TABANAN, Balipolitika.com– I Wayan Suarta (63 tahun), warga Banjar Dinas dan Adat Katimemes, Desa Sudimara, Desa Adat Bedha, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali mengaku kaget mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan saat prosesi upacara adat kematian sang istri, Ni Nyoman Sini (55 tahun), pada Rabu, 18 Desember 2024 lalu.
“Tiang kaget, Pak. Kegiatan warga di sini, suka maupun duka, tiang aktif sebagai masyarakat, apapun bentuknya itu. Di sini ada ayahan, meli ayahan, saya meli ayahan, anak saya. Semestinya saya prai (bebas) ayahan karena anak saya meli dengan membayar Rp600 ribu per tahun. Tapi, saya tetap juga ngayah. Bisa ditanyakan sama semeton di sini! Apalagi orang meninggal, orang yang suka saja saya datang kalau memang ada kesempatan waktu. Boleh ditanyakan langsung di sini,” ungkap I Wayan Suarta diwawancarai di kediamannya, Sabtu, 21 Desember 2024 malam.
“Dalam bahasa Balinya, saat ini saya nyiksik bulu (introspeksi diri, red), apa sih kesalahan saya kok sampai seperti ini?” tanya sosok ayah 3 anak yang terakhir berpangkat Aiptu dan bertugas di SPKT Polres Tabanan sebelum akhirnya purnawirawan alias pensiun tahun 2020 silam.
Berusaha menyimpulkan apa yang menyebabkan keluarganya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pihak adat setempat, I Wayan Suarta menduga ada kaitannya dengan hajatan politik yang baru lewat, yakni Pilkada Tabanan 2024.
“Saya tidak menuduh, tapi mempunyai insting atau analisa bahwa ini justru terkait dengan pilkada (Pilkada Tabanan 2024, red). Karena di sini untuk Pilkada Tabanan kan 2 calon, Calon Sandi dan Calon Semut. Tiang tidak menuduh, ini indikasi tiang karena di sini pernah disinggung tanggal 2 Desember 2024, sudah selesai pemilu, saat rapat banjar rutin tanggal 2 Desember 2024 saat nuduk (memungut, red) iuran wajib untuk bayar utang di LPD. Saya bayar per KK Rp200.000. Itu pun saya tidak pernah nunggak. Di sana disinggung bahwa ada suara lain dari yang didukung menurut “mereka” terus katanya bagaimana nanti itu?” ungkap I Wayan Suarta.
“Itu indikasi saya. Saya tidak menuduh seperti itu. Apakah ada indikasi lain saya juga tidak pernah mengkonfirmasi karena adat di sini sampai munculnya ke medsos soal kurenan tiang driki belum mengklarifikasi juga ke tiang. Sampai detik ini belum ada klarifikasi. Semestinya kalau memang Beliau tanggap, minimal harus datang ke sini. Kan nama banjar ini Pak, bukan nama saya saja, Banjar Katimemes ini yang termasuk melindungi adat. Semestinya yang bertanggung jawab penuh kelian adat semestinya Pak. Harus klarifikasi sebenarnya dengan adanya berita seperti ini. Kan sama-sama dirugikan. Dari pihak tiang terutama yang dirugikan, semestinya tiang ngelah kurenan sube mekubur (sudah dikubur, red) , sudah tenang, dan lain sebagainya, tiang tidak pernah mempermasalahkan, tiba-tiba muncul (unggahan di medsos, red), sepertinya dia (mengklarifikasi, red) kalau memang punya itikad baik. Itu yang sangat saya sesalkan sampai saat ini,” keluh kesah I Wayan Suarta.
Diberitakan sebelumnya, I Wayan Suarta tidak tahu-menahu kenapa dirinya tiba-tiba “dikucilkan” oleh Warga Banjar Adat Katimemes, Desa Sudimara, Desa Adat Bedha, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali padahal sesuai dengan pararem atau awig-awig (peraturan, red) yang tercantum di dalam organisasi adat sangat jelas, ia sudah melaporkan perihal kematian istrinya.
“Sekitar jam 6 pagi, tiang (saya) sudah sampaikan bahwa tiang mempunyai masalah kedukaan, istri tiang meninggal. Terus tanggapan dari adat nggih (ya) terima kasih Pak sampun (sudah) menyampaikan masalah ini, malejebos (sebentar) akan saya sampaikan kepada prajuru (pengurus) adat lainnya untuk menindaklanjuti kegiatan (polah-palih) yang akan dilaksanakan sesuai dengan dresta (kebiasaan turun-menurun) di wilayah Banjar Adat Katimemes,” ungkap I Wayan Suarta sembari menyampaikan komunikasi itu terjalin pada Selasa, 17 Desember 2024 sekitar pukul 06.00 Wita.
