Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

MIMPI

Cerpen: Yin Ude

Ilustrasi: Bonk AVA 

 

“Aaaduh!” seruku. Dan seperti biasa, antara rasa tidak senang yang memicunya, terselip pula geli di hatiku. Geli karena saat berseru seperti itu aku harus menyebut nama sendiri.

“Aduh!” Sekali lagi, saat kian tak terkendali ketidaksenanganku melihat jemari Rusman meloncat-loncat canggung di atas keyboard laptopnya, mengetik teman-temanku untuk menjadi sebuah puisi, yang pasti akan ia posting di facebook.

“Kalau canggung, kenapa memaksa diri memakai laptop?” Lagi. Kali ini seruanku diiringi mencuatnya sesuatu di dalam batinku.

Perih!

Ya, batinku perih menyadari sekarang tak ada lagi mesin ketik, yang dulu selalu membuat aku senang: di atas kertas, bersandar pada bantalan, aku dimunculkan oleh Rusman, pengarang tua itu. Bersama temanku, kata-kata lain, aku membangun naskah, entah puisi, entah cerpen, entah novel. Lalu Rusman –yang masih muda- membawa naskah yang ada aku di dalamnya itu ke penerbitan. Aku pun berkelindan dengan tinta, melekat di kertas buku-buku. Aku abadi di dalamnya sebagai pembangun karya-karya bermutu.

Sungguh, batinku perih pula melihat Rusman tak lagi peduli apakah karyanya bermutu atau tidak. Ia mabuk oleh pengalaman baru yaitu keleluasaan berekspresi di facebook. Mabuk pula oleh kenyataan lebih mudahnya ia terkenal setelah eksis di media sosial itu. Lalu ia tak berhenti menulis. Bahkan memaksakan diri setiap waktu menulis, agar karya, nama dan wajahnya tersiar luas. 

“Rusman kehilangan dirinya sendiri!”

Kusebut ia kehilangan diri sendiri karena cara menulisnya sekarang melanggar prinsip menulisnya dulu! Dulu ia menulis hanya jika mendapat ide terbaik, tema terbaik, hasil dari kontemplasi.

Saat itu ia sadar bahwa penerbit buku, koran dan majalah memberlakukan syarat penerimaan karya yang amat ketat. Sehingga baginya akan sia-sia jika menulis asal-asalan, yang hasilnya tidak layak terbit, tidak layak muat. Hanya membuang-buang waktunya. Ia harus pula memperhitungkan peluang terbayarnya pikiran serta tenaganya melalui terbitnya buku atau termuatnya karya. Harus bisa memastikan apakah bukunya itu akan menjadi buku bermutu, laris di pasaran dan memberikan royalti tinggi. Paling tidak mesti besar kemungkinan redaktur media bersedia memberi honorarium tinggi karena tulisannya menarik.

“Rusman sudah abaikan semua itu. Mutu karyanya tak sebaik dulu lagi,” sesalku.

Aku kecewa pada Rusman. Kekecewaan yang kian dalam karena aku sadar bahwa ia nanti—kemungkinan besar—mengabaikan aku pula, dengan memasukkan aku dalam buku tak bermutunya: kumpulan puisi, cerpen atau novel yang materinya dihimpun dari puisi, cerpen atau novelnya yang berserakan di facebook. 

Oh, bukan kemungkinan lagi. Aku lupa bahwa ia sedang merencanakan menerbitkan antologi cerpen.

“Ada banyak sekali aku dalam cerpen itu!”

 

***

“Aaaduh!” 

Seruan Rusman mengejutkan aku yang sedang malas-malasan di layar laptop. Kutahu ia bukan memanggilku. Kulihat wajah lelaki enam puluh tahunan itu tegang melihat layar ponselnya.

Sejurus tangannya menekan tombol panggilan, dan di seberang terdengar suara salam.

“Apa Bapak tidak bisa sabar?” ucap Rusman tak menjawab salam itu. “Lagi-lagi Bapak menghubungiku lewat WA seperti ini, dengan desakan yang itu-itu juga. Tak mungkin naskah cerpen itu kukirim secepatnya, sebab masih ada bagian yang ingin kuedit sedikit…”

“Sudahlah, kami pihak penerbit sudah yakin naskah Bapak itu bagus! Dan Bapak tahu sendiri, kami harus bisa mengimbangi produktivitas penerbit lain!” potong lawan bicaranya. “Jadi kirim saja, agar antologi cerpen Bapak segera bisa kami terbitkan. Atau…”

“Atau apa?” sela Rusman.

“Atau kami urung mengambil naskah Bapak. Kami ambil naskah penulis lain saja?”

“Tidak, tidak! Ya, sudah, nanti malam aku kirim naskah kumpulan cerpenku itu!” Gegas suara Rusman, memberi keyakinan kepada “si pihak penerbit itu”. Dan usai meletakkan ponsel di samping laptop ia menghela nafas. Berat. Kentara sekali beban di wajahnya.

Aku tahu hati Rusman masih bertarung dengan tuntutan penerbit. Sudah dua minggu ia didesak, sementara ia bersikeras mengendapkan dulu naskah cerpennya, sampai ia rasa benar-benar fix.

Tapi itu menjadi simalakama. Ia kirim, ia belum puas dengan kesempurnaan karyanya. Tidak ia kirim, penulis lain akan mengambil tempatnya. Bukunya tidak terbit. Royalti pun gagal ia dapat.

