SORE yang cerah di sudut kota. Seorang mahasiswa mengetuk-ngetukkan sendok ke gelas kopinya, sementara teman-temannya sibuk dengan layar ponsel. Asap rokok melayang-layang di antara obrolan ringan tentang tugas kuliah, harga outfit, dan rencana liburan. Sesekali terdengar tawa lepas, sesekali terdengar keluhan tentang dosen yang “tidak masuk akal.” Di seberang meja, sekelompok anak muda lainnya sedang berpose untuk foto Instagram, menyusun minuman mereka agar terlihat estetik.
Adegan ini bukan hanya milik satu kafe di satu kota—ini adalah sketsa sosial yang berulang di ratusan tempat serupa di seluruh Indonesia. Namun, yang mencolok bukan hanya keseragaman aktivitasnya, melainkan absennya diskursus yang melampaui obrolan ringan.
Jika kita kembali ke abad ke-18 di Prancis, kafe bukan sekadar tempat melepas lelah, melainkan titik pertemuan intelektual. Di sana, Voltaire, Rousseau, dan Diderot meramu gagasan yang mengguncang dunia. Kafe adalah medan tempur ide, tempat kata-kata beradu tajam, di mana filsafat dan politik dikunyah bersama roti dan minuman. Kontras dengan itu, di republik ini, kafe lebih sering berfungsi sebagai latar belakang swafoto ketimbang arena debat yang menggugah pikiran.
Mengapa ini terjadi? Mengapa ruang-ruang yang seharusnya menjadi lahan subur bagi pemikiran justru menjadi monumen bagi kebanalan?
Alih-alih meresap ke dalam denyut kehidupan sehari-hari, perkuliahan di negeri ini semakin terkotak dalam ruang-ruang akademik yang steril. Para mahasiswa belajar dalam batasan-batasan kurikulum yang kaku, seolah-olah pengetahuan hanyalah rangkaian fakta yang harus dihafal dan diuji, bukan sesuatu yang perlu diuji melalui dialog. Michel Foucault, dalam Discipline and Punish, menyebutkan bahwa institusi modern cenderung membentuk individu melalui mekanisme pengawasan dan normalisasi—pendidikan pun tidak luput dari ini.
Di Indonesia, kecenderungan ini semakin tajam. Kelas-kelas menjadi seperti rumah kaca, tempat gagasan dibiakkan dalam kondisi yang terkendali, tetapi rapuh ketika dihadapkan pada dunia nyata. Kafe, yang seharusnya menjadi ruang alternatif bagi diskusi intelektual, justru menjadi ekstensi dari alienasi akademik. Tidak ada perdebatan sengit di meja kopi, karena mahasiswa telah diajari bahwa berpikir kritis hanya terjadi di ruang kelas, di bawah tatapan pengawas ujian.
Kondisi ini diperparah oleh kapitalisasi ruang sosial. Kafe-kafe yang tumbuh di sekitar kampus bukan dirancang sebagai arena dialektika, melainkan sebagai kantong ekonomi yang memanfaatkan kebutuhan mahasiswa akan tempat nongkrong. Tempat-tempat ini lebih peduli pada estetika interior ketimbang atmosfer intelektual. Pemilik kafe tidak merancang ruang yang memfasilitasi percakapan mendalam, melainkan ruang yang nyaman untuk duduk berjam-jam tanpa gangguan, selama ada pesanan yang mengalir ke kasir.
Namun, menutup perbincangan tentang kafe hanya sebagai tempat nongkrong belaka juga tidak cukup adil. Jika kita memandangnya sebagai artefak budaya, kafe menyimpan jejak sejarah yang lebih panjang dan lebih kompleks. Ia adalah panggung bagi berbagai bentuk ekspresi, dari percakapan ringan hingga perlawanan politik.
Di masa kolonial, misalnya, warung kopi sering menjadi tempat bertemunya para aktivis pergerakan nasional. Chairil Anwar, seorang penyair yang membawa api dalam puisinya, konon lebih banyak mendiskusikan ide-idenya di warung ketimbang di ruang kelas. Warung kopi, dalam konteks itu, adalah tempat di mana gagasan besar dirajut dari bahan-bahan sederhana: segelas kopi, sebungkus rokok, dan keberanian untuk berpikir liar.
