DENPASAR, Balipolitika.com- Jutaan pasang mata kini tertuju pada kasus aneh tapi nyata di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar yang memposisikan dr. Shillea Olimpia Melyta sebagai pesakitan alias terdakwa.
Sebagaimana diketahui, meski telah bekerja secara profesional sesuai SOP, dr. Shillea Olimpia Melyta ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polsek Kuta Utara mengacu keterangan ahli forensik dr. Yudy, Sp.F.M yang anehnya tidak pernah memeriksa dan melihat kondisi pasien Jamie Irena Rayer-Keet secara langsung.
Terbaru, Selasa, 4 Maret 2025, Penasihat Hukum Terdakwa dr. Shillea Olimpia Melyta mengajukan pledoi dalam sidang perkara pidana yang dipimpin oleh I Putu Agus Adi Antara, S.H., M.H. di PN Denpasar.
Pledoi setebal 86 halaman tersebut disusun oleh I Wayan “Gendo” Suardana, S.H., M.H., ketua tim penasihat hukum terdakwa dari Gendo Law Office dan dibacakan oleh I Made Juli Untung Pratama, S.H., M.Kn.
Dijelaskan bahwa kasus ini bermula pada Rabu, 14 Februari 2024 saat terdakwa bersama perawat membawa ambulans lengkap dengan peralatannya datang ke rumah korban Jamie Irena Rayer-Keet untuk melakukan pemeriksaan on call.
Terdakwa sudah menawarkan agar korban dirujuk ke rumah sakit dan melakukan laboratorium tes, namun permintaan tersebut ditolak oleh korban.
Karena korban mengerang kesakitan dan meminta untuk tetap diobati, setelah disetujui oleh suami korban, terdakwa kemudian memberikan injeksi obat antrain.
Usai diinjeksi obat antrain, muncul gejala alergi dan saat itu sudah langsung ditangani oleh terdakwa dengan memberikan injeksi obat anti alergi ke korban.
Setelah menginjeksikan obat alergi, korban berangsur membaik dan terdakwa sebelum meninggalkan korban selalu mengecek untuk memastikan korban baik-baik saja.
Besoknya, korban justru melapor ke Polsek Kuta Utara.
Dalam pledoi, Penasihat Hukum Terdakwa dari Gendo Law Office menerangkan bahwa terdakwa dikriminalisasi.
Faktanya, dalam perkara aquo, penyidik Polsek Kuta Utara tidak pernah meminta rekomendasi kepada Majelis Disiplin Profesi sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 308 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan.
Hal mana berdasarkan keterangan Dr. Dewi Bunga, S.H., M.H. selaku ahli pidana di depan persidangan menyatakan jika dalam perkara ini, penyidikan dilakukan tanpa ada permintaan dari penyidik kepada MKDI terlebih dahulu (dan sekarang disebut Majelis Disiplin Profesi, red), secara formil proses hukumnya cacat yuridis, secara materil tidak dapat ditentukan adanya kelalaian medis atau tidak ada kelalaian medis.
Selanjutnya ditemukan fakta bahwa penyidik Polsek Kuta Utara mengesampingkan keterangan yang diberikan oleh dr. Ida Bagus Putu Alit, SpF, DFM selaku ahli forensik yang melakukan visum kepada korban Jamie Irena Rayer Keet.
Terkuak bahwa penyidik Polsek Kuta Utara menggunakan keterangan dr. Yudy, Sp.F.M selaku ahli forensik untuk memberikan keterangan agar unsur “mengakibatkan pasien luka berat“ dapat terpenuhi.
Parahnya, terungkap fakta bahwa senyatanya dr. Yudy, Sp.F.M tidak pernah memeriksa dan melihat kondisi korban Jamie Irena Rayer Keet secara langsung.
Dalam sidang dengan agenda pembuktian terungkap fakta-fakta hukum yang membuktikan bahwa senyatanya terdakwa sama sekali tidak melakukan kelalaian dan korban senyatanya tidak mengalami luka berat.
“Oleh sebab itu, sesungguhnya tuduhan malpraktek terhadap terdakwa tersebut gugur. Terdakwa senyatanya menjalankan profesi kedokteran sesuai dengan kode etik dan sumpah hipokrates,” tegas I Made Juli Untung Pratama.
Sejak awal di persidangan ini, terdakwa dituduh tidak meminta izin atau meminta persetujuan secara lisan maupun tertulis kepada pasien saksi Jamie Irena Rayer Keet maupun keluarganya untuk memberikan obat-obatan sesuai dengan rekam medik dan mengakibatkan korban mengalami alergi yang dapat menyebabkan kematian.
Padahal, terang-benderang terungkap di persidangan bahwa ada bukti surat persetujuan tindakan medis yang ditandatangani oleh suami korban.
Setelah surat persetujuan tindakan medis tersebut ditandatangani oleh suami korban, barulah terdakwa memasukkan obat-obatan melalui infus.
“Bahwa setelah diketahui adanya efek alergi yang dialami korban, terdakwa sudah memberikan obat anti alergi untuk mengurangi efek alergi yang dialami korban. Selain itu, terdakwa juga berusaha untuk membujuk serta merayu korban dan suami korban Alain David Dick Keet agar korban melakukan tes laboratorium dan segera dirujuk ke rumah sakit. Hal tersebut dimaksudkan agar korban segera mendapat penanganan yang lebih baik. Namun, saat itu, korban melalui suaminya yang bernama Alain David Keet menolak anjuran terdakwa dengan menandatangani surat penolakan tindakan medis berupa melakukan tes laboratorium dan rujuk ke rumah sakit tertanggal 14 Februari 2024 yang menjadi barang bukti dalam berkas perkara,” beber I Made Juli Untung Pratama.
Imbuhnya, berdasarkan keterangan Apt. Putu Padmidewi Wijaya Kusuma selaku ahli farmakologi dan dr. Ida Bagus Putu Alit, Sp.FM(K),DFM, selaku ahli forensik, tindakan terdakwa menginjeksi antrain ke korban adalah tindakan yang benar.
Walaupun terjadi reaksi alergi, maka hal tersebut merupakan resiko medis yang tidak dapat dipidana karena resiko medis tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara tidak terduga.
Selanjunya, berdasarkan bukti surat 1 lembar rekam medis nomor 31-05597 Hydro Medical Your IV & Dental Solution atas nama Jamie Irena Rayer Keet dan visum et repertum Nomor 445/2237/RSDM/2024 yang ditandatangani oleh dokter Ida Bagus Putu Alit Sp.FM(K), DFM, dokter konsultan forensik dan medikolegal pada Rumah Sakit Umum Mangusada tertanggal 26 Februari 2024 diketahui bahwa senyatanya Jamie Irena Rayer Keet sama sekali tidak mengalami luka berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 90 KUHP.
Pada saat memberikan keterangan di depan persidangan, korban Jamie Irena Rayer Keet juga dalam keadaan sehat tidak ada cacat sedikit pun.
“Sehingga atas uraian tersebut di atas, terdakwa senyatanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 440 ayat 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Atas tidak terbuktiknya tidak pidana tersebut, penasihat hukum terdakwa meminta kepada majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dr. Shillea Olimpia Melyta dari dakwaan tersebut (vrijspraak) berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP atau setidak-tidaknya melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Alle Recht Vervolging) berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP,” tegas I Made Juli Untung Pratama. (bp/ken)