HONOR: Honorarium Prajuru MDA Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan di Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
DENPASAR, Balipolitika.com- Bukannya memperkuat, keberadaan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali yang dibentuk di era kepemimpinan Wayan Koster justru diposisikan seolah-olah sebagai atasan desa adat.
Buktinya, dalam banyak kasus, prajuru desa adat kerapkali bersitegang dengan MDA menyoal penerbitan Surat Keputusan (SK) Bendesa Adat.
Desa adat di Bali yang otonom alias merdeka ngemis SK kepada MDA padahal lembaga ini baru berusia seumur jagung.
Teranyar, Sekretariat MDA Bali digeruduk krama adat pada Senin, 8 Juli 2024 terkait penerbitan Surat Keputusan (SK) Bendesa Adat Serangan I Nyoman Gede Pariatha yang terpilih secara musyawarah mufakat pada 2 Mei 2024 dan 24 Mei 2024 oleh Panitia Ngadegan Bendesa Adat Serangan.
Mengacu Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, MDA dimaknai sebagai persatuan (pasikian) desa adat di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan secara berjenjang yang memiliki tugas dan kewenangan di bidang pengamalan adat istiadat yang bersumber dari agama Hindu serta kearifan lokal dan berfungsi memberikan nasihat, pertimbangan, pembinaan, penafsiran, dan keputusan bidang adat, tradisi, budaya, sosial religius, kearifan lokal, hukum adat, dan ekonomi adat.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 juga memuat Honorarium Prajuru MDA Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan dengan rincian sebagai berikut.
Tingkat Provinsi: Bendesa Agung Rp7.000.000 per bulan; Penyarikan Agung Rp5.500.000 per bulan; Petengen Agung Rp5.500.000 per bulan; Patajuh Rp5.000.000 per bulan; dan Nayaka Rp5.000.000 per bulan.
Tingkat Kabupaten/Kota: Bendesa Madya Rp3.500.000 per bulan; Penyarikan Madya Rp2.900.000 per bulan; Petengen Madya Rp2.900.000 per bulan; dan Patajuh Rp2.900.000 per bulan.
Tingkat Kecamatan: Bendesa Alit Rp2.400.000 per bulan; Penyarikan Alit Rp2.000.000 per bulan; dan Petengen Alit Rp2.000.000 per bulan.
Diberitakan sebelumnya, bukannya menjadi solusi bagi permasalahan adat di Bali, keberadaan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali justru dinilai menjadi embrio lahirnya sejumlah konflik.
Buktinya, untuk kesekian kalinya Sekretariat Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali di bawah kepemimpinan Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet alias I Dewa Gede Ngurah Swastha digeruduk krama adat lantaran “lelet” menerbitkan Surat Keputusan (SK) Bendesa Adat terpilih.
Teranyar, aksi geruduk ini dilakukan oleh puluhan krama adat Desa Adat Serangan ke Jalan Cok Agung Tresna No. 67, Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Senin, 8 Juli 2024.
Pemicunya adalah kekosongan kepemimpinan di Desa Adat Serangan pasca habisnya masa bakti bendesa sebelumnya pada 26 Mei 2024.
Padahal, di sisi lain, desa adat di Bali yang diakui negara punya “otoritas” khusus– dalam hal ini Desa Adat Serangan– telah membentuk Panitia Ngadegan Bendesa Adat Serangan dan melahirkan atau menghasilkan Keputusan dan Penetapan Bendesa Adat Serangan, yakni I Nyoman Gede Pariatha secara musyawarah dan mufakat pada 2 Mei 2024 dan 24 Mei 2024.
“Mengingat masa bakti Bendesa Adat Serangan dari periode tahun 2024 sampai periode tahun 2024 (2 periode, red) sudah berakhir pada tanggal 26 Mei 2024. Bilamana kekosongan dan situasi penetapan Bendesa Adat Serangan untuk periode tahun 2024 sampai periode tahun 2029 tidak menjadi perhatian serta tanggapan dari Majelis Agung Provinsi Bali, maka kami warga Desa Adat Serangan akan melakukan aksi dan protes serta tuntutan secara besar-besaran,” demikian pernyataan sikap yang dibacakan oleh perwakilan warga Desa Adat Serangan, I Wayan Patut ditemui di lokasi, Senin, 8 Juli 2024.
Di sisi lain, peserta aksi yang hadir membentangkan spanduk bertuliskan “Menjaga Kedaulatan Desa Adat, Desa Adat Serangan Metangi” terpaksa harus pulang dengan tangan hampa karena belum berhasil menemui Ketua MDA Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet alias I Dewa Gede Ngurah Swastha maupun jajarannya. (bp/tim)