Di era digital ini, seharusnya kafe dapat bertransformasi menjadi ruang intelektual baru, tempat pertemuan antara wacana analog dan digital, antara filsafat klasik dan tren kontemporer. Tapi, agar itu terjadi, kita harus terlebih dahulu membebaskan diri dari logika konsumsi yang mendikte bagaimana kita menggunakan ruang-ruang ini.
Jika kafe adalah sebuah panggung, pertanyaannya adalah: apakah kita masih ingin menjadikannya tempat di mana wacana-wacana besar dipertarungkan, atau hanya sekadar latar belakang bagi percakapan kosong?
Dalam lanskap ekonomi kapitalisme lanjut, ruang sosial tidak pernah benar-benar bebas dari mekanisme pasar. Henri Lefebvre dalam The Production of Space menjelaskan bahwa ruang tidak hanya dipahami sebagai lokasi fisik, tetapi juga sebagai hasil dari produksi sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi dan politik. Kafe, dalam konteks ini, bukan hanya tempat di mana orang bertemu dan berbicara, melainkan produk yang dikonstruksi untuk memenuhi hasrat konsumsi.
Jika kita kembali ke asalnya, kafe di Eropa abad ke-18 lahir dalam era yang dikenal sebagai public sphere—ruang publik tempat individu berkumpul untuk membahas isu-isu politik, sosial, dan budaya. Konsep ini dikembangkan oleh Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, di mana ia menunjukkan bahwa ruang publik adalah elemen fundamental dalam demokrasi deliberatif. Namun, dalam sistem kapitalisme modern, ruang publik ini telah direduksi menjadi pseudo-public space—tempat yang tampak seperti ruang bersama, tetapi sebenarnya dikendalikan oleh kepentingan privat.
Kafe hari ini bukanlah agora tempat wacana intelektual berkembang, melainkan ruang di mana manusia diprogram untuk mengonsumsi. Suasana yang diciptakan bukan untuk menstimulasi pikiran, tetapi untuk memperpanjang durasi konsumsi. Musik yang dipilih, desain interior yang dirancang, hingga sistem layanan pelanggan yang dibangun—semuanya bertujuan agar pelanggan betah lebih lama dan mengeluarkan lebih banyak uang.
Jean Baudrillard dalam The Consumer Society menjelaskan bahwa dalam masyarakat konsumsi, kita tidak lagi membeli produk berdasarkan kebutuhan rasional, melainkan karena kita mengejar tanda-tanda sosial yang melekat pada produk tersebut. Minum kopi di Starbucks, misalnya, bukan sekadar menikmati kafein, tetapi juga menandakan kelas sosial dan gaya hidup tertentu. Akibatnya, fungsi kafe bergeser dari tempat diskursus menjadi tempat pembuktian status.
Kita harus bertanya: apakah kita benar-benar ingin minum kopi, atau hanya ingin menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari ekosistem sosial tertentu? Apakah kita benar-benar ingin berpikir, atau hanya ingin terlihat intellectual aesthetic dengan buku yang tak benar-benar dibaca di samping latte kita?
Dari sudut pandang psikologi, ruang berperan besar dalam membentuk cara kita berpikir dan berinteraksi. Edward T. Hall dalam The Hidden Dimension menjelaskan bagaimana manusia merespons ruang secara psikologis dan sosial. Dalam konteks kafe, tata letak meja, pencahayaan, hingga suasana akustik dapat menentukan apakah sebuah tempat memfasilitasi percakapan mendalam atau justru membuat pengunjung semakin terisolasi.
Menariknya, banyak kafe modern justru dirancang untuk meningkatkan pengalaman individualisme. Kursi-kursi yang berjarak, penempatan meja yang lebih mengarah pada cozy solitude ketimbang kebersamaan, serta penggunaan sekat-sekat yang menciptakan ilusi privasi adalah elemen desain yang memperkuat alienasi sosial. Bandingkan dengan warung kopi tradisional di desa-desa, di mana meja panjang dipakai bersama, orang dengan mudah terlibat percakapan dengan orang asing, dan keintiman sosial tumbuh secara organik.