Oh, tiba-tiba aku disentak satu hal: aku salah juga menilai bahwa Rusman tidak lagi peduli dengan kualitas karyanya. Buktinya… ah, tapi tetap saja ujungnya sama! Ia korbankan karya demi menuruti penerbit!

“Ya, Tuhan! Aku akan segera masuk dalam buku antologi cerpen yang tidak bermutu!” jeritku.

“Aaalah! Dasar pengeluh! Kau terima saja takdirmu sebagai kata yang dibuat oleh penulis, yang bisa semau mereka dimunculkan dalam naskah apapun, yang bermutu atau tidak!”

Itu suara biasa, yang kembali kudengar dari Pasrah, salah satu kata yang selalu menganggap aku sok kritis.

Aku tidak berselera memedulikannya. Pikiranku kalut.

Mendadak ada kesal yang mengalir lagi dalam dadaku demi melihat Rusman, yang… oh, dia menangis!

“Kenapa lelaki tua ini menangis?” seruku tidak mengerti. “Apakah karena beban yang terlampau berat, yang tak ia temui solusinya?”

Ingin kuberteriak, “kapok! Itu karena ulahmu sendiri!”

Tapi gelap tiba-tiba.

Rusman telah menutup laptop. 

 

***

Berkilat pedang di tanganku, teracung ke arah Rusman yang berdiri menghadapku dengan pandang tak mengerti.

“Aduh, apa maksudmu hendak menyerangku seperti itu?” serunya siaga.

“Kau, telah membuat hidupku sia-sia!” sentakku geram. “Kau gunakan aku semaumu untuk melengkapi karya-karyamu yang tidak bermutu, yang hanya untuk memenuhi ambisi ketenaran di media sosial, yang hanya untuk mengikuti kemauan penerbit kacangan!”

“Hah?!” sambut Rusman. Suaranya berubah lantang. “Kau tak pantas bicara begitu, tak pantas mengatur aku! Aku pengarangnya, yang mengatur kau!”

“Egois! Kalau begitu, kau harus lenyap! Tak layak pengarang seperti kau ada di dunia ini!”

Aku benar-benar marah. 

Aku melompat seraya mengangkat pedang ke arahnya. 

Nyaris saja Rusman menjadi korban, seandainya ia tidak lekas lari, dan… aku terbangun dari tidurku di atas kertas antologi cerpen pengarang itu, yang sejak dua hari lalu telah terbit.

Buku itu terbuka, dan segera kutahu tempatnya tergeletak di atas meja di sudut sebuah toko buku. 

“Toko Buku Gramadya!” jeritku. “Apakah, apakah buku cerpen ini diperbolehkan oleh pemiliknya untuk dijual di toko ini?!”

Toko Buku Gramadya adalah toko milik Susilo, penulis, sahabatnya Rusman sejak muda. Sebuah toko buku yang hanya bersedia menjual buku-buku terbaik. Dulu, aku sering berada di rak-rak toko ini, ketika Rusman masih menulis buku-buku bermutu. Aku rindu saat-saat indah itu! 

Kulihat Rusman duduk bersandar di kursi dengan keringat membaluri pelipisnya. Nafasnya juga sedikit terengah-engah.

“Apakah karena ia baru lari menghindari kejaranku?” ucapku, masih geram.

Seorang lelaki, tua pula, datang dan langsung duduk di kursi samping Rusman.

“Susilo!” bisikku pada diri sendiri.

“Maaf aku berkeringat. Aku capek, sebab tergesa berjalan kaki datang kesini setelah menerima telepon darimu,” kata Rusman. “Apa benar kau mau membiayaiku untuk kembali menulis buku bermutu seperti dulu, yang mau kau jual di toko bukumu ini?”

Susilo mengangguk-angguk. “Tapi hari ini kulihat kau telah menerbitkan buku lagi,” katanya seraya menyeringai. Kentara sekali kesan mengejek.

“Jangan mengejekku,” sentak Rusman. “Jujur, selama ini aku senang mengumbar karya di media sosial, senang menerbitkan buku dengan cara kilat. Tapi itu semata-mata karena aku ingin mengikuti arus zaman. Aku takut kehilangan muka, tak dikenal lagi jika tidak ikut-ikutan muncul di facebook. Kita harus bisa beradaptasi, kan? Walaupun kutahu itu membuatku mengabaikan prinsip kita menulis zaman dulu. Sungguh, kau mungkin tidak percaya, hatiku pun pedih menjalani caraku sekarang. Kadang aku sampai menangis sendiri, Susilo!”

Lelaki di sampingnya kini tertawa, keras, sampai para pengunjung toko menatapnya dengan wajah heran.

Rusman menyeringai risih. Ia memegang buku antologi cerpennya.

“Ini buku terakhirku yang asal-asalan,” ucapnya lirih. “Mulai hari ini aku akan menulis seperti dulu.”

“Aaaduh! Apakah aku masih bermimpi?” seruku. “Atau… Rusman menjadi sadar setelah berhasil meloloskan diri dari dalam mimpiku?”

“Syukurlah, itu mimpi kita terhadap seluruh penulis zaman sekarang ini,” kata Susilo dengan wajah sumringah.***

 

BIODATA

Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Elipsis, Sastra Media, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.

Bonk AVA adalah nama pena dari Putu Sumadana, lahir di Denpasar, 27 Juli 1987. Puisi dan esainya dimuat di sejumlah media masa. Selain menulis, ia suka melukis. Pameran yang pernah diikutinya adalah “Silang Sengkarut” di Dalam Rumah Art Station, Denpasar. Kini ia bergiat di komunitas Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Bali. 

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!