TABANAN, Balipolitika.com- Banjar Dinas dan Adat Katimemes, Desa Sudimara, Desa Adat Bedha, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali jadi sorotan.
Dikenal rajin ngayah, tidak pernah nunggak bayar papeson atau iuran adat, dan kerap kali ikut ngeringkes atau memandikan jenazah krama adat yang meninggal dunia, tiba-tiba Purnawirawan Polisi Aiptu I Wayan Suarta (63 tahun) “dikucilkan” saat sang istri, Ni Nyoman Sini (55 tahun) berpulang hingga dikubur di setra setempat alias Mekingsan ring Pertiwi, Rabu, 18 Desember 2024.
Heboh di media sosial, Tim Redaksi Balipolitika.com berhasil menemui I Wayan Suarta, Sabtu, 21 Desember 2024 malam untuk diwawancarai terkait polemik tersebut.
Menempati kediamannya saat ini sejak tahun 1990-an, I Wayan Suarta menegaskan warga Banjar Adat Katimemes mempunyai hak dan kewajiban.
Dalam hal ini, sesuai dengan pararem atau awig-awig (peraturan, red) yang tercantum di dalam organisasi adat sangat jelas; apabila ada salah satu warga yang meninggal dunia, harus segera melaporkan kepada kelian adat; hal tersebut sudah ia lakukan.
“Sekitar jam 6 pagi, tiang (saya) sudah sampaikan bahwa tiang mempunyai masalah kedukaan, istri tiang meninggal. Terus tanggapan dari adat nggih (ya) terima kasih Pak sampun (sudah) menyampaikan masalah ini, malejebos (sebentar) akan saya sampaikan kepada prajuru (pengurus) adat lainnya untuk menindaklanjuti kegiatan (polah-palih) yang akan dilaksanakan sesuai dengan dresta (kebiasaan turun-menurun) di wilayah Banjar Adat Katimemes,” ungkap I Wayan Suarta sembari menyampaikan komunikasi itu terjalin pada Selasa, 17 Desember 2024 sekitar pukul 06.00 Wita.
Tidak sedikit pun berpikir negatif, pasca melapor ke pihak adat, I Wayan Suarta merasa lega karena beban duka kepergian sang istri Ni Nyoman Sini, akan ditanggung bersama krama adat lainnya sebagaimana tradisi yang sudah turun-temurun berjalan.
“Tiang (saya) kan tidak pernah berpikir yang sifatnya negatif karena sementara ini, tiang tidak ada masalah di warga niki; baik kegiatan suka maupun duka dan yang lain-lainnya. Sementara itu, tanggapan adat juga menerima dengan baik apa yang saya sampaikan. Berjalan seiringnya waktu, pas sesuai dengan pararem, sekitar jam 5 sore, melalui loudspeaker di bale banjar disampaikan bahwa ada warga meninggal dunia,” ungkapnya.
Pada Selasa, 17 Desember 2024 sore juga disampaikan siaran adat masalah kedukaan termasuk pagebagan atau kewajiban hadir ke rumah duka di malam hari.
Singkat cerita, warga adat setempat mulai ada yang berdatangan ke rumah duka dan pada saat itulah I Wayan Suarta mendapatkan informasi bahwa keluarganya tidak akan mendapatkan fasilitas gong untuk pemakaman sang istri Ni Nyoman Sini.
“Polih tiang informasi dari salah satu warga katanya Pak Tomi, nak orange sing maan gong. Tidak dapat gong (gamelan pengantar ke kuburan, umumnya berupa baleganjur, red). Akhirnya, saya segera tindaklanjuti informasi tersebut dan menghubungi pengurus gong. Ternyata tidak ada di rumah, padahal warga yang lain sudah berdatangan ke sini (rumah duka, red). Kami minta petunjuk pada prajuru adat yang hadir di rumah menanggapi informasi tersebut. Dikasi kami jawaban bahwa selaku adat lain fungsinya dengan sekehe gong,” urai I Wayan Suarta sembari mengaku bingung karena sepengetahuannya adat merupakan pengendali semua hal yang ada di bawahnya, termasuk sekehe gong.
