BALI MENUJU KENANGAN: Seorang warga menunjukkan petak sawah di Bali yang dalam jangka pendek akan habis karena berubah menjadi akomodasi pariwisata berupa villa dan guest house.
DENPASAR, Balipolitika.com– Penjabat Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya tampaknya lebih mencintai Provinsi Bali ketimbang pemimpin sebelumnya yang berlindung di balik visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, namun fakta-fakta di lapangan berkata lain.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Bali yang berdiri sejak 1996 dan aktif melakukan advokasi serta kampanye penyelamatan lingkungan hidup sepakat dengan wacana mengenai moratorium yang dilontarkan nakhoda sementara Pulau Dewataitu.
Wacana moratorium terhadap pembangunan hotel dan villa di Bali serta akomodasi lain dinilai merupakan suatu hal yang semestinya sudah dari dulu dilaksanakan karena Bali saat ini telah overbuild.
Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna “Bokis” Dinata menerangkan bahwa situasi super tidak terkontrol ini memposisikan aktivitas pariwisata justru terang-benderang merusak Bali dengan indikasi banyaknya ruang terbuka hijau yang kini jadi beton.
“Masifnya pembangunan akomodasi pariwisata tentunya berbanding lurus dengan laju alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan menjadi fenomena yang tidak bisa terbantahkan. Hal ini tentunya amat berpengaruh terhadap keberlangsungan ekosistem serta keadaan Bali terhadap gempuran berbagai pembangunan infrastruktur yang mengubah bentang alam dan acapkali bersifat ekstraktif,” ucap Bokis, Selasa, 17 September 2024.
Penelitian yang dilakukan oleh Program Studi Agroekoteknologi Universitas Udayana Tahun 2023 di Kota Denpasar dan daerah Kuta menjabarkan terjadi alih fungsi lahan untuk permukiman yang masif dari tahun 2000 sampai tahun 2020.
Mirisnya, kondisi ini diikuti oleh berkurangnya lahan sawah yang awalnya seluas 7.639,92 hektar atau 41,46 persen luas wilayah di tahun 2000 menjadi 3.305,91 Ha atau 18,02 persen di tahun 2020 di mana terjadi pengurangan luas sebesar 4.334,01 hektar atau 23,44 persen hilang dalam kurun waktu 20 tahun.
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa kondisi saat ini di tahun 2024 semakin parah dibandingkan tahun 2020 silam.
“Sehingga menurut kami pembatasan atau penghentian pembangunan akomodasi pariwisata adalah satu hal yang sangat krusial dan harus dilakukan berkaitan dengan potensi yang akan disebabkan terhadap lingkungan dan alam Bali,” tegas Bokis.
Bebernya, data Badan Pusat Statistik menyebutkan dari tahun 2000 sampai 2023 tercatat bahwa hotel bintang beserta jumlah kamar pada hotel non-bintang dan akomodasi lainnya terhitung sejak tahun 2000 sampai 2019 meningkat super tajam.
“Data BPS menunjukkan di tahun 2000 jumlah hotel bintang sebanyak 113 hotel meningkat menjadi 541 hotel di tahun 2023. Jumlah Kamar pada hotel non-bintang dan akomodasi lainnya di tahun 2000 sebanyak 19.529 kamar menjadi 54.184 di tahun 2019 meningkat 2-3 kali lipat,” rinci Bokis dengan nada miris.
Penelitian yang dilakukan oleh Geografi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2009 imbuh Bokis menunjukkan bahwa hotel merupakan industri yang memakan sumber daya air terbesar di Bali yakni lebih dari 56 persen dibandingkan sektor industri lainnya.
Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara (P3E Bali Nusra) sendiri pada dokumen Status Daya Dukung Air Pulau Bali Tahun 2021 menyebutkan bahwa cadangan air di Pulau Bali Tidak Berkelanjutan.
“Hotel tergolong rakus dalam mengkonsumsi air. Jika dibandingkan dengan kebutuhan keperluan air untuk domestik hanya memerlukan kurang lebih 200 liter per orang per hari, sedangkan hotel berbintang memiliki kebutuhan air minimal 800 liter/kamar/hari dan untuk hotel non bintang kebutuhan airnya adalah 250 liter per kamar per hari,” urainya memberikan alarm.
