DENPASAR, Balipolitika.com- Selain masalah perubahan nama jalan dan pantai, PT Bali Turtle Island Development alias BTID kini disorot karena memagari laut Serangan menggunakan pelampung sebagaimana rekaman video oleh nelayan setempat yang viral dan jadi pergunjingan publik.
Menyikapi polemik yang dipicu sepak terjang BTID selaku pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-Kura seluas 498 hektar di Pulau Serangan, Wakil Ketua DPRD Kota Denpasar, Ida Bagus Yoga Adi Putra, S.H., M.Kn. mengatakan pembangunan kawasan tersebut tidak boleh “menggusur” hak-hak masyarakat kecil.
“Jangan sampai pembangunan di Pulau Serangan menghilangkan hak-hak rakyat kecil, terutama para nelayan di mana hidup mereka dari laut,” ungkap Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Kota Denpasar yang akrab disapa Gus Yoga, Kamis, 30 Januari 2025.
“Pantai dan laut, khususnya bagi masyarakat Bali adalah wilayah sakral. Perubahan nama Serangan ini jika memang benar demikian tentunya sangat disayangkan. Termasuk privatisasi yang terjadi di kawasan tersebut,” tandas Gus Yoga.
Diberitakan sebelumnya, sepak terjang PT Bali Turtle Island Development alias BTID benar-benar melukai perasaan masyarakat lokal Bali, khususnya Serangan.
Selain perubahan nama jalan di pintu masuk Pulau Serangan yang kini sesuai pelang bertuliskan Jalan Kura-Kura Bali dan perubahan nama Pantai Bedangin Serangan atau Pantai Serangan yang bersejarah di mana kini diubah menjadi Pantai Kura-Kura Bali sebagaimana tertera dalam peta digital, PT BTID juga memagari laut Serangan.
Fakta itu terkuak dalam sebuah rekaman video berdurasi 1 menit 05 detik sebagaimana diunggah akun Instagram therakyatbali.
“Masyarakat cek langsung dengan perahu boat ke ruang laut diklaim lagoon oleh PT BTID. Namun tidak bisa masuk karena ada pagar pelampung-pelampung diikat tambang atau seling kawat,” demikian tulisnya dalam video tersebut.
“Dot melali ke gumin tiang harus nganggo boat tiang keliling gumin tiange. Tingal ne, tingal ne. Nyaman Bali gen sing nawang Kura-Kura kone adane (Pantai Kura-Kura Bali, red). Tiang lekad di Serangan sing nawang,” ungkap warga.
“Ingin pergi ke tanah kelahiran kami harus pakai perahu keliling. Ini lihat-lihat, saudara asli Bali tidak tahu Pantai Kura-Kura Bali. Saya lahir di Serangan juga tidak tahu,” demikian maknanya jika diterjemahkan.
Dalam cuplikan lain di video yang sama, tampak warga merekam penampakan pagar pelampung-pelampung diikat tambang atau seling kawat yang membuat mereka tidak masuk ke titik yang secara turun-temurun diyakini sebagai tempat ikan berkumpul.
“Kudiang tiang ngalih gae? To umah bene ditu. Kurunge kenkenang macelep? Ini buktinya, nyama Bali mancing mai sing baange masuk. Kengken ne ngeraos ne? Pang kenken biin Pak DPR?” keluh warga yang berprofesi sebagai nelayan.
“Bagaimana saya bisa bekerja? Di sana rumah ikan tapi dikurung sehingga kami tidak bisa masuk. Ini buktinya, masyarakat lokal Bali yang memancing tidak bisa masuk. Apa yang bisa kami katakan? Harus seperti apa lagi Pak DPR?” demikian makna keluhan nelayan Serangan jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Hingga Kamis, 30 Januari 2025 pukul 08.55 Wita, unggahan akun Instagram therakyatbali itu sudah dishare sebanyak 203 kali dan mengundang 143 komentar.
“Yen sube pis mejalan, ijin aluh pesu, pasih mapageh, nak mancing sing dadi kemu, nelayan sing nyidang ngalih be, keuangan yang maha kuasa,” sentil salah seorang masyarakat pemilik akun sarjanamunggah.
“Kalau sudah uang bekerja, izin mudah keluar, laut dipagari, para pemancing tidak boleh ke sana, nelayan tidak bisa mencari ikan, keuangan yang maha kuasa,” demikian terjemahannya. (bp/ken)