Tidak sedikit pun berpikir negatif, pasca melapor ke pihak adat, I Wayan Suarta merasa lega karena beban duka kepergian sang istri Ni Nyoman Sini, akan ditanggung bersama krama adat lainnya sebagaimana tradisi yang sudah turun-temurun berjalan.
“Tiang (saya) kan tidak pernah berpikir yang sifatnya negatif karena sementara ini, tiang tidak ada masalah di warga niki; baik kegiatan suka maupun duka dan yang lain-lainnya. Sementara itu, tanggapan adat juga menerima dengan baik apa yang saya sampaikan. Berjalan seiringnya waktu, pas sesuai dengan pararem, sekitar jam 5 sore, melalui loudspeaker di bale banjar disampaikan bahwa ada warga meninggal dunia,” ungkapnya.
Pada Selasa, 17 Desember 2024 sore juga disampaikan siaran adat masalah kedukaan termasuk pagebagan atau kewajiban hadir ke rumah duka di malam hari.
Singkat cerita, warga adat setempat mulai ada yang berdatangan ke rumah duka dan pada saat itulah I Wayan Suarta mendapatkan informasi bahwa keluarganya tidak akan mendapatkan fasilitas gong untuk pemakaman sang istri Ni Nyoman Sini.
“Polih tiang informasi dari salah satu warga katanya Pak Tomi, nak orange sing maan gong. Tidak dapat gong (gamelan pengantar ke kuburan, umumnya berupa baleganjur, red). Akhirnya, saya segera tindaklanjuti informasi tersebut dan menghubungi pengurus gong. Ternyata tidak ada di rumah, padahal warga yang lain sudah berdatangan ke sini (rumah duka, red). Kami minta petunjuk pada prajuru adat yang hadir di rumah menanggapi informasi tersebut. Dikasi kami jawaban bahwa selaku adat lain fungsinya dengan sekehe gong,” urai I Wayan Suarta sembari mengaku bingung karena sepengetahuannya adat merupakan pengendali semua hal yang ada di bawahnya, termasuk sekehe gong.
“Apa sebab tidak mendapatkan gong? Karena anggota sekehe gong sekitar 18 orang sakit dan bekerja di pariwisata,” imbuh I Wayan Suarta menambahkan jawaban dari prajuru adat setempat.
Disinggung soal solusi atas kondisi itu, pihak adat menjawab coba nanti akan diusahakan dari di luar sekehe yang bisa megambel alias memainkan instrumen musik baleganjur agar upacara adat bisa berjalan.
Mendengarkan jawaban itu, I Wayan Suarta mengaku tertekan karena pihak adat tidak berani memastikan bahwa akan ada pengganti para penabuh yang dinyatakan sakit dan bekerja tersebut.
“Tiang kan meyakinkan apakah nanti adat itu bisa meyakinkan sekehe di luar sekehe itu untuk mencari penabuh agar (upacara) bisa berjalan? Tidak dia berani memastikan. Ya, kalau nyak, kalau mau, kalau tidak ya kanggoang, Bli. Begitu dia kepada tiang, kelian adat, yang mewakili berbicara sekretarisnya I Wayan Arka namanya. Berarti kan tidak ada kepastian?” ungkap I Wayan Suarta.
Tak ingin larut dalam ketidakpastian, I Wayan Suarta pun akhirnya berpikir upacara duka kematian istrinya harus tetap berjalan meskipun tanpa gamelan gong baleganjur dari banjar adat sebagaimana yang sudah berjalan sebelumnya.
“Tiang tidak mau menelusuri lebih lanjut karena besoknya (Rabu, 18 Desember 2024, red) sudah acara. Kalau saya misalnya berusaha mencari gong juga kemungkinan tidak dapat karena mendadak. Akhirnya saya merembug dengan pianak, saudara sami, kalau memang begitu kenyataannya kanggoang (pasrah, red) tidak pakai gong. Kalaupun tidak ada gong tidak masalah yang penting yadnya kita jalan,” ungkap I Wayan Suarta.
Hasil rembug pihak keluarga tersebut diamini oleh pihak adat dengan mengatakan itulah jalan paling ideal.
“Pihak adat berkata, begitu saja Bli. Cukup dah. Gitu dia, tapi tidak mengatakan bahwa kami mendapatkan gong atau tidak,” bebernya.
Selang sehari kemudian, pada Rabu, 18 Desember 2024 pagi, sejumlah krama istri Banjar Adat Katimemes ngayah di rumah duka membuat sesajen dan sejenisnya.
Saat kentongan atau kulkul berbunyi, krama banjar Adat Katimemes pun datang ke rumah duka.
“Apa fungsi adat itu berjalan pada saat itu, membuat bangbang (menggali kuburan, red), membuat pengayehan (tempat memandikan jenazah, red), membuat sesaji, penegenenan, dan lain sebagainya itu semua sudah terpenuhi. Dan kaum ibu juga demikian,” ungkap I Wayan Suarta.
