JAM menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku baru saja selesai menghitung pemasukan kafe tadi malam. Karyawan-karyawanku sudah pulang setelah Subuh, menyisakan aku sendirian di kafe ini. Bangunannya tidak jauh dari rumahku, hanya sepelemparan batu. Kafe ini terdiri dari tiga lantai, dengan lantai ketiga berfungsi sebagai perpustakaan kecil yang kubuka untuk umum.
Membangun kafe ini bukan perkara mudah. Lima tahun penuh perjuangan aku lalui untuk menabung dan mengumpulkan modal, menjalani pekerjaan demi pekerjaan, kebanyakan terkait tulis-menulis. Maka, ketika aku memutuskan meninggalkan kota besar untuk menetap di kampung, banyak teman yang menganggapku gila. Saat itu, karierku sedang berada di puncak. Aku sudah menjadi redaktur di salah satu media ternama, baru saja memenangkan sayembara sastra nasional. Namun, bagiku, mimpi membangun kampung halaman lebih penting daripada gemerlap kota.
“Kamu yakin mau meninggalkan semuanya?” tanya Zaldi, sahabatku, saat aku mengutarakan rencana itu.
“Ini mimpiku, Zal. Aku ingin kampung halaman menjadi tempat yang lebih baik. Tidak hanya tempat untuk menikmati masa tua, apalagi sekadar tempat dimakamkan,” jawabku yakin.
Zaldi tertawa sambil menepuk bahuku. “Tapi siap-siap saja. Kampung itu nggak pernah kehabisan bahan gosip. Termasuk soal kejombloanmu,” ujarnya sambil mengedip.
“Sialan,” jawabku sekenanya. Meski kesal, aku tahu dia ada benarnya.
Setahun menetap di kampung, kejombloanku memang jadi bahan gunjingan. Namun, aku tak terlalu peduli. Aku melihat pamanku yang memilih tetap melajang hingga usia senja. Hidupnya bermanfaat untuk masyarakat: bertani kopi dan mengajarkan cara bercocok tanam. Ayah mendukung pilihanku untuk fokus berkarya, tetapi ibu, seperti kebanyakan ibu lainnya, sering mengeluh.
“Ibu kesal dengar ibu-ibu di jamiyah menjelek-jelekkan kamu,” katanya suatu sore.
“Biarin saja, Bu,” jawabku santai sambil menyeruput kopi.
“Ya nggak bisa! Ibu kan harus membela anaknya,” tegasnya.
Aku tersenyum. Sebenarnya aku pernah jatuh cinta, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Namun, entah mengapa, semuanya selalu berakhir sebelum dimulai.
Cinta pertamaku adalah Erin, teman sekelas di SMA. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, sesuatu yang tidak pernah aku percaya sebelum itu. Saat hari pertama masuk sekolah, dia masuk ke kelas dengan senyum yang menghangatkan ruangan. Namun, sebelum aku sempat mendekat, seorang teman lain sudah lebih dulu bergerak dan berhasil memacarinya.
Meski begitu, aku tetap menyimpan rasa. Setelah dia lulus, aku tahu dia putus dengan pacarnya, dan aku mencoba mendekatinya. Namun, Erin yang cuek membuat usahaku gagal sebelum sempat dimulai. Lambat laun, rasa itu memudar, berganti menjadi kenangan manis yang tak terlalu menyakitkan.
Cerita berikutnya adalah Shania, teman SMP-ku yang pintar dan ambisius. Aku pernah menjadi saingannya dalam akademik. Shania sering terlihat serius belajar di perpustakaan, dan aku berusaha keras untuk menyainginya. Bahkan, aku pernah sekali menggantikan posisinya sebagai peringkat pertama paralel.
Ibu sering menyebut Shania sebagai calon pasangan ideal. Katanya, Shania sopan, pintar, dan sering mampir ke kafe untuk menanyakan kabarku. Tapi aku tahu dari media sosial bahwa dia sudah memiliki pacar, bahkan kabarnya akan segera menikah. Meski begitu, setiap kali ibu membicarakannya, ada perasaan hangat yang muncul di hatiku.
