Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum

Geruduk DPRD Bali, Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran

TOLAK PEMBUNGKAMAN: Koordinator Aksi Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran, Ambros Boli Berani saat berorasi di Gedung DPRD Bali, Selasa, 28 Mei 2024. 

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Aliansi Masyarakat Bali secara tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran karena mengancam kebebasan pers. 

Aspirasi penolakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 lantaran dinilai banyak kalangan tidak melibatkan pemangku kepentingan dan substansinya bermasalah sebab antara lain memuat pasal yang mengatur isi konten produk jurnalistik yang melarang penayangan jurnalistik investigatif ini disampaikan di Gedung DPRD Bali, Selasa, 28 Mei 2024. 

Aliansi Masyarakat Bali menyampaikan pernyataan sikap di hadapan wakil rakyat yang duduk di kursi DPRD Bali. 

Pernyataan sikap ini mengulas bahwa revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang sedang dibahas DPR RI saat ini dinilai memuat pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, sehingga membawa Indonesia ke masa kegelapan. 

“Draf RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret 2024 yang dibuat Baleg DPR RI mengandung pasal-pasal yang mengamputasi kebebasan pers, menghambat kerja-kerja jurnalistik, dan mengebiri kebebasan berekspresi warga negara. Alih-alih mendorong terwujudnya masyarakat yang demokratis, negara, dalam hal ini pemerintah, justru secara telanjang berniat mengontrol warga negaranya yang berdampak pada pelanggaran hak atas kemerdekaan pers, tetapi juga pelanggaran hak publik atas informasi,” tandas Koordinator Aksi Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran, Ambros Boli Berani. 

Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap draft RUU Penyiaran, Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran menuangkan catatan kritis atas pasal-pasal problematik yang berpotensi mengebiri demokrasi dan merampas hak asasi manusia (HAM), termasuk hak atas kemerdekaan pers, pelanggaran hak publik atas informasi, pelanggaran kebebasan berekspresi, ingga melanggengkan monopoli. 

Pertama, Bab IIIB, dari Pasal 34A sampai Pasal 36B, berisi pasal-pasal yang menyangkut platform digital penyiaran. Pasal 34F Ayat 2 yang mengatur bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS) bahkan sampai sanksi pencabutan  .

“Pasal ini dapat mengekang kebebasan berekspresi warga negara, dan berpotensi menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif, konten kreator di sejumlah platform digital seperti Youtube, Tiktok, Spotify, Vidio, dan lain-lain, termasuk podcast di berbagai platform digital, pegiat media sosial dan lainnya,” ungkap Ambros Boli Berani. 

Kedua, Pasal 8A huruf q: KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Pasal 42 yang berbunyi muatan jurnalistik dalam isi siaran lembaga penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  

“Catatan kritis kami, pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf RUU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 (pedoman perilaku penyiaran) dan SIS (standar isi siaran). Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers,” ulasnya. 

Ketiga, pada draft RUU Penyiaran terdapat penghapusan Pasal 18 dan 20 UU Penyiaran Nomor 32/2002. Pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. Contoh Pasal ayat (1) yang berbunyi pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. 

Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan TV dan radio pada konglomerasi tertentu saja, melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran.  

Keempat Pasal 50B ayat (2) huruf c yang berbunyi larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi; huruf g yang berbunyi larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender; huruf k yang berbunyi larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik. 

“Larangan atas penayangan jurnalistik investigasi bak pepatah “buruk muka cermin dibelah”. Pemerintah enggan melakukan pembenahan dan menjadikan karya jurnalistik dalam rangka check and balances dalam penyelenggaraan negara, sebaliknya pasal tersebut menunjukkan secara telanjang bahwa pemerintah antikritik, tidak siap dikontrol publik sebagai konsekuensi dari negara demokrasi,” tegas Ambros Boli Berani. 

Lebih lanjut, Ambros Boli Berani mengulas tentang larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+ yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja kerja jurnalistik.

“Pembungkaman kebebasan berekspresi lewat ancaman kabar bohong dan pencemaran nama baik bertentangan dengan konstitusi, demokrasi, dan HAM, karena merupakan pasal karet. Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1) tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP pada 21 Maret 2024 lalu,” urainya. 

Pasal-pasal dalam draft RUU Penyiaran tersebut pungkas Ambros Boli Berani mengkhianati semangat perwujudan negara demokratis, khususnya yang terkandung Pasal 28F UUD 1945 di mana setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 

“Juga lebih khusus lagi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang yang dicita-citakan melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas informasi,” sambungnya. 

Berdasarkan hal-hal tersebut, Ambros Boli Berani menyampaikan bahwa Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran menyatakan sikap yang terdiri atas 7 poin.

Pertama, menolak RUU Penyiaran yang sedang dibahas DPR RI. 

Kedua, menolak pasal-pasal yang anti-kemerdekaan pers, anti-demokrasi, antikebebasan berekspresi, anti-HAM. 

Ketiga, menolak monopoli kepemilikan lembaga penyiaran. 

Keempat, mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran atau tidak melanjutkan pembahasan RUU Penyiaran.

Kelima, menuntut Presiden Jokowi dan DPR RI melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan dan perundang-undangan, baik undang-undang baru/ pengganti maupun perubahan/ revisi undang-undang. 

Keenam, menuntut Presiden Jokowi dan DPR RI melibatkan Dewan Pers, organisasi jurnalis, organisasi perusahaan media, dan kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu yang beririsan dalam hal pers, demokrasi, dan HAM. 

Ketujuh, menuntut Presiden Jokowi dan DPR RI menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi. 

“Demikian pernyataan sikap Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran,” tutup Ambros Boli Berani. (bp/ken)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!