KLUNGKUNG, Balipolitika.com– Sungguh nahas nasib pria tua berusia 82 tahun bernama I Wayan Sangging.
Ditinggal merantau ke Desa Sumber Bahagia, Kecamatan Seputih Banyak, Kabupaten Lampung Tengah, tanah warisan miliknya seluas 66.550 meter persegi atau 6,66 hektar yang berlokasi di Banjar Karang Dawa, Nusa Penida, Klungkung, lenyap disertifikatkan orang lain.
Mirisnya, selaku ahli waris satu-satunya atas aset tersebut, I Wayan Sangging putra Ketut Layar alias Pan Sangging sama sekali tidak pernah menjual, namun tiba-tiba terbit sertifikat dari Kepala Kantor Pertanahan Klungkung.
Usut punya usut, I Wayan Sangging diduga menjadi korban penipuan mantan Kepala Sedahan Nusa Penida bernama Dewa Ketut Sudana.
Bimsalabim, dengan tipu-muslihatnya, Dewa Ketut Sudana diduga menjadi aktor di balik jual beli tanah warisan milik I Wayan Sangging seluas 6,66 hektar hingga akhirnya ayah korban, Ketut Layar yang telah meninggal dunia pada 1948 seolah hidup lagi dan bisa melakukan transaksi jual beli tanah di tahun 1995 dengan bukti Akta Jual Beli (AJB) Nomor 75/NP/1995.
Anehnya, usai terbit Akta Jual Beli (AJB) Nomor 75/NP/1995 disusul kemudian dengan terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 139/Desa Bunga Mekar atas nama “I Sangging” pada 12 Desember 1995.
Atas keganjilan alias kejanggalan terang-benderang tersebut, I Wayan Sangging memperjuangkan hak atas tanahnya di kawasan Kelingking Beach Nusa Penida yang diperjualbelikan tanpa izin dan diduga melibatkan pemalsuan dokumen jual beli di Pengadilan Negeri Klungkung.
I Wayan Sangging mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap beberapa pihak, termasuk mantan Kepala Sedahan Nusa Penida, Dewa Ketut Sudana selaku tergugat I, Kantor Pertanahan Kabupaten Klungkung selaku tergugat II, Sugianto selaku tergugat III, mantan Camat Nusa Penida merangkap PPAT di Nusa Penida Drs. I Made Susanto selaku turut tergugat I, dan notaris I Gusti Nyoman Rupini selaku turut tergugat II.
Dalam gugatan yang terdaftar dengan nomor 074/G-1/Pdt-I/P/AL/TC/XI/2024 di Pengadilan Negeri Klungkung, Wayan Sangging mengklaim bahwa tanah warisan keluarganya seluas 66.550 meter persegi atau 6,66 hektar yang berlokasi di Dusun Karang Dawa, Desa Bunga Mekar, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali, telah dialihkan secara tidak sah tanpa sepengetahuannya.
I Wayan Sangging menegaskan bahwa proses sertifikasi dan jual beli tanah tersebut dilakukan dengan cara melawan hukum, termasuk dugaan pemalsuan dokumen.
Berdasarkan dokumen gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Klungkung, tanah yang kini menjadi objek perkara awalnya dimiliki oleh almarhum ayah I Wayan Sangging, Ketut Layar alias Pan Sangging.
Setelah kematian ayahnya pada tahun 1948, I Wayan Sangging yang saat itu masih kecil ikut dalam program transmigrasi ke Lampung di mana tanah tersebut kemudian dititipkan kepada kerabatnya.
Pada tahun 1992, Wayan Sangging yang kala itu berusia 50 tahun kembali ke Nusa Penida.
Karena terkendala biaya dan membutuhkan uang untuk pulang ke Lampung, I Wayan Sangging lalu meminjam uang dan menitipkan kitir Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) objek perkara kepada Kepala Sedahan Nusa Penida, Dewa Ketut Sudana.
Dalam kesempatan itu, I Wayan Sangging juga meminta bantuan tergugat I untuk mencarikan pembeli tanah tersebut dengan kesepakatan komisi jika tanah berhasil terjual.
Setelah meminjamkan uang Rp2 juta, Dewa Ketut Sudana meminta Wayan Sangging untuk menandatangani selembar kertas.
Karena I Wayan Sangging tidak bisa membaca, menulis, dan tidak bisa tandatangan, ia membubuhkan cap jempol pada selembar kertas yang menurut keterangan Dewa Ketut Sudana hanya sekedar untuk catatan pinjaman uang.
I Wayan Sangging percaya saja dan menurutinya tanpa ragu, karena selain tidak bisa baca tulis, dirinya juga mempercayai sumpah Dewa Ketut Sudana bahwa dirinya tidak akan berbohong.
