Ilustrasi: Gede Gunada
LAUT, SENJA DAN WEISKU
: “jangan tinggalkan gemuruh laut, langit senja
serupa pecahan pelangi, weisku, sampan cahaya
siap membelah selat ke pulau kecil berpasir putih
kita berburu telur penyu, membuat istana kecil dari pasir
lalu merangkai baris-baris puisi!”
tetapi engkau terlihat ragu, sorot matamu kosong, bibirmu
bergetar berdesis; “cuaca buruk, ombak kusut, dan laut
senja ini sepertinya tidak bersahabat, aku mau berdiri saja
di sini, menikmati segalanya hingga matahari tenggelam!”
di kejauhan sana ombak bergulung-gulung tinggi, berderu
lalu membentur tebing-tebing karang, akh, tebing-tebing
karang serupa dadamu; kuat dan tabah dalam segala cuaca
angin berkesiur kelat-getir
: “lihatlah, sepasang camar meliuk dari ketinggian dengan
sayap luas mengembang, ou, hinggap di atas sampan
weisku, ayo, kita naik ke atas sampan, membelah selat
dengan sepasang camar itu!”
matamu, weisku, berkilat tajam; “tidak, aku mau tetap berdiri
di sini, menikmati segalanya hingga matahari tenggelam,”
suaramu serak, dan tiba-tiba tubuhmu gemetar; “aku mau
edelweis karang!” jeritnya berulang-ulang.
Jaspinka, 03 September 2021
SEBARIS PUISI DI BIBIR WEISKU
bertahun-tahun air mata gugur membasahi batu kenangan
bilah rindu menjelma sembilu, o, kesetiaan pada tebing karang
pada segala makhluk bertubuh cahaya, kaubelah laut ke pulau jauh
sampan dilambung-lambung gelombang, ombak menggunung
engkau kian keras hati bertemu weisku, lalu sehabis-habis
peluk dan sebaris puisi kaukecup, kaukecup!
: “hatimu karang, jiwamu luas langit!”
weisku berlinang air mata
kauulurkan sembilu, weisku tiba-tiba membalikkan tubuh
berjalan setengah berlari seraya berteriak
: “laut telah membuat aku sangat mengerti segala cuaca
aku harus pergi meninggalkan seluruh kenangan jingga!”
sebaris puisi di bibir weisku tak bisa kaukecup lagi, hanya sebilah
sembilu gemetar di telapak tanganmu
: “langit serupa runtuh perlahan, runtuh perlahan!”
Jaspinka, 04 September 2021
PEREMPUAN YANG TELAPAK TANGANNYA
MEMANCARKAN PERCIKAN CAHAYA
antara percaya dan tidak, perempuan beraroma surga itu
takjub terkesima; setiap memasukkan kedua tangannya ke
dalam mukena, dari telapak tangannya memancarkan
percikan-percikan cahaya, ia pun berhenti zikir– air mata
bahagia menggenang, alir darahnya mawar mekar, degup
jantungnya ayat-ayat suci, … ia telusuri seluruh ruang dan
berhenti di rak buku, jam dinding berdendang tiga kali
malam dingin alangkah senyap, di antara deretan buku
ia temukan majalah sastra: horison, edisi terakhir– ia ingat
seorang penyair yang jauh di seberang pulau, yang tergila-
gila pada seorang perempuan yang dari telapak tangannya
memancarkan percikan-percikan cahaya, o, seorang penyair
yang telah lama mengaguminya, seorang penyair yang selalu
memintal kata-kata di selat nusakambangan di atas bongkah-
bongkah karang, ia baca baris-baris puisi di majalah itu: kau
nyalakan api dari dadamu, ia berpesta airmata dengan sangat
indahnya, engkau tahu tidaklah ada yang abadi di dunia ini
selain puisi, puisi yang retak dalam otak, cahaya yang
gemerlap di atas bukit, nueiku mohon engkau jangan
berlindung di rimbun edelweis, kalian tidak tahu menjelang
malam bulan sabit aku tersenyum dalam ritme zikir,
perempuan yang di dadanya menggantung busur dan selalu
menggenggam ujung mata panah dengan telapak tangan, aku
elus lukaku menyingkirlah kalau engkau tak ingin merasakan
perihnya! ia tersenyum tipis, betapa cinta tidak harus bersatu
cinta tidak pernah dusta; selirih apa pun suara hati, laut dalam
diri menggelorakan gelombang…
Jaspinka, 26 Agustus 2021
SECANGKIR KOPI PAGI SEDUHAN ISTRI
setiap pagi, setiap matahari mulai meninggi, secangkir kopi
terhidang di meja kerja– meja khusus untuk menulis puisi
ia seruput dengan sepenuh hati, kian hari ia semakin jatuh
hati pada sang istri, ia semakin betah tinggal di rumah
(aroma kopi meruap ke seluruh penjuru rumah, aura kasih
memancar dari bunga-bunga dalam pot di teras depan
dan samping; melati, mawar, agronema, seruni, anggrek)
hidup serupa bianglala kadang serupa gelombang
dan debur ombak kadang serupa gemericik air sungai
membentur rumpun bambu, ah, kekasih, engkau ingin
berselimut kesetiaan dan cinta kasih, hingga pintu maut?
