DENPASAR, Balipolitika.com- Selain berkurangnya luasan pemukiman penduduk Serangan yang sebelumnya seluas 111 hektare menjadi 46,5 hektare sesuai hasil penelitian Parwata, I. W., Darmawan, I. G. Y., & Nurwarsih, N. W. (2015) tentang Perubahan Tata Ruang Pesisir Pasca Reklamasi di Pulau Serangan, Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (Kekal) Bali, Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (Frontier) Bali, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali juga mengungkap fakta lain seputar investasi PT Bali Turtle Island Development (BTID) yang dinilai merampas ruang hidup masyarakat setempat.
Made Krisna Bokis Dinata selaku Direktur Eksekutif Walhi Bali menyebut studi Lisa Woinarski (2002) yang berjudul “Laporan Studi Lapangan, Pulau Serangan: Dampak Pembangunan pada Lingkungan dan Masyarakat” dari Universitas Muhammadiyah Malang kerja sama dengan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies patut disimak dengan seksama.
Bokis mengulas studi Lisa Woinarski mengungkapkan bahwa sejak tahun 1996 di mana proses reklamasi dimulai, sangat memberikan dampak, baik sosial, lingkungan, dan perekonomian masyarakat Serangan.
Studi atau penelitian ilmiah tersebut mengungkapkan sejumlah fakta.
1) Pembebasan tanah yang dilakukan secara paksa dan tidak sesuai dengan proses jual beli yang adil,
2) Pembayaran ganti rugi yang tidak lengkap dan tidak sesuai dengan harga pasar,
3) Masalah dengan sertifikat hak milik tanah, termasuk ketidakjelasan status tanah dan kemungkinan pemindahan penduduk lagi kala itu.
Bentuk perampasan lainnya yang terjadi mengacu penelitian tersebut adalah pertama lahan sakral di Pulau Serangan tidak diperhitungkan dalam Amdal BTID.
Kedua, jalan penghubung yang sedekat 200 meter Pura Sakenan dan 90 persen pembangunan BTID terletak di dalam ruang sakral itu.
“Hal ini menunjukan tidak hanya perampasan lahan dan tanah masyarakat Serangan, namun juga ruang-ruang suci seperti pura pun sekitarnya diabaikan hingga dikuasai,” tegas Bokis.
Diberitakan sebelumnya, mengacu hasil penelitian Parwata, I. W., Darmawan, I. G. Y., & Nurwarsih, N. W. (2015) tentang Perubahan Tata Ruang Pesisir Pasca Reklamasi di Pulau Serangan, Bokis juga menjelaskan bahwa pasca reklamasi, wilayah garis pantai yang dikuasai atau dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat hanya sekitar 2,5 kilometer dari total panjang garis pantai pascareklamasi Pulau Serangan sepanjang 20 kilometer, dan 17,5 kilometer dikuasai PT BTID.
“Penelitian ini menunjukan bagaimana berkurangnya wilayah pemukiman Desa Serangan serta berkurangnya penguasaan garis pantai yang mana menurut kami merupakan bentuk invasi oleh 1 perusahaan atau korporasi yang menunjukan betapa rakusnya investasi pariwisata yang tak tanggung-tanggung mengorbankan dan merampas wilayah serta ruang hidup masyarakat.” ucap Bokis.
Reklamasi Pulau Serangan imbuh Bokis merupakan suatu upaya perampasan ruang dari satu perusahaan atau korporasi terhadap satu entitas masyarakat atau rakyat.
Hal ini dapat dilihat dari penguasaan lahan yang terbagi menjadi dua, yakni lahan yang dimiliki masyarakat Serangan yang kian menyusut dan lahan yang direklamasi dan dikuasai oleh PT BTID yang mencakup hampir keseluruhan pulau.
“Berdasarkan penelitian Parwata, dkk. Tahun 2015 berjudul “Perubahan Tata Ruang Pesisir Pasca Reklamasi di Pulau Serangan” terungkap bahwa wilayah pemukiman penduduk menyempit menjadi sekitar 46,5 hektare.
Pascareklamasi, wilayah yang dikuasai PT BTID seluas 435 hektare padahal sebelum reklamasi seluruh lahan di Pulau Serangan dikuasai oleh masyarakat setempat, yaitu seluas 111 hektare.
“Fakta ini jelas membuktikan bahwa reklamasi yang dilakukan secara langsung telah merampas ruang masyarakat Desa Serangan,” tegas Bokis.
“Penyempitan ruang dan akses pada garis pantai dialami masyarakat Serangan. Sebelum dilakukan reklamasi, masyarakat bisa mengakses garis pantai sepanjang 13,5 km, namun sekarang masyarakat hanya bisa mengakses garis pantai sepanjang 2,5 kilometer,” bebernya. (bp/ken)