangku Pura Segara Banjar Adat Sental Kangin ke Pengadilan Negeri Semarapura disebut-sebut merupakan otak polemik ini.
Dalam kasus ini, I Made Sudiarta, I Putu Suartika, Wayan Buda, Made Paing, Ketut Ngadeg, dan Wayan Widiadnyana berstatus warga adat Banjar Sental Kangin yang menerima hukuman karunayang.
Mereka dijatuhi hukuman adat karunayang mengacu awig-awig desa adat setempat yang dijadikan pedoman sebagai awig banjar adat sebagaimana telah dijalankan secara turun-temurun sejak zaman kerajaan sebelum Indonesia belum merdeka hingga saat ini.
“Sepengetahuan kami seluruh krama Banjar Adat Sental Kangin, Made Sudi (I Made Sudiantara, red) ini memang kesehariannya tidak ada toleransi, tidak ada belas kasih, tidak ada rasa eling terhadap sesama. Semua yang menjadi keinginannya selalu harus diikuti oleh warga karena dulu badannya gede dan dia juga jago bela diri. Dia juga lahir di keluarga terhormat dengan mewarisi banyak warisan tanah. Bapaknya pun seorang pegawai negeri di mana saat itu orang-orang di desa menganggap pegawai negeri itu sebagai orang terhormat. Terlebih lagi dia juga punya warisan kekayaan dari orang tuanya. Hal itu yang membuat dia menganggap dirinya super power. Segala keinginannya harus dipatuhi oleh warga walaupun hal tersebut membuat semua warga merasa seperti segala hak dan aspirasinya sebagai masyarakat tak pernah dianggap. Segala aspirasi atau usulan dari para orang yang disepekin ini harus dituruti oleh semua warga. Sehingga sebagian besar keputusan yang terjadi di banjar selalu sebagian besar usulan orang-orang ini. Bahkan. dulu ada tanah hak pedruwen Pura Gunung Anyar dia serobot dan sertifikatkan menjadi sertifikat atas nama dirinya sekeluarga, tapi krama Pengempon Pura Gunung Anyar tidak berani melakukan perlawanan atau menggugat ke pihak yang berwajib,” rinci warga yang meminta namanya tidak ditulis.
Soal sanksi adat yang menyebabkan I Made Sudiantara dan kawan-kawan disepekin hingga dikarunayang selain dipicu masalah wewidangan adat yang hendak mereka kuasai, gugatan terhadap jero pemangku dan prajuru adat, juga karena kelompok ini kerap sekali menantang masyarakat setempat berkelahi.
“Dia kerap kali buat-buat masalah menantang masyarakat berantem dan terus melakukan hal- hal arogan dan sering sekali ada kejadian ribut karena dia buat masalah. Mungkin lebih dari 25 kali sampai terakhir kemarin, Manis Nyepi dia pagi-pagi buat masalah saat masyarakat kumpul di pos kamling saat duduk-duduk main catur dan ngobrol-ngobrol. Tiba-tiba, salah satu warga yang disepekin bernama Made Paing seolah merancang aksi untuk buat masalah dengan krama banjar karena anaknya yang sebagai tentara aktif pas kebetulan datang karena hari raya. Mungkin dia menganggap masyarakat takut sama dia karena anaknya si tentara sudah standby di rumahnya sehingga dia naik motor melewati pos kamling tempat ngumpulnya masyarakat dengan menggerung-gerungkan motornya dan mengangkat kakinya ke atas kepala motor yang membuat masyarakat di pos kamling itu serentak dengan refleks bersorak-sorak menyoraki kelakuan Made Paing,” ungkap warga.
Singkat cerita, Made Paing usai menggeber sepeda motor dan menaikkan kaki ke atas kepala motor saat melewati pos kamling hingga disoraki warga menjemput sang anak yang merupakan tentara aktif entah dengan tujuan apa.
“Dan Made Paing itu pun lanjut balik jemput anaknya si tentara itu dan mulai menantang masyarakat satu per satu. Yang membuat masyarakat spontan kesurupan melawannya dan karena si tentara terus mendorong-dorong semua orang dan menantang semua sehingga masyarakat akhirnya memukul kentongan (kulkul) bulus yang menyebabkan dia terpaksa diungsikan oleh aparat hukum untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan,” tegas warga adat Banjar Sental Kangin memberikan penjelasan soal kronologis peristiwa menghebohkan tersebut. (bp/tim)