Singkat cerita, belakangan I Wayan Sangging mengetahui bahwa tanah tersebut telah disertifikatkan dan diperjualbelikan tanpa izinnya.
Bahkan, tanpa sepengetahuannya, pada 12 Desember 1995 tanah tersebut telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 139/Desa Bunga Mekar atas nama “I Sangging”, bukan nama lengkapnya I Wayan Sangging.
I Wayan Sangging menegaskan bahwa ia tidak pernah menandatangani atau memberikan persetujuan atas proses sertifikasi dan jual beli tanahnya.
Ia menduga terjadi manipulasi administrasi dengan dugaan keterlibatan beberapa pihak, termasuk mantan Camat Nusa Penida Drs. I Made Susanta sebagai PPAT, serta seorang notaris di Klungkung bernama I Gusti Nyoman Rupini, S.H.
Gugatan ini juga menyoroti penerbitan Akta Jual Beli (AJB) Nomor 75/NP/1995, yang dibuat sebelum sertifikat tanah terbit.
Fakta ini menjadi indikasi kuat adanya rekayasa hukum dalam proses transaksi tanah tersebut.
Selain itu, dalam perjalanan gugatan, ditemukan bahwa tanah tersebut akhirnya beralih kepemilikan kepada pihak lain melalui Akta Jual Beli Nomor 177/2021.
Penggugat menilai bahwa seluruh proses ini cacat hukum dan bertentangan dengan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum.
Dalam gugatannya, I Wayan Sangging meminta pengadilan untuk membatalkan seluruh akta jual beli dan sertifikat tanah yang terbit tanpa izinnya sekaligus mengembalikan kepemilikan tanah kepada dirinya sebagai ahli waris sah.
I Wayan Sangging juga menggugat tergugat membayar ganti rugi sebesar Rp3,48 miliar atas kehilangan hak pemanfaatan tanah selama 30 tahun sekaligus menghukum para tergugat untuk membayar ganti kerugian materiil lainnya kepada penggugat sebesar Rp3,680 miliar secara tanggung renteng, tunai dan sekaligus.
Nyoman Samuel Kurniawan, S.E., S.H., M.H., C.L.A., selaku kuasa hukum I Wayan Sangging ditemui usai sidang di Pengadilan Negeri Klungkung pada Senin, 17 Maret 2025 mengungkap fakta baru terkait kepemilikan tanah yang disengketakan.
Samuel menjelaskan bahwa dalam agenda pemeriksaan saksi tambahan dan bukti tambahan, ditemukan bahwa sebagian tanah kliennya, I Wayan Sangging, yang sebelumnya diklaim tidak diketahui keberadaannya, ternyata dikuasai oleh tergugat.
“Di dalam persidangan ini ada satu fakta yang terkuak yaitu bahwa sebagian dari tanah milik klien kami yang tadinya tidak ditemukan dan pihak tergugat mengaku tidak tahu-menahu, ternyata tanah itu juga dikuasai oleh tergugat dengan bukti berupa sertifikat hak milik nomor 36 yang sudah kami serahkan sebagai bukti tambahan,” ujarnya.
Selain itu, Samuel menyoroti keberadaan saksi yang dihadirkan oleh pihak tergugat yang dinilai tidak netral.
Tergugat III justru menghadirkan anak buahnya sebagai saksi yang objektivitasnya diragukan.
“Jelas merupakan saksi yang tidak boleh menyampaikan kesaksian di persidangan karena objektivitasnya diragukan. Tidak mungkin dia akan menyampaikan keterangan yang merugikan bosnya sendiri,” tambahnya.
Terangnya, fakta ini semakin diperkuat dengan kesaksian yang membuktikan bahwa saksi tersebut juga ikut menjaga tanah yang menjadi objek sengketa.
“Dan hari ini kami buktikan dengan juga sejumlah saksi yang menerangkan bahwa tanah itu juga dijaga oleh si saksi ini sendiri sehingga sangat lucu sekali kalau dia diminta untuk bersaksi di persidangan. Sudah jelas dia hanya memberikan hal-hal yang menguntungkan untuk bosnya sendiri. Sangat jelas unsur subjektivitasnya, terlihat di dalam setiap keterangannya,” tegasnya.
Samuel juga mengungkap bahwa kliennya tidak pernah menjual tanahnya kepada Dewa Ketut Sudana, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sedahan di Kecamatan Nusa Penida.
Ia bahkan menduga adanya praktik jual beli fiktif dalam kasus ini, “Pak Sugianto itu adalah seorang investor yang membeli tanah klien kami melalui pemilik yang tidak sah, karena Pak Dewa Ketut Sudana itu membeli dengan cara jual-beli fiktif, di mana klien kami tidak pernah menjual tanah itu kepada Dewa Ketut Sudana,” ungkapnya. (bp/ken)