Namun, ada kejanggalan di pihak perempuan di mana sesuai pemantauan, tidak semestinya seperti itu, ada yang datang, ada yang ragu-ragu, ada yang datang tapi balik lagi.
“Intinya menurut pandangan kami agak kurang etis. Dari sana saya mulai berpikir apa sih maksudnya ini? Akhirnya saya biarkan itu, yang penting kegiatan yadnya dan upacara tiang berjalan lancar. Tiang juga tidak menanyakan kembali apakah saya dapat gong atau tidak karena malam sebelumnya (Selasa, 17 Desember 2024, red) sudah final. Kami sudah anggap selesai,” ungkap I Wayan Suarta pasrah.
Akhirnya berjalan waktu, kegiatan upacara ke setra pun dimulai sekitar pukul 13.00 siang, yakni memandikan jenazah dan ngeringkes.
“Memang, dalam hal ini (memandikan jenazah, red) untuk di banjar ini, pada umumnya siapa yang punya keluarga sawa itu saja yang memandikan dan lain sebagainya. Tiang tidak pernah menuntut atau lain sebagainya yang lainnya untuk terlibat. Intinya, yang penting berjalan. Semestinya, krama banjar datang ke sini. Yang datang ke sini adalah keluarga besar tiang dan keluarga besar perempuan tiang yang di luar dari banjar ini. Terus saya berpikir, kalau seperti ini siapa yang akan membawa sesajen ke setra? Kalau tidak bisa, biar dua kali keluarga ngambil,” demikian disampaikan I Wayan Suarta.
Usai jenazah dimandikan, diringkes, dan dimasukkan ke dalam peti, I Wayan Suarta menyebut pihak adat hadir diwakili I Wayan Arka serta menyampaikan bahwa ada 10 orang di luar.
Pihak adat pun bertanya 10 orang itu mau diajak negen (menjinjing) gong atau sawa (jenazah).
“Kalau bilang negen gong, gong tidak ada di luar. Sedangkan tiang dari pihak yang berduka sudah menyiapkan banten gong. Saat banten gong dibawa keluar, gong tidak ada, akhirnya banten tiang kembali. Persiapan snack, rokok, dan sebagainya juga sudah kami siapkan,” ungkap ayah 3 anak itu.
Menyikapi kondisi tersebut, akhirnya pihak keluarga menjinjing loudspeaker ke kuburan.
“Kami membesarkan hati memakai itu saja (loudspeaker, red) tidak masalah yang penting yadnya saya berjalan ke Setra Banjar Adat Katimemes. Begitu gong tiang kontakan angklung keluar ke sawa sampai di jalan, saya juga tidak terlalu memperhatikan situasi karena fokus kepada layon istri saya dengan situasi seperti itu,” tandas korban.
Akhirnya, sampai di jalan dan menurut anak korban ada warga sebanyak 10 orang sudah menunggu untuk mau negen di luar keluarga tiang yang sudah dari rumah mengantarkan jenazah sampai di jalan.
“Tiang melihat anehnya juga ada warga banjar perempuan kebanyakan nonton di pinggir jalan. Justru tiang bawa lancingan kain putih (kasa) yang mau dilepas untuk dipegang biasanya sama krama, itu tidak ada yang memegang. Justru yang mengambil keluarga besar perempuan tiang. Itulah tiang merasa tersakiti walaupun tiang masih tetap sabar,” keluh kesah I Wayan Suarta.
Akhirnya sampai di setra, ada beberapa warga Banjar Adat Katimemes yang iba melihat situasi seperti itu mau mereka menunggu sampai penguburan selesai.
“Di saat penguburan itu, tiang ajak papat (berempat) menguburkan istri saya. Keluarga besar saya masih menunggu hingga acara selesai. Sementara warga yang lain ada beberapa seperti yang saya katakan tadi, mungkin mereka prihatin hingga mau menunggu sampai selesai juga. Selesai di setra, kami pulang, dan tidak ada membahas hal itu. Besoknya, menurut anak tiang viral di media sosial. Tiang kaget. Tidak tahu sama sekali tiang. Anak tiang bilang dimuat di Suara Tabanan,” ungkapnya.
“Tiang kaget. Tiang sudah pasrahkan, tiang sudah ikhlaskan apapun yang dilakukan oleh adat dengan mengkriminalisasikan tiang seperti itu. Saya sudah tidak mau mempermasalahkan yang penting yadnya duka tiang sudah selesai. Itu poinnya. Dengan adanya itu, saya tetap sabar. Tiang tidak mencari kambing hitam atau ada dugaan siapa yang mempengaruhi warga, tidak saya lakukan,” tegas I Wayan Suarta. (bp/ken)