Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

ADAT DAN BUDAYA

Keunikan Desa Penglipuran di Bangli Bali, Ada Karang Memadu

Jadi Desa Terbersih di Dunia

Desa Wisata – Desa Penglipuran Bangli menjadi satu destinasi terkenal di di dunia, karena kebersihannya dan adat istiadatnya. 

 

BANGLI, Balipolitika.com – Siapa yang tidak tahu Desa Penglipuran? satu desa di Bangli yang sangat terkenal hingga mancanegara.

Bersih dan asri, adalah dua kata yang sangat identik menggambarkan Desa Penglipuran, di Bangli, Bali. Namun lebih daripada itu, harta berharga yang tersimpan di desa tua ini lebih menarik.

Harta itu adalah warisan adat-istiadat Bali Aga, yang masih terjaga sampai saat ini. Baik warisan bangunan kuno, yang menjadi icon di Desa Penglipuran. Maupun warisan tatanan masyarakat adat, yang masih ajeg di era modern dewasa ini.

Desa Penglipuran memang terkenal dengan tata ruang desa yang sangat indah. Rumah-rumah yang tertata dengan baik dan rapi, merupakan warisan leluhur yang harus lestari dan terawat oleh anak cucu.

Terlihat pintu masuk kuno, serta beberapa bangunan khas Bali Aga menjadi icon desa wisata yang tersohor hingga mancanegara ini.

Uniknya, beberapa bangunan menggunakan atap dari bambu. Satu di antara bangunan kuno, adalah balai (bale) saka enem.

Balai ini pula dengan sebutan bale gede di kalangan masyarakat Bali dataran. Bale saka enem untuk upacara tatkala ada yang menikah, meninggal, potong gigi, dan upacara lainnya di desa adat.

Untuk itu, semua warga adat di Desa Penglipuran wajib memiliki bale saka enem di rumahnya. Selain itu, ada bangunan dapur yang menjadi bangunan tua di masing-masing pekarangan warga.

Dahulu oleh nenek moyang setempat, dapur ini sebagai tempat memasak hingga tempat tidur. Namun kini, kebanyakan dapur kuno di sana hanya fungsi sebagai tempat memasak saja.

Dapur ini juga menjadi icon penting, karena kerap menjadi buruan pelancong yang kepo untuk melihat isi di dalamnya.

Desa Penglipuran terkenal pula dengan tata ruang desa yang sangat indah, jadi rumah-rumah yang tertata dengan baik ini merupakan warisan dari dahulu sampai sekarang.

Sebelum menjadi desa wisata, tatanan tata ruang desa memang demikian adanya. Ternyata, berkah dari melestarikan adat budaya itu adalah hadirnya pariwisata berkelanjutan.

Memberikan dampak ekonomi yang luar biasa bagi desa adat, hingga warganya di sana. Desa adat pun, ingin memberikan pelayanan maksimal kepada pengunjung yang datang.

Pelayanan itu dalam bentuk tidak ada izin berkendara di area jalan utama desa. Apalagi jalan tersebut menjadi jalan lalu-lalang wisatawan juga.

Dulu sebelum ramai pengunjung datang, kendaraan bermotor dan sepeda gayung masih bisa lewat di depan rumah.

Lambat laun tour operator yang datang, memberikan masukan agar jalan utama steril dari kendaraan bermotor maupun sepeda gayung.

Sempat pula, ada sistem buka tutup pada jam tertentu untuk kendaraan ini. Namun kini telah dalam mufakat desa adat, bahwa jalan utama benar-benar steril dari kendaraan bermotor dan sepeda gayung.

Hal tersebut juga demi kenyamanan pengunjung, serta menjaga keasrian desa tanpa ada kebisingan suara mesin kendaraan. Solusi untuk warga adalah dengan jalan melingkar dari belakang.

Kematangan tata ruang lainnya terlihat dari kebersihan desa tersebut, dan ini pula yang kian melambungkan nama Desa Penglipuran di kancah wisata dunia.

Predikat desa wisata terbersih di dunia pun tersematkan. Secara sadar, masyarakat setiap hari melakukan kegiatan bersih-bersih pekarangan baik di dalam maupun di depan rumahnya.

Sehingga secara otomatis seluruh desa menjadi selalu bersih dan asri. Tanaman di pekarangan pun terbatas, hanya boleh bunga dan tanaman hias saja. Guna kian memperindah panorama desa wisata.

Bunga tersebut juga untuk dalam kegiatan yadnya dan upacara sehari-hari. Tenaga kebersihan, hanya di tempat umum.

Seperti lingkungan pura yang perlu kebersihannya terjaga setiap hari. Untuk pekarangan dan depan rumah jalan utama itu, warga setiap hari membersihkan secara sukarela. Sehingga budaya bersih sudah tumbuh sampai sekarang.

