PANEN NYALE di Pantai Lombok sudah sangat lama mampir di telingaku. Itu karena kakak kandungku memang tinggal di Lombok sebagai guru di SMA Selong dan Mataram, hingga pensiun.
Waktu itu aku masih di kampungku di Jawa. Ketika aku berada di Bali, cerita Nyale semakin santer. Yang kutangkap saat itu adalah pada bulan tertentu, sebagian warga Lombok mencari Nyale di pantai. Berburu Nyale di Lombok lebih akrab disebut Bau Nyale artinya menangkap Nyale.
Ikan atau binatang seperti apakah Nyale itu? Dalam benakku sejenis belut laut tapi lebih kecil. Tapi ada yang menyebut, sejenis cacing laut berwarna-warni. Aku masih kabur pengetahuan tentang Nyale, karena literasi tentang cerita Nyale yang terbatas,
Teka-teki tentang tradisi berburu Nyale itu tumpah, ketika kemarin sore, Selasa, 18 Maret 2025 aku dan istri duduk leyeh-leyeh di Pantai Senggigi.
Sejak tiga hari silam, ketika kami duduk di sudut Pantai Senggigi menunggu matahari terbenam, sambil mendengarkan deburan ombak liar, dari arah samping beberapa orang datang membawa semacam serok jaring dan ember.
Awalnya aku kira mereka akan berbuka puasa di pinggir pantai seperti senja-senja sebelumnya.
Tapi kali ini jumlah orang yang datang lebih banyak, bahkan ada beberapa ibu muda dan anak-anak.
Kami bertemu dengan Udin, penjual kelapa muda, “Ayo, ayo ikut mencari Nyale, aku sudah siapkan lampu ikat di kepala dan ini jaring sejak seminggu kusiapkan. Nanti kita naik kanu sedikit menjauh dari pantai. Aku sudah punya no WA pengepulnya, akan kujual ke dia.”
Udin menceritakan, bahwa sekarang sedang musim keluarnya Nyale. Biasanya di sekitar Pantai Kuta, tapi di Senggigi juga ada Nyale. Ia cerita, kalau dapat satu botol aqua kecil bisa dijual seharga Rp50 ribu sampai Rp100 ribu.
Tawaran Udin tiga hari lalu itu tidak aku sanggupi, karena cuaca agak mendung, khawatir hujan.
Dua hari lalu, kami ke pantai lagi di bagian Batubolong, sebelah pura Hindu Bali. Ombak mengamuk di pantai, sementara jika pandangan dilempar ke perbukitan, pohon kelapa ukuran jangkung tersenyum seolah menertawakan manusia; aku sudah biasa menyapa estetika pantai sejak masih kecil.
Kemarin sore, sebuah keistimewaan. Panorama tiga hari lalu terulang lagi, banyak orang datang membawa jaring di tangan seukuran 1,5 meter.
Anak-anak bersama ibu mereka duduk di undak-undakan sudut pantai, tepatnya di ujung Hotel Merumatta. Ujung Merumatta ini sebagai tempat selancar yang terkenal. Juga tempat muda-mudi bercerita dunia fantasi mereka.
Remang mulai menggerayang, perlahan terdengar suara adzan, orang-orang itu duduk membuka bungkusan dan meminum air di botol. Buka puasa tiba. Di samping kanan, kiriku, tampak mereka sibuk merayakan makan bersama.
Tak lama kemudian, tampak beberapa orang berwudhlu di pantai dan salat di sudut-sudut beton.
Dalam hitungan menit, mereka memasang lampu yang diikatkan di kepala sambil memegang jaring turun ke pantai. Awalnya, dua, tiga, lima orang. Sorot cahaya lampu semakin terang, seiring redupnya bumi.
Hampir semua orang yang tadi datang, sudah berada di air laut, kulihat ada sekitar 6 anak masih tertinggal duduk di undak-undakan.
Di luar dugaanku, aku kira cara menjaring Nyale itu harus konsentrasi serius, ternyata terdengar riang gembira. Begitu gerombolan Nyale terjaring, suara-suara senang berhamburan dan disusul suara gembira dari penjaring yang lain.
Sungguh sebuah pemandangan yang langka di Pantai Senggigi remang itu. Sorot cahaya dari kepala pencari Nyale berhamburan ke sana kemari. Latar di belakang, lampu rumah-rumah penduduk Senggigi.