ia pintal ombak jadi kain kesetiaan yang abadi, ia jahit luka
jadi jubah sederhana sebagai lambang kepenyairan sejati!
ah, kekasih, binar matamu selalu membuat ia jatuh cinta
berkali-kali, dan aroma kopi yang meruak dari cangkir
setiap pagi, setiap matahari mulai meninggi, kian
mengekalkan puisi dalam pertarungan dan percintaan
apa lagi yang engkau sangsikan? setiap engkau memeluk
erat sunyi-senyapmu, ia mengasah sebilah belati
untuk menikam bara rindu, ah, mengasah sebilah belati
untuk menikam bara rindu!
Jaspinka, 18 Agustus 2021
MENETESKAN AIR MATA HANYA DI ATAS SAJADAH
tak ada isyarat untuk sebuah pertemuan di pelabuhan; kapal
tak pernah berlabuh, surat tak pernah datang, bahkan telepon
tak bisa tersambung lagi– subuh hingga isya serupa waktu sia-sia
ia lipat semua angan dan mimpi, lalu lipatan yang sudah sangat
tebal itu ia hanyutkan ke laut, laut yang bergelombang kusut
bergulung-gulung dan menghempas di tebing-tebing karang
berlumut hijau-kecoklatan, ia remuk seluruh kenangan, ia
lapang-lapangkan hatinya; menerima kenyataan sepahit-segetir
apa pun, detak jantungnya berdentang kencang! ia ingin terjun
ke laut tetapi tidak, ia ingin merobek dinding langit jingga tetapi
tidak juga, ia alhamdulillah– lebih banyak berzikir; meneteskan
air mata hanya di atas sajadah, tubuhnya mengecil, mengecil
menjelma sebuah zarah.
Jaspinka, 17 Agustus 2021
SERIBU DURI DALAM DAGING
dengan sepuluh jari– sebelas dengan kepala, ampun
segala ampun, weisku, nyaris tak ada waktu untuk mengenang
segala kebaikanmu, ia ingin tak ada seribu duri dalam daging
ia ingin diam di sisi hati yang paling sunyi senyeri apa pun
maka selayaknyalah andai ia bersikeras hati; memetik setiap
kerlip kunang-kunang yang terbang di keheningan malam gerimis
dengan segenap suka cita, dengan seluruh getar rindu
: “tak ada kayu, jenjang pun kukeping!”
untuk keinginanmu yang mengejutkan; membuat sampan dari
kristal cinta yang tulus, pendayungnya marwah kesetiaan yang
abadi, lalu kau kayuh sampan menembus kabut– membelah selat
ke pulau seberang, engkau temui weisku, engkau
peluk
sehabis-habis
peluk
!
