Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta
DULU saya mencoba untuk melarikan diri dari kehidupan yang saya rasakan dan anggap menyedihkan, tidak beruntung, penuh problematika, dan tidak biasa-biasa saja. Setelah saya merenung, kini saya baru menyadari betapa luar biasa mental saya dalam menghadapi semua itu. Tentu setiap orang juga melalui proses-proses tersebut, artinya tidak hanya saya saja yang mengalaminya.
Saat saya meninggalkan kampung halaman, saya memikirkan semua yang kutinggalkan, orang tua, kampung halaman, teman-temanku, dan semua kenangan masa kecil. Saya menyadari bahwa kepergian tidak seperti yang saya bayangkan terbebas dari persoalan. Ternyata saya malah mengusung banyak masalah, ketakutan, luka batin, kepahitan masa lalu, bahkan kecemasan masa depan. Ingatan tentang kejadian demi kejadian menjadi sesuatu yang berat dan saya terus membawanya pergi bersama. Perjalanan demi perjalanan terus berlanjut, suka tidak suka, saya pun terus menghadapi setiap eposide kehidupan.
Saya teringat saat saya masih kecil sering terisak-isak di belakang rumah karena suatu sebab. Saat itu, saya merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi dan tidak berguna. Akan tetapi saya berhasil menenangkan diri sendiri sambil berbicara, “Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja”.
Ada yang bertanya, lalu bagaimana perihal kehidupan cinta? Sebagai manusia biasa, soal perasaan tentu hampir sama pada umumnya, pernah mengalami kehilangan demi kehilangan, kepergian demi kepergiaan, penuh liku, kesemrawutan, memiliki ego yang sangat tinggi, kekecewaan bahkan benci dan dendam. Saya kembali menyadarkan diri apabila kita tidak bisa mengelola perasaan kita dengan baik, maka akan mengarah pada hal-hal negatif. Saya sering bilang pada diri sendiri “dunia ini tiada abadi, termasuk cinta”. Pada akhirnya saya mencoba terus memahami, berbicara tentang cinta adalah belajar pada sifat-sifat luhurnya, welas asih, keikhlasan, dsb-nya. Yang terpenting adalah seperti ucapan Oscar Wilde, “To love oneself is the beginning of a lifelong romance”.
Sepenggal kisah itu membuat tanda tanya tentang pernahkah kita menghakimi diri sendiri karena merasa tidak beruntung di dunia ini? Merasa tidak sempurna karena memiliki masa kecil yang tidak bahagia? Atau hubungan kita dengan orang tua, saudara, dan lingkungan yang kurang harmonis, tidak mendapat perhatian, merasa tidak disayangi, atau dengan pasangan bermasalah karena sering curiga, cemburu, tidak percaya, dll? Jika jawabannya “iya”, mungkin saja hal-hal tersebut bisa terjadi karena inner child yang belum terselesaikan dalam diri kita.
Banyak orang dewasa yang mengalami luka atau trauma pada masa kecil, tidak menyadari bahwa mereka masih memiliki sosok anak kecil (inner child) yang tersakiti dalam diri mereka. Bila dibiarkan inner child bisa menjelma menjadi perasaan dan perilaku buruk ketika seseorang tumbuh dewasa.
Apa Itu Inner Child?
Dalam ranah psikologi, inner child dikenal dengan ACEs atau Adverse Childhood Experiences yang merupakan pengalaman masa kecil individu yang berpengaruh terhadap perkembangan. Inner child adalah sifat kekanak-kanakan yang dimiliki dalam diri seseorang yang didapatkan dari pengalaman masa lalu yang belum atau tidak mendapatkan penyelesaian dengan baik sehingga berdampak di masa dewasa.
Orang dewasa dapat memiliki berbagai macam kondisi inner child yang didapatkan dari pengalaman pada masa lalu. Misalnya sewaktu kecil sering dibentak oleh orang tua, tidak mendapatkan kasih sayang, merasakan kesedihan karena perceraian orang tua, melihat orang tua bertengkar, korban kekerasan secara fisik dan verbal, atau banyak tuntutan dari keluarga. Ia menjadi luka yang terbawa hingga di kehidupan dewasa. Terbentuknya inner child akan berpengaruh terhadap kepribadian seseorang bahkan memberikan efek bagaimana cara berpikir, bersikap, dan berperilaku seseorang.
Menyembuhkan inner child adalah proses yang panjang. “Anak kecil” dalam diri kita tidak pernah pergi. Ia meronta-ronta bahkan menetap di alam bawah sadar. Hal ini sesuatu yang sangat kompleks. Pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan akan membekas dalam diri seseorang. Apabila dibiarkan, inner child yang terluka dapat menghambat perkembangan diri kita sebagai orang dewasa. Kita tidak boleh mengabaikan luka batin dalam diri.
Semua orang pasti bertambah tua tapi kenyataannya tidak semua orang dapat menjadi dewasa. Lawana Blackwell seorang novelis besar mengatakan “age is no guarantee of maturity” (usia bukan jaminan kedewasaan). Kedewasaan adalah saat kita telah menyadari dan secara perlahan mampu menyembuhkan inner child dalam diri.
Tidak ada orang yang dapat mengubah masa lalu namun masa lalu tidak boleh menjadi penghalang kehidupan di masa kini. Kita harus tumbuh dengan indah, berdamai dengan kenyataan, menjalani kehidupan dengan baik, dan terus mengembangkan diri. Proses berdamai dengan inner child memerlukan waktu yang tidak singkat. Kita bisa memulainya dengan memotivasi diri untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, mencintai diri kita, menghargai usaha yang telah kita lakukan, serta bersyukur karena Tuhan memberi kekuatan untuk kita menjalani hidup. Percayalah bahwa kita dapat melewati setiap episode kehidupan dengan baik.
Saya menatap foto saya saat masih kecil. Saya mengucapkan banyak terima kasih padanya karena telah mengajarkan cara-cara sederhana menguatkan diri sendiri dalam menghadapi pasang surut kehidupan. Saya berkata, “Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja”.
BIODATA
Leenda Madya, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 9 Agustus 1984. Lulusan Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro. Dia telah menerbitkan buku puisi tunggal berjudul Kenang Aku Sebagai Penyair, Liburan Penyair ke Negeri Anggur, Dongeng Penyair untuk Kekasihnya dan novel Candikolo. Tahun 2018 dia mendapat Penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah, tahun 2019 menjadi penulis terpilih (Promising Writers) Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival. Buku puisi terbarunya adalah Di Tiongkok Kecil Matahari Tenggelam Dalam Sungai Yang Panjang (2024).