Kecenderungan ini sejalan dengan observasi Erich Fromm dalam The Art of Loving, bahwa masyarakat modern semakin kehilangan kapasitas untuk menjalin hubungan yang autentik. Kita semakin sering berada dalam ruang bersama, tetapi semakin jarang benar-benar terhubung satu sama lain. Percakapan intelektual pun menjadi sesuatu yang sulit terjadi bukan hanya karena kurangnya minat, tetapi karena desain ruang tidak lagi mendukung spontanitas interaksi.
Ironisnya, era digital yang menjanjikan keterhubungan justru semakin memperparah isolasi ini. Di kafe-kafe, individu lebih banyak berinteraksi dengan layar ketimbang dengan sesama pengunjung. Mereka lebih asyik dengan diskusi di Twitter atau membaca hot takes di Instagram ketimbang terlibat dalam perdebatan langsung yang menuntut argumentasi kritis.
Kafe, pada akhirnya, bukan hanya fenomena ekonomi atau sosial, tetapi juga artefak budaya yang merefleksikan nilai-nilai zaman. Jika di abad pencerahan kafe adalah ruang bagi debat intelektual, maka di abad konsumsi, ia menjadi simbol gaya hidup. Kafe bukan lagi tempat bagi gagasan-gagasan besar, tetapi tempat di mana identitas dibangun dan ditampilkan.
Sosiolog Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste menunjukkan bagaimana preferensi seseorang terhadap makanan, minuman, dan tempat nongkrong bukan hanya soal selera pribadi, tetapi juga cerminan posisi sosialnya. Pilihan kita untuk nongkrong di kafe estetik, memesan kopi tertentu, atau menggunakan laptop tertentu di meja kerja bersama bukan hanya tindakan biasa, tetapi ekspresi dari habitus yang terbentuk oleh struktur sosial yang lebih besar.
Di titik ini, kafe menjadi lebih dari sekadar tempat, tetapi juga ritual budaya yang mencerminkan bagaimana masyarakat mendefinisikan kebersamaan dan pengetahuan. Jika hari ini kafe di Indonesia lebih banyak digunakan untuk flexing lifestyle ketimbang intellectual discourse, itu bukan semata-mata kesalahan individu, melainkan gejala dari struktur sosial yang lebih luas.
Namun, bukan berarti semua harapan hilang. Sejarah menunjukkan bahwa ruang selalu bisa direbut kembali. Jika warung kopi di masa pergerakan bisa menjadi ruang subversif bagi kolonialisme, mengapa kafe hari ini tidak bisa menjadi arena perlawanan terhadap kedangkalan intelektual? Jika Voltaire dan Rousseau bisa merancang revolusi di meja kopi, mengapa kita tidak bisa menggunakan ruang yang sama untuk menggugat banalitas zaman kita sendiri?
Barangkali, yang kita perlukan bukan hanya tempat baru, tetapi mentalitas baru—keberanian untuk mengubah kafe dari sekadar backdrop kehidupan sosial menjadi laboratorium bagi percakapan yang lebih berani, lebih tajam, dan lebih bermakna.
Mungkin, di ujung segala diskusi ini, pertanyaan yang paling mendesak bukan lagi tentang kafe itu sendiri, melainkan tentang bagaimana kita memilih untuk mengisi ruang-ruang yang kita tempati—apakah kita sekadar hadir sebagai konsumen pasif yang terjebak dalam ritme kapitalisme, atau sebagai individu yang berani menjadikan ruang sebagai medan bagi percakapan yang menghidupkan pikiran dan jiwa? Sebab, sejatinya, ruang tidak pernah sekadar ruang; ia adalah cermin dari bagaimana kita memahami diri, sesama, dan dunia. Jika kita ingin melihat perubahan, barangkali yang perlu kita lakukan bukan sekadar menuntut agar kafe menjadi lebih intelektual, melainkan mulai berbicara, mempertanyakan, dan berdebat di meja yang telah kita duduki selama ini—sebab pemikiran besar tidak lahir dari tempat, melainkan dari keberanian untuk berpikir melampaui batas-batas yang mengungkung kita.
*Fileski Walidha Tanjung adalah penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media lokal dan nasional.