DENPASAR, Balipolitika.com– Selain menderita defisit APBD hingga Pemerintah Provinsi Bali berencana meminjam uang Rp842,85 miliar kepada pemerintah pusat, Pulau Dewata juga terancam kehilangan keasriannya seiring alih fungsi lahan yang gila-gilaan.
Data menunjukkan dalam sepuluh tahun terakhir, khususnya pasca pandemi Covid-19, hampir 11.000 hektar lahan sawah produktif di Bali beralih fungsi menjadi beton.
Alih fungsi lahan yang gila-gilaan ini membuat pemerintah pusat turun langsung ke Bali.
Hal ini didahului dengan mengirimkan surat berkop Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia nomor: B-4133/MENKO/PE.01.00/X/2024 perihal Moratorium Perizinan Berusaha Sektor Hotel dan Akomodasi Pariwisata di Bali.
Terdapat 4 poin penting yang tersurat dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tersebut.
Pertama, sektor ekonomi Bali masih terkonsentrasi pada sektor pariwisata dengan tingkat kontribusi di atas 50 persen. Pertumbuhan tersebut didukung oleh peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 5,2 juta pada tahun 2023 dan kemudahan fasilitas perizinan berusaha melalui OSS Berbasis Risiko.
Kedua, dalam 10 tahun terakhir hampir 11.000 hektar lahan sawah produktif beralih fungsi menjadi perumahan, hotel, restoran. Tidak adanya proses verifikasi pada perizinan usaha dengan tingkat risiko rendah dan menengah rendah membuka peluang terjadinya penyalahgunaan izin yang diberikan pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Penyedia Akomodasi, dan Penyediaan Makan Minum.
Ketiga, diperoleh informasi adanya potensi penyalahgunaan perizinan berusaha oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang dimiliki warga negara asing. KBLI ini disalahgunakan oleh UMKM asing di Bali.
Untuk itu, pemerintah mendorong Kementerian Investasi RI untuk melakukan dua hal.
Pertama, moratorium perizinan berusaha untuk KBLI Penyedia Akomodasi, dan Penyediaan Makan Minum di Kabupaten/Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan hingga tahun 2026 mulai minggu pertama Oktober 2024. Selama masa moratorium tersebut, Kementerian Investasi bersama Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota Bali agar mengevaluasi dan menyesuaikan alur proses perizinan yang diberikan sesuai dengan unsur budaya dan kearifan lokal Bali.
Kedua, meningkatkan pengawasan pemberian izin berusaha UMKM asing untuk KBLI. Pemberian izin bagi UMKM asing harus mematuhi berbagai regulasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memastikan bahwa mereka berkontribusi positif terhadap ekonomi dan tidak merugikan UMKM lokal.
Sebagaimana diketahui, di satu sisi pemerintah gembar-gembor soal konsep Tri Hita Karana, di sisi lain rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi yang terbentang dari Gilimanuk (Kabupaten Jembrana) hingga Mengwi (Kabupaten Badung) sepanjang 96,21 km akan menerabas 480,54 hektar sawah produktif dan 98 wilayah subak di sepanjang wilayah tersebut.
Pembangunan pelabuhan terintegrasi Sangsit yang akan dibangun di Bali Utara juga akan menerabas sawah seluas 26.193 meter persegi dan mengancam 4 subak.
Demikian pula proyek Pusat Kebudayaan Bali yang telah mengorbankan lahan persawahan hingga 9,38 hektar dan menyebabkan Subak Gunaksa terdampak.
“Proyek-proyek tersebut justru mengancam water security and prosperity atau keamanan dan kemakmuran air yang tentunya akan berdampak pada peruntukan pertanian tanaman pangan hingga degradasi budaya dan hilangnya subak yang ada di tapak proyek tersebut” pungkas Direktur Walhi Bali, Made Krisna “Bokis” Dinata.
Ia menyayangkan langkah Pemerintah Provinsi Bali yang gembar-gembor meneriakkan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, tapi eksekusi di lapangan justru berbanding 180 derajat.
Jelas Bokis, subak dengan fungsi hidrologisnya merupakan salah tampungan alami bagi air dan di setiap hektarnya mampu menampung air sebanyak 3000 ton bila air setinggi 7 cm.
Apabila subak terus berkurang dan habis, maka secara langsung Bali akan mudah diterpa bencana banjir.
Bokis juga menyoroti masifnya alih fungsi lahan akibat pembangunan akomodasi pariwisata yang mengeksploitasi air besar-besar alam aktivitas operasionalnya.
“Pembangunan hotel dan sarana akomodasi pariwisata lainnya amat meningkat tajam bahkan hingga dua sampai tiga kali lipat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan pada tahun 2000 jumlah hotel bintang sebanyak 113 hotel dan di tahun 2023 menjadi 541 hotel dengan jumlah kamar di tahun 2000 berjumlah 19.529 dan meningkat tajam menjadi 54.184 di tahun 2023,” bebernya.
“Angka tersebut menunjukan pertumbuhan yang amat signifikan terlebih beberapa pakar telah menyebutkan jika Bali telah over tourism bahkan overbuild. Banyak penelitian yang mengungkapkan jika akomodasi paraiwisata adalah satu industri yang rakus akan air yang mana dalam beberapa penelitian menyebutkan jika satu kamar hotel membutuhkan 800 liter per kamar per hari, sangat jauh lebih banyak ketimbang kebutuhan rumah tangga” tegasnya.
Pembangunan Infrastruktur yang menyebabkan alih fungsi lahan dan mengurangi jumlah subak di Bali tentunya merupakan hal nyata yang mengantarkan Bali pada krisis air.
Terlebih banyak temuan jika akomodasi pariwisata lebih banyak menggunakan air bawah tanah (ABT) ditambah dengan peruntukan kawasan hijau yang hingga kini tidak memenuhi kriteria sebanyak 30 persen sesuai luas wilayah dalam ketentuan peraturannya.
“Sehingga kami mendesak pemangku kebijakan untuk menghentikan segala bentuk pembangunan yang ekstraktif dan memperparah keadaan lingkungan yang mengancam ketersediaan air dan yang mengancam Subak di Bali,” tekannya. (bp/ken)