Cinta lainnya adalah Gita, seorang pecinta buku yang selalu mendukung karyaku. Aku sering mengirimkan buku-buku favoritku padanya, mulai dari Pramoedya hingga Chairil Anwar. Setiap kali aku menerbitkan buku baru, dia selalu jadi pembeli pertama.
Suatu hari, aku ditugaskan meliput kegiatan di Surabaya. Selepas liputan, aku berencana mengajaknya bertemu di Tunjungan. Namun, rencanaku kacau karena Zaldi dan dua temanku, Triono dan Tiwus, memaksa ikut.
“Tenang saja, kami cuma jadi pengawal. Tidak akan ganggu rencanamu nembak dia,” ujar Zaldi dengan senyum usil.
Namun, semua berubah ketika Gita tidak muncul tepat waktu. Saat aku hampir putus asa, Zaldi menepuk bahuku dan menunjuk ke seberang jalan.
“Itu dia, kan? Tapi… dia gandengan sama cowok.”
Seketika dunia terasa berhenti. Benar, itu Gita, dan laki-laki itu dikenalkannya sebagai pacarnya, Rifqi. Hatiku hancur, tetapi aku mencoba menyembunyikannya. Teman-temanku menamai kejadian itu “Tragedi Tunjungan”. Meski memalukan, aku bersyukur mereka menyimpannya sebagai rahasia kami.
Kemudian adalah cinta tanpa nama. Aku sering melihat seorang perempuan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Dia kerap datang sendiri, tenggelam dalam buku-buku sastra. Setiap kali melihatnya, hatiku berdebar.
Suatu hari, aku memberanikan diri duduk di dekatnya. Kami berbicara tentang sastra, buku favorit, hingga penulis yang kami kagumi. Percakapan itu mengalir begitu saja. Sebelum berpisah, aku mencoba menanyakan namanya.
“Rahasia,” katanya sambal tersenyum. “Kamu?”
“Rahasia juga,” jawabku, ikut tersenyum.
Itulah pertemuan terakhir kami. Dia tidak pernah datang lagi ke PDS HB Jassin. Aku mencoba mencarinya, tapi selalu gagal.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengannya di kereta dari Klaten ke Yogyakarta. Dia duduk di sampingku, tampak asyik membaca buku, tidak menyadari kehadiranku.
“Hai, Rahasia,” sapaku pelan.
Dia menoleh, terkejut, lalu tersenyum. “Hai, Rahasia juga. Sudah lama tidak bertemu.”
Kami berbincang seperti teman lama yang tak sengaja bertemu kembali. Namun, percakapan kami tiba-tiba berubah.
“Kamu sudah menikah?” tanyanya tiba-tiba.
Aku tertawa kecil. “Pertanyaan macam apa itu?”
“Pacarku adalah buku,” jawabku santai.
Dia tersenyum, tetapi matanya terlihat sayu. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata, “Sebenarnya aku pernah menitipkan surat untukmu lewat kawanku. Tapi mungkin surat itu tak pernah sampai. Aku pikir kamu tidak tertarik, jadi aku berhenti datang.”
Kata-katanya membuat dadaku sesak. Sebelum aku sempat menjawab, dia menambahkan, “Aku sudah menikah. Sebulan yang lalu.”
Kereta berhenti di Klaten. Aku segera mengambil tasku dan turun, meski tujuanku sebenarnya Yogyakarta. Aku berjalan tanpa arah, mencoba mengumpulkan serpihan hati yang baru saja hancur.
Kini, aku duduk sendirian di lantai tiga kafe, ditemani aroma buku dan kopi. Cinta-cinta itu memang berlalu, tapi meninggalkan jejak yang tak mungkin kulupakan.
Mungkin aku terlalu sibuk dengan mimpi-mimpiku hingga lupa memberi ruang untuk cinta. Atau mungkin, cinta memang bukan untukku. Yang pasti, setiap cerita itu tetap hidup dalam ingatanku, mengajarkan banyak hal tentang rasa, keberanian, dan kehilangan.
Dan di balik semua itu, aku masih percaya, suatu saat cinta yang sejati akan menemukan jalannya. Hingga saat itu tiba, aku akan terus menulis. (***)
BIODATA
Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal Jawa Tengah. Malik menulis sejumlah cerpen, puisi, resensi, dan esai yang tersebar di beberapa media online.