DISKUSI – Diskusi dan Bedah Buku A Giant Pack of Lies Part 2, Refleksi 14 Tahun Perda KTR Bali.
BALI, Balipolitika.com – Berdasarkan data The Global Adult Tobacco Survey (GATS), Indonesia menempati nomor 3 jumlah perokok terbanyak di dunia.
Hitungan selama 1 dekade, sejak 2011-2021. Jumlah perokok dewasa naik dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta.
I Made Kerta Duana, Ketua Bali Tobacco Control Initiativ, menjelaskan 68 persen pria di Indonesia adalah perokok.
“Sehingga aslinya, market perokok di kalangan dewasa, khususnya pria sudah jenuh sekali. Nah sekarang justru yang jadi sasaran adalah perokok perempuan dan anak,” sebutnya dalam acara Diskusi dan Bedah Buku ‘A Giant Pack of Lies, Refleksi 14 Tahun Perda KTR Bali’ di Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali, 23 Januari 2025.
Maksud jenuh itu, karena perokok di kalangan pria dewasa cenderung sudah adiktif dan loyal pada rokok.
Sehingga fokus ke depan, adalah membidik market rokok ke anak dan perempuan. Maka dari itu lahir lah fave atau rokok eletronik.
Maka tujuan hari ini adalah menyelamatkan anak bangsa. Kaitan dengan Impian Generasi Emas pada 2045. Hal ini menjadi tantangan, khususnya setelah rokok elektrik (fave) kian masif.
Ini juga menjadi kecemasan, karena perokok anak di Indonesia menduduki urutan kedua di dunia.
Ini berdasar data riset Kesehatan dasar pada tahun 2018, yang menunjukkan perokok anak usia 10-18 tahun naik 9,1 persen atau 7,8 juta. Usia perokok anak ini, antara 10-18 tahun.
Keresahan ini yang membuat AJI Jakarta dan AJI Denpasar, menggelar diskusi dan bedah buku ini.
Serta mengundang kalangan muda, baik siswa SMP, SMA hingga mahasiswa di Bali. Dalam upaya penyelamatan generasi muda ini, Profesor I Nyoman Darma Putra, guru besar dan akademisi Unud memberikan beberapa solusi.
“Penanaman rokok itu berbahaya harus sejak dini. Jangan sampai jadi kebiasaan lalu membudaya,” tegas Kaprodi Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana ini.
Jangan kemudian karena memberikan pajak, lapangan pekerjaan, masyarakat terus menormalisasi rokok. Sehingga bagi anak muda hal itu biasa-biasa saja.
Para regulator juga, jangan jadi putri malu saat para pengusaha rokok mendekati dengan berbagai iming-iming.
Yang lalu kemudian memberikan kemudahan dan akses, bagi pengusaha untuk mengakali aturan yang ada.
Prof Darma Putra melihat, maraknya kalangan muda merokok karena ‘3 Tas’ yaitu komunitas, identitas, kontinuitas. Sehingga jika sudah masuk 3 Tas ini, maka jeratan bagi anak muda akan kian susah lepas dari jeratan dan ajakan merokok.
“Makanya harus sejak dini, penanaman bahwa rokok berbahaya. Melalui pendidikan di sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dan konten naratif atas kepalsuan dan modus industri rokok selama ini yang sebenarnya omong kosong semata,” sebutnya.
Untuk itu, sinergi ke depan baik pemerintah maupun industri dan regulator harus satu suara dan tegak lurus terhadap peperangan pada rokok ini.
Apalagi data GATS menyebutkan 8 juta orang meninggal dunia, akibat penyakit dari paparan asap rokok.
Lalu Menkeu, Sri Mulyani, menyebutkan beban jaminan BPJS Kesehatan dari konsumsi rokok mencapai Rp27,7 triliun. Sehingga harapannya Perda KTR ke depan, bisa menjadi acuan dan tidak hanya menjadi macan ompong. (BP/OKA)