tetapi segalanya serupa tabung udara yang kian menggelembung
pada saatnya akan pecah, menyakitkan, bahkan amat menyakitkan
engkau tergugu, air mata terus berlinang, jemari tangan gemetar
menyiangi seribu duri dalam daging, cinta hilang marwah kesetiaan
rindu melipat jarak, o laut o ombak mengempas-empas
di tebing karang
ia ingin tak ada satu duri pun dalam daging, ia ingin bersemayam
dalam hati weisku sengilu-serindu apa pun
: “tak ada kayu, jenjang pun kukeping!” jeritnya berulang-ulang
untuk keinginanmu yang mengejutkan, membuat sampan dari
kristal cinta yang tulus, pendayungnya marwah kesetiaan yang
abadi dan bestari
sampan terlambung-lambung di sepanjang selat, kabut perlahan
mengapung ke udara, ombak membentur tebing-tebing karang…
Jaspinka, 16 Agustus 2021
PATUNG PARA PENYAIR
entah karena bara pemantik apa, lelaki kerempeng paruh baya itu
tiba-tiba napasnya berderu, matanya menyala berkilat-kilat
ia berjalan tergopoh-gopoh ke arah bukit membawa -butsir
-meja putar -tatah -gadhen -palu -tang dan -sendok adukan
matahari manja naik perlahan, embun menguap bersama kabut
memecah, dan ia– lelaki kerempeng mulai mengumpulkan
tanah pilihan, tanah kemerah-merahan, lalu ia mulai
mencipta patung dengan dada terus berdebar; patung kepala
penyair avantgarde, napas lelaki kerempeng itu turun naik
serupa ada beban berat dalam dadanya, dalam hidupnya, ia
tengadahkan kedua tangannya ke langit lalu bersujud
beberapa lama, beberapa lama… dengan tenang setenang
cintanya pada Kekasih, ia mulai membuat patung
si binatang jalang– chairil, wajah tampan, klimis dan
tidak lupa rokok terselip di bibir, ia tiup patung itu
: “aku mau hidup seribu tahun lagi!” suaranya lantang,
“ah! hatiku yang tak mau memberi, mampus kau
dikoyak-koyak sepi!”
patung kedua; kepala tardji lengkap dengan brewok dan
topinya, ia tiup patung itu; “o, amuk, kapak!” desisnya
dengan suara berat, mulutnya berbusa-busa, “tanah air mata
tanah tumpah dukaku, mata air air mata kami, air mata
tanah air kami, … wahai pemuda mana telormu?”
ia terpesona dan takjub
dibuatnya patung kepala ketiga; sapardi, wajahnya yang
syahdu, senyuman tipis dan sorot matanya
sejuk kebapakan, ia tiup patung itu perlahan
: “duka-Mu abadi, mata pisau, perahu kertas, hujan
bulan juni, hingga mboel…,” lalu bisiknya lembut,
“yang fana adalah waktu, kita abadi…”
patung kepala keempat; wajah tirus memar di beberapa
bagian, rambut ikal, dan wajah lugu; widji t.
: “hanya satu kata: lawan!”
ia mundur beberapa langkah, terkejut, sangat terkejut
karena ia belum meniup patung itu, ia buru-buru
meniupnya, ia elus kepala patung widji t.– ia
mulutnya bergerak-gerak, tapi tidak keluar suara
sedang hati-jiwanya bertanya dan berdoa; ‘tuhan, di mana
sesungguhnya widji, ia murca, tetapi kalau ia masih hidup
pulangkanlah, kalau sudah wafat tempatkanlah ia di surgamu!’
lelaki kerempeng pembuat patung itu napasnya sesak, ia
pegangi dada dengan kedua tangannya, sorot matanya kosong
perlahan ia terjungkal dan berdesis lirih; “sejatinya aku ingin
membuat patung-patung lainnya lagi; gibran, tagore, kafka,
neruda, paz, shakespeare, tetapi sungguh maaf…”
ia tersungkur
bukit lengang, hanya suara desau angin yang datang dari lembah.