Ada dua kelompok mencarian Nyale di Pantai Senggigi. Pertama di tempat orang biasa turun untuk bermain surfing, dan satunya di sebelah kanan persis di ujung Hotel Merumatta.
Suara riuh semakin bergelombang, sementara orang yang menjaring Nyale juga bergerak memanjang di sepanjang pantai.
Aku mencoba mengabadikan peristiwa langka ini dengan ponsel, baik dengan video maupun dengan foto. Sungguh indah.
Timbul pertanyaan terakhirku, apakah aku bisa diizinkan melihat Nyalenya nanti? Aku berkesan, orang-orang ini datang dari jauh, dari Lombok Tengah dan ramah sekali.
Ketika ada seorang mendekat ke darat sambil membawa jaring, buru-buru aku menghampiri, sekiranya boleh melihatnya. Dengan ramah, aku diizinkan mendokumentasikan bahkan dengan baik hati, ia membuka jaringnya, tangan kanannya diturunkan memegang Nyale diangkat ke atas, sehingga sosok Nyale itu jelas sekali.
Seperti apa sejatinya sosok Nyale? Harus kukatakan, mirip dengan cacing. Yang agak membedakan, Nyale ada warna hijau lumut, kuning dan merah. Gerakan Nyale mirip cacing, menggeliat bergerak lembut dan licin.
Perlahan beberapa orang mulai merapat dan aku mencoba minta izin melihat, dengan suka cita, aku dilihatkan sambil bilang akan berpindah ke lokasi sebelah. Aku cepat paham, karena masa Nyale keluar tidak lama, maka harus cepat-cepat ditangkap.
Seorang ibu menghampiri anaknya sambil membawa jaring, dan ketika aku tanyakan, dia tunjukkan jaringnya, baru dapat sedikit. Seorang mengatakan, proteinnya tinggi. Mereka biasa makan Nyale dengan cara dimasak atau digoreng.
Malam begitu pekat dan orang-orang masih berada di air, hanya anak-anak duduk dan bermain di bawah langit gelap. Kami undur diri sambil menggenggam peristiwa baru dari cerita lama.
Legenda Putri Mandalika
Sesampai di rumah aku bertemu, Ziki Sutrisna, sahabat dari Komunitas Perpustakaan Teman Baca di Mataram. Kutumpahkan peristiwa yang aku amati dari dekat yang baru saja terjadi.
Aku bertanya kepada Ziki; apa sebenarnya yang melatar belakangi kisah panen Nyale? Ia menuturkan, ada sekelompok mahasiswa arkeologi Universitas Indonesia asal Lombok yang melakukan penelitian. Mereka berhasil menemukan dokumen asli, yang mengisahkan Putri Mandalika.
Menurut tim peneliti itu, cerita Putri Mandalika, menjadi legenda di masyarakat Lombok, sebetulnya belum lama. Sekitar tahun 1980, di zaman Orde Baru.
Cerita selanjutnya, Presiden Soeharto menginginkan kawasan Pantai Kuta yang terkenal gersang dan sulit ditanami tumbuhan, dijadikan obyek wisata. Akan tetapi pada tahun 1998 memasuki era reformasi, tanah-tanah yang calon kawasan pariwisata itu dimiliki Tommy Soeharto menjadi bermasalah.
Yang mengejutkan cerita Putri Mandalika ditulis oleh seorang dosen di Mataram. Mendengar cerita itu, aku cukup kaget. Berarti dosennya masih hidup, jika cerita baru ditulis di tahun 1980-an. Apakah tak mencoba menemui penulisnya? Sejauh ini belum ada niat ke sana.
Aku masih terngiang-ngiang, kisah Putri Mandalika, baru ditulis tahun 1980-an? Ia susulkan, bahwa dalam dokumen kuno di Lombok, nama Mandalika pun tak ada.
Untuk melengkapi tulisan ini aku bertanya kepada Ahmad Sugeng, Sekretaris Lombok Heritage and Science Society (LHSS) di Mataram. Ia menjelaskan panjang lebar, sebagai berikut:
Mandalika adalah putri raja dari Kerajaan Sekar Kuning. Kerajaan ini berasal dari Negeri Tonjung Beru. Ayahnya bernama Panji Kusuma dan ibunya bernama Dewi Seranting.
Lokasi Kerajaan Tonjung Kusuma diapit oleh dua kerajaan besar, yakni Kerajaan Sawing dan Kerajaan Lipur. Kerajaan Sawing dipimpin oleh Raja Johor dan Kerajaan Lipur dipimpin oleh Raja Bumbang.
