Ilustrasi – Lab narkoba digerebek Bareskrim Polri, estimasi produksi Rp2 triliun siap edar pas tahun baru 2024 ke 2025.
BALI, Balipolitika.com – Tampaknya Bali menjadi sarang empuk bagi pengedar dan produksi narkoba. Belakangan bahkan villa pun menjadi lokasi pembuatan barang haram ini.
Villa dua lantai di Jalan Cempaka Gading, Ungasan, Kuta Selatan, Badung, pun digerebek Bareskrim Polri. Usai ketahuan, ternyata villa ini adalah klandestin laboratorium narkotika.
Atau pabrik rahasia pembuatan narkoba, dengan nilai estimasi barang yang dapat produksi mencapai Rp2 triliun.
Laboratorium tersembunyi ini, membuat narkotika jenis hasis hasil ekstrak ganja padat dan cair seberat 200 kilogram.
Selain itu juga ada happy five sebanyak 3.210.000 butir dan vape THC atau vaping liquid ganja dengan sebutan vaping minyak THC (Tetrahydrocannabinol) sebanyak 50.000 batang.
Kabareskrim Polri, Komjen Wahyu Widada, mengatakan kasus di Ungasan ini terungkap berawal dari pengungkapan kasus di Yogyakarta.
Setelah penelusuran, barang bukti di Yogyakarta bersumber dari Bali.”Pengungkapan klandestin lab ini berawal dari pengungkapan tindak pidana narkotika jenis Hasis di Yogyakarta sebanyak 25 kilogram pada bulan September 2024.
Selanjutnya tim melakukan pengembangan dan terkuak, bahwa barang bukti jenis hasis tersebut produksinya di Bali,” paparnya dalam konferensi pers, Selasa (19/10/2024).
Komjen Wahyu mengatakan, di Bali lokasi produksi pabrik narkoba ini berpindah-pindah. Awalnya lokasi produksi terdeteksi berada di Jalan Gatot Subroto, Denpasar Utara.
Kemudian berpindah ke daerah Padang Sambian, Denpasar Barat dan terakhir tim mendeteksi lokasi terakhir Klandestin lab berada di Uluwatu, Bali.
Informasi klandestin lab di Uluwatu ini dari data pendukung pengiriman mesin cetak h5, evapub hasis dan pods system serta beberapa prekursor atau bahan kimia dari luar negeri melalui cargo Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Dari informasi pengiriman mesin cetak, pods system dan prekursor atau bahan kimia dapat terprediksi bahwa mesin tersebut untuk produksi besar.
Atas kasus ini, polisi menetapkan empat orang sebagai tersangka yakni MR, RR, N dan DA, semua tersangka warga Indonesia. “Semuanya berperan sebagai peran peracik dan pengemas,” imbuhnya.
Selain itu ada tiga orang lainnya yang masuk daftar pencarian orang (DPO). Mereka berinisial DOM sebagai pengendali, RMD sebagai peracik dan pengemas dan IO sebagai perekrut karyawan.
“Dalam memproduksi hasis, para pelaku mengekstrak kandungan THC dalam ganja dengan perbandingan setiap 1.000 gram ganja ekstrak menjadi 200 gram hasis,” jelas Komjen Wahyu.
Kemudian, penggunaan satu gram hasis dapat oleh satu orang. Sedangkan harga satu gramnya yaitu senilai USD 220 per gram atau senilai Rp 3,5 juta per gram.
Kata dia, pelaku sengaja memilih tempat di tengah pemukiman agar terhindar dari pantauan. “Modus operandi produksi narkoba dengan membangun klandestin lab di tengah pemukiman penduduk, dengan tujuan untuk menyamarkan perbuatannya,” paparnya.
Sedangkan modus peredaran narkoba dengan menggunakan pods system merupakan strategi oleh para pelaku untuk menyamarkan peredaran narkoba di kalangan generasi muda.
Pods system, yang biasanya sebagai alat untuk vaping dengan tampilan yang modern, praktis, dan sering kali sebagai barang biasa.
Barang ini telah modifikasi menjadi media untuk mengonsumsi narkoba sehingga lebih sulit terdeteksi.
Klandestin lab ini sudah beroperasi selama dua bulan dengan estimasi nilai barang bukti yang dapat produksi dalam bisnis narkoba ini Rp 2,052 triliun.
Pengakuan para pelaku, bahwa hasil produksi narkoba ini akan edar secara masif untuk perayaan tahun baru 2025 di wilayah Bali dan pulau Jawa, serta sebagian akan keluar negeri.
Komjen Wahyu Widada menambahkan, kunci utama pemberantasan jaringan narkoba, yaitu dengan cara memiskinkan kepada pelaku agar memberikan efek jera.
Para tersangka terjerat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup atau paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun. Denda paling sedikit yaitu Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.
“Selain itu juga terjerat psikotropika Pasal 59 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika dengan ancaman pidana hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta. Terhadap mereka juga terjerat dengan tindak pidana pencucian uang,” jelasnya.
Kelian Banjar Dinas Ungasan, Nyoman Widana bahkan tidak mengetahui siapa pemilik apalagi penyewa vila tersebut.
Ia mengatakan dari luar, terkesan tak ada aktivitas mencurigakan. “Kami tidak tahu pemilik dan penyewanya siapa,” kata dia. (BP/OKA)