BANGLI, Balipolitika.com– Desa Kedisan dan Buahan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli melaksanakan aktivasi penguatan ekosistem kebudayaan di desa masing-masing, Senin, 9 Desember 2024.
Kegiatan bertujuan memperkuat narasi pelestarian air, khususnya Danau Batur, sebagai hulu peradaban subak.
Kegiatan berlangsung dalam suasana cuaca yang kurang bersahabat.
Para peserta yang terdiri atas masyarakat dan anak-anak SD di masing-masing desa tampak demikian semangat di tengah guyuran hujan yang turun sejak sehari sebelumnya.
Kegiatan tersebut merupakan kelanjutan dari aktivasi “Kegiatan Penguatan Ekosistem Kebudayaan di Desa-desa Warisan Dunia Subak” di kawasan Pura Ulun Danu Batur-DAS Pakerisan.
Sebelumnya, pada 1 Desember 2024, lima desa di kawasan tersebut (Desa Batur Utara, Batur Selatan, Batur Tengah, Sanding, dan Petak Kaja, red) telah terlebih dahulu melakukan aktivasi bersama.
Adapun kedua desa tersebut merupakan dua desa yang berada di Kaldera Batur itu terhubung secara integral dengan Pura Ulun Danu Batur.
Fasilitator Kegiatan Penguatan Ekosistem Kebudayaan di Desa-desa Kawasan Warisan Dunia Subak wilayah Pura Ulun Danu Batur-DAS Pakerisan, I Ketut Eriadi Ariana mengatakan aktivasi yang dilaksanakan setiap desa telah melalui serangkaian tahapan, termasuk temu-kenali objek pemajuan kebudayaan dan cagar budaya di setiap desa.
Setelah proses tersebut daya desa (pendamping desa, red) setiap desa memilih potensi kebudayaan unggulan untuk diaktivasi dalam program-program aksi.
“Tujuh desa di kawasan Warisan Dunia Subak Pura Ulun Danu Batur-DAS Pakerisan memiliki karakter kebudayaan yang khas, terlebih lima di antaranya adalah desa-desa hulu yang berperan sebagai menjaga lingkungan, khususnya danau, maka kegiatan yang diaktivasi beririsan dengan spirit konservasi lingkungan,” katanya.
Ia menjelaskan Desa Buahan pada kegiatan tersebut mengaktivasi kegiatan bertajuk “Lalana Wanawikrama-Jalan Karaman i Buahan Mewariskan Kearifan Hutan Adat” yang terdiri atas kegiatan jelajah hutan adat, diskusi, hingga aksi lingkungan.
Program tersebut berpusat pada upaya untuk menjaga dan mewariskan kearifan leluhur dalam menjaga hutan adat serta danau.
“Sementara desa tetangganya, yakni Desa Kedisan melakukan kegiatan bertajuk ‘Yowana Kramabudaya’ yang berporos pada pewarisan kesadaran kolektif anak-anak untuk menjaga danau. Wujud nyata kegiatannya antara lain bersih sampah plastik di tepi danau, penuangan ekoenzim, penebaran benih ikan, penanaman pohon, dan menulis tentang pelestarian danau dengan sasarannya anak-anak SDN 1 Kedisan,” jelasnya.
Daya Desa Buahan, I Nyoman Surama menambahkan alasan pihaknya mengaktivasi kegiatan dalam bentuk penjelajahan hutan adat.
“Hutan adat kami memiliki nilai yang sangat penting secara spiritual dan kultural yang juga terkait dengan narasi Prasasti Buahan yang kami sangat sucikan. Sejak dulu leluhur kami tidak berani merusak hutan, pun hanya sekadar memotong kayu. Sampai saat ini ada beberapa pohon yang tidak boleh kami tebang seperti bodi, beringin, tingkih (kemiri), dan seming, yang memang ada di hutan adat kami,” ucapnya.
Di hutan adatnya terdapat beberapa situs suci, antara lain Pura Jero Ratu yang terkait dengan Pura Puseh serta Pura Suci yang menjadi tempat penyimpanan Prasasti Buahan.
Situs-situs itulah yang dikenalkan bersama dengan narasi yang dikandungnya selama jelajah hutan itu.
“Jalur yang dilalui juga merupakan jalur utama masyarakat Buahan yang dahulu digunakan untuk berjualan ke daerah Pasar Menanga, Karangasem. Sejak ada jalan raya, jalur ini tidak lagi terjamah. Jadi, bisa dibilang kegiatan jelajah hutan ini bernostalgia pada masa lalu itu,” ucapnya.
Adapun kegiatan jelajah hutan itu berakhir di Pura Panglepasan Danu Gadang yang juga merupakan salah satu pura penting di tepi Danau Batur.
“Pura Danu Kuning dan Danu Gadang ini adalah situs patirtaan yang kami sucikan, tempat memuliakan air, dalam hal ini juga danau yang harapannya bisa diketahui oleh generasi muda ke depan,” ucapnya.
Kegiatan kemudian berlanjut dengan Dharma Wacana yang diikuti anak-anak SD serta pembagian bibit pohon buah bagi masyarakat sebagai pemantik untuk tetap menjaga lingkungan.
Awalnya kegiatan Dharma Wacana direncanakan di Pura Danu Gadang, tetapi kemudian bergeser karena kondisi cuaca yang tidak mendukung.
“Awalnya kami memang ingin melibatkan anak-anak untuk jelajah hutan adat, tetapi karena cuaca jadinya yang menjelajah hanya orang-orang dewasa. Demikian juga harusnya Dharma Wacananya secara outdoor di Pura Panglepasan Danu Gadang, tetapi akhirnya digeser ke ruangan indoor karena hujan. Namun, tidak mengurangi makna,” katanya.
Daya Desa Kedisan, I Nyoman Narsa menyatakan hal serupa sekaligus mengatakan kegiatan aktivasi penguatan ekosistem kebudayaan yang dilakukan di desanya bertujuan untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya lingkungan, khususnya danau, bagi kehidupan budaya.
“Budaya itu kan tidak harus menari atau magambel, atau makidung, tetapi juga etika. Nah, etika lingkungan itulah yang ingin tanamkan ke anak-anak, bahwa danau itu penting, harus dijaga dari sampah dan lainnya,” kata dia.
Ia menjelaskan pihaknya secara sengaja menyasar anak-anak SD sebagai objek sasaran.
Harapannya ketika anak-anak punya pengalaman mengikuti kegiatan pelestarian lingkungan, akan tumbuh rasa cinta lingkungan.
Gagasan itu semakin ditegaskan melalui kegiatan menulis bersama yang dilakukan oleh anak-anak.
“Dengan demikian anak-anak dapat dua manfaat, yakni budaya literasi dan budaya cinta lingkungan, sehingga mereka nanti ada kesadaran bahwa mereka yang hidup di tepi danau itu bagian penting lo dalam pelestarian subak, bahwa danau itu bukan hanya tempat ikan hidup, tetapi juga sumber kebudayaan desanya,” tambah Narsa. (bp/ken)