Setelah membicarakan tata ruang, beralih membicarakan sistem adat di Desa Penglipuran. Konsep Bali Aga yang menjadi dasar di Desa Penglipuran, terlihat dari sistem ulu apad yang bertahan sampai sekarang.

Sistem ini adalah sistem perwakilan desa adat pangarep. Jadi dari 240an KK di sana, hanya 78 orang saja yang menjadi dewan desanya.

Dewan desa inilah yang disebut desa adat pangarep, serta merupakan forum tertinggi dalam pengambilan berbagai keputusan dan kebijakan desa.

Kemudian pada upacara kematian jasad tidak dibakar, tetapi di taruh dalam kuburan dan ada istilah nundunin atau ngeplugin.

Orang yang meninggal, arwahnya dimohonkan kepada beliau (Tuhan) yang menguasai lalu arwah itu lalu masuk ke dalam gesi-gesi, atau orang-orangan dari ilalang. Orang-orangan itulah yang kemudian prateka, upacarai atau ngaben.

Hal ini bagi masyarakat tidaklah rumit, karena pewaris anak cucu hanya tinggal meneruskan saja. Apalagi struktur organisasi sistem adat sudah sedemikian rupa.

Dan setiap orang telah memiliki kedudukannya masing-masing di ulu apad. Semuanya hanya tinggal menjalankan tugasnya itu saja.

Dibantu lagi dengan adanya kontribusi pariwisata, tentu kian memudahkan segalanya. Pariwisata itu bonus bagi kami, dan dengan adanya pariwisata sangat membantu biaya pelestarian adat dan tradisi di Desa Penglipuran.

Sebab, biaya untuk konservasi atau renovasi bangunan kuno tidaklah sedikit. Untuk itu, desa adat selalu membantu warga dengan memberikan subsidi biaya sebesar Rp 5 juta.

Subsidi ini kepada warga yang ingin merenovasi bangunan kuno di rumahnya. Biaya Rp 5 juta itu untuk satu bangunan, kalau tiga bangunan kuno yang ya Rp 15 juta.

Selain meringankan beban warga, ini pula upaya desa adat agar bangunan kuno tetap ajeg dan lestari di Desa Penglipuran.

Aktivitas niaga ini, tentu saja memberikan pemasukan lain selain menjadi petani. Serta menumbuhkan kreativitas warga untuk menjadi enterpreneurship berbasis budaya.

Tak dipungkiri, pariwisata sangat membantu kebangkitan perekonomian Desa Penglipuran secara umum. Bahkan akhirnya mampu mendukung keberlangsungan tradisi adat dan budaya setempat.

Walau demikian, pariwisata di Desa Penglipuran pernah tutup total karena pandemi akibat virus Covid-19. Lagi-lagi semua kegiatan ini biayanya oleh desa adat, bahkan desa adat pula memberikan sembako rutin setiap bulannya ke rumah warga.

Walaupun akhirnya akrab dengan turis dan kehidupan pariwisata, tak lantas membuat Desa Penglipuran lupa diri. Sebab area-area suci seperti pura tetap tutup bagi turis.

Kalaupun ingin masuk, harus dengan tujuan jelas dan tidak dalam kondisi kotor (cuntaka), serta harus melaporkan pada prajuru desa adat.

Desa seluas 112 hektare ini, juga sangat menjaga lahannya dengan tidak memperjual-belikan sembarangan. Setidaknya ada 45 Ha hutan bambu, yang telah mendapatkan penghargaan Kalpataru.

Hutan ini juga menjadi sumber dari atap bambu, pada bangunan kuno di masing-masing pekarangan warga. Semua jenis bambu ada di sana.

Kemudian 9 Ha, adalah luas untuk pemukiman warga dan 3 Ha lebih adalah kawasan umum dan tempat suci. Sisanya adalah perkebunan atau ladang milik warga.

Tak habis di sana, ada tradisi dan aturan unik di Desa Panglipuran yang disebut dengan istilah ‘karang memadu’. Karang memadu ini adalah tempat khusus, di desa adat untuk warganya yang berpoligami.

Walaupun di dalam awig-awig desa tertulis jelas bahwa poligami tidak boleh. Ada sanksi yang apabila itu  terjadi.

Konsekuensinya, semisal pasangan poligami itu tidak boleh masuk tempat suci milik desa adat. Tidak boleh melewati jalan utama dan aksesnya hanya lewat belakang.

Hal ini tentu saja menjadi siksaan psikis dan sanksi sosial, bagi yang nekat melakukannya. Alasannya, ini adalah untuk melindungi kaum wanita yang ada di Desa Penglipuran.(BP/OKA)


Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!