Jaspinka, 16 Agustus 2021
FAYI, ENGKAU DAN LANGIT SENJA
sudah gadis tentunya fayi, sudah empat tahun di
pondok pesantren– menjelma makhluk manis
berjilbab panjang, fayi ingin melanjutkan sekolah
ke luar negeri, ke jerman atau inggris mengembangkan
fantasi dirinya dan engkau, chin, sangat tidak suka dengan
keinginan fayi kuliah di luar negeri itu, kalau toh terpaksa fayi
kuliah di luar negeri, engkau hanya mengizinkan di al-azhar kairo
engkau ingin fayi kelak menjelma bidadari beraroma surga
langit senja, matahari tergelincir perlahan semburatnya kuning jingga
fayi dan engkau, chin, sama-sama merenda benang impian: bidadari
beraroma surga yang menguasai teknologi dan informatika
: “kalau begitu, kalau aku tak boleh ke jerman atau ke inggir, bunda,
aku mau kuliah jurusan teknik informatika, di itb atau ugm saja,
peluk-cium aku bunda!”
engkau dan fayi berpeluk erat dengan sorot mata berlinang
menata reruntuhan rindu-sunyi, o, rindu-sunyi persis belati!
Jaspinka, 14 Agustus 2021
MESIN TIK KELURAHAN
aku tengah menulis puisi panjang dengan notebook
yang kubeli kredit sepuluh tahun lalu– dan bagai air bah kata-kata
meluncur hingga lima halaman lebih, aku takjub dan terkesima
belum pernah dalam hidupku bisa menulis puisi sepanjang ini;
lima halaman lebih!
tetapi aduh, listrik mati, tiba-tiba mati, ketikan puisi yang lebih
lima halaman itu, demi tuhan belum aku save, murca, tak ada
satu huruf pun di layar notebook, hati-jiwaku lemas keringat dingin
leleh di sekujur tubuh
aku berdiri, melangkah terhuyung
di sudut kamar aku tersungkur; aku serasa bepergian ke masa
empat puluh tahun lalu; menulis puisi di kertas bungkus rokok,
di pinggir-pinggir koran, atau telapak tangan kiri– untuk puisi pendek
lalu di buku catatan harian untuk puisi yang agak panjang
setelah itu, selepas jam kerja aku berlari kecil ke kantor kelurahan
dengan dada berguncang aku numpang mengetik, petugas baik budi itu
hanya tersenyum hambar, dan suatu saat ia berujar; “apa kamu bisa
hidup dari puisi?”… aku berhenti mengetik, kepalaku bagai digodam
tubuhku menyusut kecil, aku bisu! tubuhku lemas, aku terjungkal
tertelentang dan o, mesin tik kelurahan yang besar dan pitanya sudah
mulai pudar seolah menimpa kepalaku
: aku sungguh seperti mati
di hadapanku notebook masih menyala tanpa ada satu huruf pun
dada keras berguncang, aku setengah gila rindu mesin tik kelurahan.
Jaspinka, 4 Agustus 2021
JUBAH UNTUK KEKASIH
ia senang sekali menganyam perca ketika malam sunyi
dijadikannya jubah untuk kekasih di pekanbaru
beberapa kali air matanya tetes– membasahi anyaman perca
jiwanya berkarat tetapi kesetiaannya belati berkilat
ia senang sekali menganyam perca ketika malam sunyi
lalu menulis sajak-sajak untukmu, chin, sajak-ajak
sederhana namun berdaya kejut, sajak-sajak serupa hidupnya
yang ombak yang karang disepuh matahari
dan hatinya, serupa edelweis yang menyala di malam gelap
menerangi bukit, lembah, sudut-sudut kota dan rindu
yang bergemeretak
chin, dalam waktu dekat ini aku akan datang ke pekanbaru
mengantarkan jubah dan mengenakan di tubuhmu yang
mawar dan bercahaya, lalu kita menyusuri sungai siak
lalu menyantap ikan di pondok patin hm. yunus di simpang
tiga tak jauh dari bandara seraya menulis puisi berdua!
Jaspinka, 2021
====================
Biodata
Eddy Pranata PNP— adalah Ketua Jaspinka (Jaringan Satra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Juara 3 Lomba Cipta Pusi FB Hari Puisi Indonesia 2020, meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021). Puisinya dipublikasikan di Horison, Litera, Kanal, Jawa Pos, Indo Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Banjarmasin Pos, Tanjungpinang Pos, Solopos, Minggu Pagi dan lain-lain.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama, antara lain: Pameran Kelompok Komunitas Lempuyang di Hilton Hotel, Surabaya (1999), Pameran “Sensitive” Komunitas Lempuyang di Danes Art Veranda, Denpasar (2006). Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.