DENPASAR, Balipolitika.com– Pernyataan kontroversial Haikal Hassan Baras alias Babe Haikal, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Republik Indonesia direspons Calon Gubernur Bali Nomor Urut 01, Made Muliawan Arya, S.E., M.H. alias De Gadjah.
Haikal yang dilantik di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa 22 Oktober 2024 bersama sejumlah kepala badan lain berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 140/P Tahun 2024 tentang Penasihat Khusus Presiden RI diketahui berbicara tentang kewajiban sertifikasi halal bagi semua produk yang beredar di Indonesia hingga memicu kontroversi.
Haikal menyebut seluruh produk yang diperjualbelikan di Indonesia wajib bersertifikat halal sebagaimana diatur Undang-Undang (UU).
Produk dimaksud berupa makanan, minuman, obat, kosmetik, fashion, hingga sembelihan di mana seluruhnya harus mencantumkan sertifikat halal.
Tak hanya itu, Haikal juga menyebut semua barang olahan harus bersertifikasi halal, termasuk pakaian.
Haikal menyebut pemerintah mewajibkan sertifikasi halal kepada para pelaku usaha mulai Oktober 2024 sesuai Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Jika melanggar dan tidak mengurus sertifikasi halal atas produk yang diperdagangkan, maka akan diancam sanksi administratif berupa peringatan tertulis, atau penarikan produk dari peredaran, termasuk penutupan usaha.
“Tolong semua produk yang ada yang beredar, yang masuk, yang diperjualbelikan di wilayah Republik Indonesia wajib bersertifikat halal. Itu (amanat) undang-undang,” ujar Haikal di kantor BPJPH, Jalan Pinang Ranti, Jakarta, Kamis, 24 Oktober 2024 sebagai rekaman video yang beredar luas di masyarakat.
Merespons kontroversi yang dipicu pernyataan Haikal, Calon Gubernur Bali Nomor Urut 01, Made Muliawan Arya, S.E., M.H. alias De Gadjah menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menyiratkan bahwa bangsa ini menghargai perbedaan.
Sebagai pecinta kuliner khas Bali, yakni babi guling, De Gadjah menyebut sangat mustahil babi guling mendapatkan label sertifikat halal.
Dengan tetap menghargai produk sertifikat halal, De Gadjah mengatakan bahwa dirinya juga sependapat dengan pendapat tokoh intelektual Muslim Indonesia, Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun yang mengatakan bahwa Indonesia juga membutuhkan sertifikat haram.
Pasalnya, jumlah penduduk Muslim di Indonesia pada Juni 2024 adalah 245.973.915 juta jiwa, atau 87,08 persen dari total populasi Indonesia sehingga secara otomatis dari segi konsumsi atau makanan pastilah halal.
“Oleh sebab itu, saya sependapat dengan Cak Nun bahwa selain sertifikat halal, idealnya juga diatur sertifikat haram,” ungkap De Gadjah sembari merinci sesuai data per Juni 2024 total umat Kristen di Indonesia berjumlah 20.911.697 jiwa atau 7,40 persen; Katolik 8.667.619 jiwa atau 3,07 persen; Hindu 4.744.543 jiwa atau 1,68 persen; Buddha 0,71 persen atau 2.004.352 jiwa, Konghucu 0,03 persen atau 76.636 jiwa, dan penganut kepercayaan 0,03 persen atau 98.822 jiwa.
“Kami di Bali, khususnya umat Hindu pecinta babi guling, Pak Haikal. Akan sangat mustahil dan di luar akal sehat jika produk makanan babi guling dilabeli sertifikat halal. Akan sangat pas jika babi guling dilabeli sertifikat haram,” tegas De Gadjah.
Lebih lanjut, De Gadjah menekankan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945 harus dikawal bersama demi keutuhan NKRI.
Berpegang pada dasar-dasar tersebut, makan setiap individu di republik ini harus sadar dan menghormati, serta menjunjung tinggi keberagaman alias perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan.
“Keberagaman adalah hal penting,” tandas De Gadjah.
De Gadjah menambahkan bahwa selama ini umat beragama di Pulau Dewata hidup rukun dan penuh toleransi.
Setiap hari besar agama masing-masing, hingga kini masih hidup budaya ngejot atau tradisi berbagi makanan kepada tetangga yang dilakukan oleh umat Hindu dan Islam serta umat beragama lain di Bali.
Tradisi ini merupakan bentuk ungkapan terima kasih dan simbol kerukunan antarumat beragama.
“Jadi saat tradisi ngejot itu berlangsung, umat Hindu dipastikan memberikan makanan yang non babi alias halal kepada Sameton Muslim. Selanjutnya jotan itu diterima serta dikonsumsi oleh Semeton Muslim tanpa harus bertanya makanan tersebut haram atau halal. Demikianlah kerukunan hidup antar umat beragama di Bali,” tutup De Gadjah. (bp/ken)