“Apa sebab tidak mendapatkan gong? Karena anggota sekehe gong sekitar 18 orang sakit dan bekerja di pariwisata,” imbuh I Wayan Suarta menambahkan jawaban dari prajuru adat setempat.
Disinggung soal solusi atas kondisi itu, pihak adat menjawab coba nanti akan diusahakan dari di luar sekehe yang bisa megambel alias memainkan instrumen musik baleganjur agar upacara adat bisa berjalan.
Mendengarkan jawaban itu, I Wayan Suarta mengaku tertekan karena pihak adat tidak berani memastikan bahwa akan ada pengganti para penabuh yang dinyatakan sakit dan bekerja tersebut.
“Tiang kan meyakinkan apakah nanti adat itu bisa meyakinkan sekehe di luar sekehe itu untuk mencari penabuh agar (upacara) bisa berjalan? Tidak dia berani memastikan. Ya, kalau nyak, kalau mau, kalau tidak ya kanggoang, Bli. Begitu dia kepada tiang, kelian adat, yang mewakili berbicara sekretarisnya I Wayan Arka namanya. Berarti kan tidak ada kepastian?” ungkap I Wayan Suarta.
Tak ingin larut dalam ketidakpastian, I Wayan Suarta pun akhirnya berpikir upacara duka kematian istrinya harus tetap berjalan meskipun tanpa gamelan gong baleganjur dari banjar adat sebagaimana yang sudah berjalan sebelumnya.
“Tiang tidak mau menelusuri lebih lanjut karena besoknya (Rabu, 18 Desember 2024, red) sudah acara. Kalau saya misalnya berusaha mencari gong juga kemungkinan tidak dapat karena mendadak. Akhirnya saya merembug dengan pianak, saudara sami, kalau memang begitu kenyataannya kanggoang (pasrah, red) tidak pakai gong. Kalaupun tidak ada gong tidak masalah yang penting yadnya kita jalan,” ungkap I Wayan Suarta.
Hasil rembug pihak keluarga tersebut diamini oleh pihak adat dengan mengatakan itulah jalan paling ideal.
“Pihak adat berkata, begitu saja Bli. Cukup dah. Gitu dia, tapi tidak mengatakan bahwa kami mendapatkan gong atau tidak,” bebernya.
Selang sehari kemudian, pada Rabu, 18 Desember 2024 pagi, sejumlah krama istri Banjar Adat Katimemes ngayah di rumah duka membuat sesajen dan sejenisnya.
Saat kentongan atau kulkul berbunyi, krama banjar Adat Katimemes pun datang ke rumah duka.
“Apa fungsi adat itu berjalan pada saat itu, membuat bangbang (menggali kuburan, red), membuat pengayehan (tempat memandikan jenazah, red), membuat sesaji, penegenenan, dan lain sebagainya itu semua sudah terpenuhi. Dan kaum ibu juga demikian,” ungkap I Wayan Suarta.
Namun, ada kejanggalan di pihak perempuan di mana sesuai pemantauan, tidak semestinya seperti itu, ada yang datang, ada yang ragu-ragu, ada yang datang tapi balik lagi.
“Intinya menurut pandangan kami agak kurang etis. Dari sana saya mulai berpikir apa sih maksudnya ini? Akhirnya saya biarkan itu, yang penting kegiatan yadnya dan upacara tiang berjalan lancar. Tiang juga tidak menanyakan kembali apakah saya dapat gong atau tidak karena malam sebelumnya (Selasa, 17 Desember 2024, red) sudah final. Kami sudah anggap selesai,” ungkap I Wayan Suarta pasrah.
Akhirnya berjalan waktu, kegiatan upacara ke setra pun dimulai sekitar pukul 13.00 siang, yakni memandikan jenazah dan ngeringkes.
