BALI, Balipolitika.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka, dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk pada PT Pertamina, Sub Holding, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
Tujuh tersangka itu terdiri dari empat pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Mereka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Kemudian, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International.
Selanjutnya, pihak swasta mencakup MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.
Kapuspen Kejagung, Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli.
Usai jadi tersangka, kata Harli, seluruh orang itu langsung penahanan. “Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut,” ujar Harli dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Senin (24/2) malam.
Sementara Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023.
Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor.
“Hal itu sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri,” kata Qohar.
Namun kata Qohar, aturan itu dugaan tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International.
Sebaliknya, mereka malah bersengkongkol membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dengan cara impor.
Qohar menyebut produksi minyak mentah, oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam negeri juga ada penolakan setelah produksi kilang turun.
Penolakan dengan membuat berbagai alasan. Pertama, produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga masih masuk rentang harga perkiraan sendiri (HPS).
Alasan kedua, spesifikasi tidak sesuai kualitas kilang. Padahal, minyak dalam negeri tersebut seharusnya masih memenuhi kualitas jika pengolahan kembali dan pengurangan kadar merkuri atau sulfurnya.
Qohar menjelaskan, saat penolakan produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS dengan berbagai alasan, Pertamina kemudian mengimpor minyak mentah.
“Harga pembelian impor tersebut apabila dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” kata Qohar.
Kemudian, Qohar menjelaskan ada dugaan pemufakatan jahat (mens rea) dalam proses impor minyak mentah tersebut oleh tersangka SDS, AP, RS, YF, bersama tersangka pihak swasta MK, DW, dan GRJ.
“Sebelum tender, dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” tutur dia.
Ia menjelaskan rencana pemufakatan jahat itu, dengan mengatur proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang.
Melalui pengaturan tersebut pengondisian pemenangan broker seolah-olah sesuai dengan ketentuan. Pengondisian itu oleh tersangka RS, SDS, dan AP yang memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
Lalu, tersangka DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP agar memperoleh harga tinggi saat syarat belum terpenuhi. Tersangka RS kemudian dugaan menyelewengkan pembelian spek minyak.
RS disebut melakukan pembelian untuk jenis Roin 92 (Pertamax) padahal yang terbeli adalah Ron 90 (Pertalite).
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak boleh,” jelas Qohar.
Qohar menjelaskan Kejagung juga menemukan dugaan markup kontrak pengiriman oleh tersangka YF dalam melakukan impor minyak mentah dan produk kilang.
Ia menuturkan negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen, secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
Lebih lanjut, Qohar menyebut korupsi ini berdampak luas pada harga BBM di Indonesia. Karena sebagian besar kebutuhan minyak nasional penuh dari impor ilegal, harga dasar BBM menjadi lebih mahal.
Hal ini berdampak pada penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM, yang menjadi acuan subsidi dan kompensasi BBM dari APBN setiap tahunnya.
Sederet perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan negara merugi sekitar Rp 193,7 triliun. Total kerugian itu bersumber dari beberapa komponen yakni Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp 35 triliun.
Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun, Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun.
Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun, Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun. Para tersangka terjerat Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Kerugian negara akibat dugaan korupsi ini sekitar Rp 193,7 triliun.
Terpisah, PT Pertamina (Persero) mengaku menghormati Kejaksaan Agung menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan pada kasus tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang perusahaan periode 2018-2023.
“Pertamina siap bekerjasama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,” ujar VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangan resmi, Selasa (25/2).
Fadjar menegaskan Pertamina Grup menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta peraturan berlaku.
Menanggapi isu yang berkembang di masyarakat dan beberapa media, Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) menegaskan tidak ada pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax. Kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang pemerintah tetapkan yakni RON 92.
“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang tersalur ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujar Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari, Selasa (25/2/2025).
Heppy melanjutkan, treatment di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah masyarakat kenali. Selain itu juga ada injeksi additive yang berfungsi untuk meningkatkan performance produk Pertamax.
“Jadi bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” jelas Heppy.
Pertamina Patra Niaga melakukan prosedur dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan kegiatan Quality Control (QC). Distribusi BBM Pertamina juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
“Kami menaati prosedur untuk memastikan kualitas dan dalam distribusinya juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Migas,” tutur Heppy.
Heppy melanjutkan, Pertamina berkomitmen menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) untuk penyediaan produk yang dibutuhkan konsumen. (BP/OKA)