Selanjutnya berbicara terkait lahan pertanian tentunya juga berbicara terkait dengan jumlah subak alias sistem irigasi air tradisional khas Bali.
Jumlah subak mengacu data Dikbud Bali tahun 2018 sebanyak 1.596 buah menurut. Dijabarkan ada 5 subak yang sudah hilang di Denpasar, yaitu Subak Kereneng, Subak Renon. Jumlah sawah tahun 2014 : 80.506 hektar dan jumlah sawah tahun 2018: 69.066 hektar menurut buku “Bali Membangun” tahun 2019.
Selisihnya sebesar 11.440 hektar dan berarti bahwa sawah berkurang rata-rata 2.288 hektar per tahun.
Dengan kata lain, berarti sawah di Bali kurang lebih berjumlah 62.202 hektar mengacu presentasi pakar Subak Prof. Windia (almarhum) pada 18 Oktober 2022 silam.
Di Bali sendiri, selain Bali selatan, keterancaman subak dan lahan pertanian juga masih dihantui oleh adanya rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk Mengwi di mana pembangunan jalan tol sepanjang kurang lebih 97 km dari Gilimanuk-Mengwi ini akan mengancam lahan pertanian produktif seluas 480,54 hektar dan mengancam 98 wilayah subak.
Belum lagi rencana pengembangan Pelabuhan Terintegrasi Sangsit yang berada di Bali Utara yang akan membangun jalan dengan mengorbankan wilayah sawah seluas 26.193 meter persegi dan mengancam 4 subak.
“Beberapa bulan terakhir ada 2 pembangunan akomodasi pariwisata yang juga kami kritisi yang akan dibangun di Bali Selatan, di antaranya yakni rencana pembangunan Hotel N2S Lot 5 di Sawangan Nusa Dua dan rencana pembangunan Bali Athlete Village di Desa Pecatu. Pembangunan Hotel N2S Lot 5 seluas 122.561,44 meter persegi yang kami duga dibangun dengan melabrak peraturan mengenai sempadan pantai dan pembangunan hotel tersebut juga berada pada wilayah bahaya kerentanan dan risiko terhadap bencana tsunami, gelombang ekstrem, dan abrasi dengan tingkat sedang hingga tinggi,” beber Bokis.
Berikutnya, rencana kegiatan fasilitas gelanggang atau arena olahraga Bali Athlete Village akan dibangun pada lahan seluas 44.374 meter persegi dengan luas area terbangun 30.385 meter persegi yang kami nilai bertentangan dengan Peraturan Bupati Kabupaten Badung Nomor 59 Tahun 2021 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Selatan tahun 2021-2041 yang mana penggunaan lahan bar dan sport center merupakan kegiatan yang tidak diperbolehkan (dituliskan dengan tanda X) di zona dan sub zona perumahan kepadatan sedang alias R3.
Berbagai pembangunan sarana akomodasi ini tentunya akan menambah beban dan dampak lingkungan baik alih fungsi lahan hingga krisi ekologis dan krisis air di Bali.
“Bahkan pembangunan hotel yang ada di Bali kami nilai sangat masif dan membabi buta bahkan hingga melanggar peraturan, seperti Hotel Vasa Ubud yang dibangun di zona pertanian dan zona perkebunan hingga menerobos sempadan dan badan sungai. Begitu juga Hotel Holliday Inn Resort Bali Canggu yang sudah melakukan pemasaran dan beroperasi tanpa dilengkapi dokumen AMDAL yang dinyatakan layak. Ada pula Hotel Magnum Residence Sanur yang sudah melakukan konstruksi tanpa dokumen AMDAL yang dinyatakan layak dan bahkan hotel ini juga melanggar peraturan sempadan pantai dan dibangun di kawasan yang tingkat eksplorasi airnya tinggi,” demikian Bokis menjelaskan secara detail.
“Sehingga penghentian pembangunan akomodasi pariwisata seperti hotel dan villa yang sangat mengancam keberlanjutan daya dukung daya tampung dan lingkungan alam Bali harus segera dilakukan. Tentunya mesti dibarengi dengan upaya-upaya pemulihan lingkungan dan melakukan proteksi terhadap kelestarian lingkungan dengan mekanisme regulasi yang kuat baik di pesisir, hutan, dan lahan pertanian di Bali,” tutup Bokis. (bp/ken)