“Memang, dalam hal ini (memandikan jenazah, red) untuk di banjar ini, pada umumnya siapa yang punya keluarga sawa itu saja yang memandikan dan lain sebagainya. Tiang tidak pernah menuntut atau lain sebagainya yang lainnya untuk terlibat. Intinya, yang penting berjalan. Semestinya, krama banjar datang ke sini. Yang datang ke sini adalah keluarga besar tiang dan keluarga besar perempuan tiang yang di luar dari banjar ini. Terus saya berpikir, kalau seperti ini siapa yang akan membawa sesajen ke setra? Kalau tidak bisa, biar dua kali keluarga ngambil,” demikian disampaikan I Wayan Suarta.
Usai jenazah dimandikan, diringkes, dan dimasukkan ke dalam peti, I Wayan Suarta menyebut pihak adat hadir diwakili I Wayan Arka serta menyampaikan bahwa ada 10 orang di luar.
Pihak adat pun bertanya 10 orang itu mau diajak negen (menjinjing) gong atau sawa (jenazah).
“Kalau bilang negen gong, gong tidak ada di luar. Sedangkan tiang dari pihak yang berduka sudah menyiapkan banten gong. Saat banten gong dibawa keluar, gong tidak ada, akhirnya banten tiang kembali. Persiapan snack, rokok, dan sebagainya juga sudah kami siapkan,” ungkap ayah 3 anak itu.
Menyikapi kondisi tersebut, akhirnya pihak keluarga menjinjing loudspeaker ke kuburan.
“Kami membesarkan hati memakai itu saja (loudspeaker, red) tidak masalah yang penting yadnya saya berjalan ke Setra Banjar Adat Katimemes. Begitu gong tiang kontakan angklung keluar ke sawa sampai di jalan, saya juga tidak terlalu memperhatikan situasi karena fokus kepada layon istri saya dengan situasi seperti itu,” tandas korban.
Akhirnya, sampai di jalan dan menurut anak korban ada warga sebanyak 10 orang sudah menunggu untuk mau negen di luar keluarga tiang yang sudah dari rumah mengantarkan jenazah sampai di jalan.
“Tiang melihat anehnya juga ada warga banjar perempuan kebanyakan nonton di pinggir jalan. Justru tiang bawa lancingan kain putih (kasa) yang mau dilepas untuk dipegang biasanya sama krama, itu tidak ada yang memegang. Justru yang mengambil keluarga besar perempuan tiang. Itulah tiang merasa tersakiti walaupun tiang masih tetap sabar,” keluh kesah I Wayan Suarta.
Akhirnya sampai di setra, ada beberapa warga Banjar Adat Katimemes yang iba melihat situasi seperti itu mau mereka menunggu sampai penguburan selesai.
“Di saat penguburan itu, tiang ajak papat (berempat) menguburkan istri saya. Keluarga besar saya masih menunggu hingga acara selesai. Sementara warga yang lain ada beberapa seperti yang saya katakan tadi, mungkin mereka prihatin hingga mau menunggu sampai selesai juga. Selesai di setra, kami pulang, dan tidak ada membahas hal itu. Besoknya, menurut anak tiang viral di media sosial. Tiang kaget. Tidak tahu sama sekali tiang. Anak tiang bilang dimuat di Suara Tabanan,” ungkapnya.
“Tiang kaget. Tiang sudah pasrahkan, tiang sudah ikhlaskan apapun yang dilakukan oleh adat dengan mengkriminalisasikan tiang seperti itu. Saya sudah tidak mau mempermasalahkan yang penting yadnya duka tiang sudah selesai. Itu poinnya. Dengan adanya itu, saya tetap sabar. Tiang tidak mencari kambing hitam atau ada dugaan siapa yang mempengaruhi warga, tidak saya lakukan,” tegas I Wayan Suarta. (bp/ken)