Karena Putri Mandalika ini sangat cantik, sehingga banyak pangeran yang ingin mengambil sebagai istri. Karena bingung memilih dan agar tidak terjadi peperangan, maka Putri Mandalika ini menceburkan diri ke laut.
Ahmad Sugeng yang biasa dipanggil Gegen ini menceritakan secara lisan bahwa tradisi Nyale ini tidak hanya berada di Lombok Selatan, tapi di Lombok bagian timur juga ada, bahkan di tetangga pulau seperti di Sumbawa dan Sumba.
Akhir-akhir ini muncul di Pantai Senggigi. Pertanyaannya; kenapa panen Nyale ini lebih ramai di Lombok Selatan? Salah satu faktornya, karena peristiwa langka ini dijadikan event daerah, berlanjut ke event nasional. Sehingga perayaan Nyale dipusatkan di Pantai Kuta dan Pantai Seger.
Tetapi menurut literatur-literatur kuno seperti Babad Lombok, Babad Selaparang, Babad Mengi, dan Babad Praya atau Babad Sakra, tidak disebutkan ada kerajaan bernama Tonjung Kuning, Sawing, dan Lipur. Bahkan nama raja Panji Kusuma, tak ditemukan.
Dari cerita-cerita rakyat, cerita Putri Mandalika itu tak ada. Justru cerita Sandubaya dan Lala Seruni itu mendominasi. Cerita rakyat tersebut bisa ditemukan di buku terbitan departemen pendidikan dan kebudayaan.
Gegen menduga, legenda Nyale diciptakan di tahun 1982 untuk mempromosikan pariwisata. Tahun 1980-an itu Pemerintah NTB gencar mempromosikan pariwisata. Memang benar, legenda Putri Nyale selalu diperingati oleh rakyat setempat.
Gegen menutup percakapan, dengan menyebut bahwa perayaan panen Nyale setiap tanggal 19 dan 20 bulan ke sepuluh menurut hitungan Kalender Sasak. Puncak acara itu ditetapkan pada nama Sangkep Warige. Sistem kalender dengan perhitungan bulan.
Pada pertengahan bulan Maret 2025 inilah, Nyale keluar dari dasar laut, terutama dekat pantai di Lombok.
Nyai Roro Kidul dan Desa Komodo
Ketika aku berada di Taman Sari, kolam pemandian untuk raja-raja Mataram di Yogyakarta, pemandu lokal bercerita tentang dua kolam di situ.
Menurut pemandu, kolam yang besar untuk para permaisuri, tetapi kolam yang kecil dan terpisah, itu disediakan untuk Nyai Roro Kidul.
Konon sultan di Mataram juga punya istri Nyai Roro Kidul. Orang tahu Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan di Jawa dari Pantai Parang Tritis sampai di Pantai Pangandaran di Jawa Barat.
Mendengar cerita pemandu itu menjadi nalar ditabrakkan dengan dunia gaib. Dari literasi yang kubaca, bahwa di kerajaan ada sastrawan yang dirumahkan alias dipelihara. Tugas sastrawan sebagai pelipur lara yakni menghibur penguasa.
Ketika sang penguasa Mataram sudah mulai tak dipercaya oleh masyarakat, sastrawan perlu diberi tugas menuliskan kisah baru, entah apapun kisah itu, yang utama bisa membangkitkan kepercayaan warga kepada sultan kembali.
Bekerjalah sang pencerita dengan memanfaatkan mitos di masyarakat, bahwa sebagian besar orang Jawa masih percaya dunia gaib, takhayul, sebab itu kisah harus berbau mistik.
Lahirlah cerita baru, bahwa sultan punya istri Nyai Roro Kidul. Cerita bak doa, cepat menjalar ke mana-mana. Tujuan sang pencerita by order ini, supaya masyarakat yang sudah tak menghormati penguasa, kembali menghormat, karena masyarakat takut dengan Nyai Roro Kidul, automatis akan juga takut pada sultan.
Cerita membatu menjadi legenda, disusul dengan ritual-ritual pada bulan-bulan khusus. Berkembanglah cerita itu menjadi kepercayaan.
Lain Yogya, lain pula di Pulau Komodo. Tahun 1997, 28 tahun silam, kami mengunjungi Pulau Komodo dan menginap tiga malam di pulau itu. Beruntunglah bisa menginap di hotel panggung di Pulau Komodo. Setiap malam ada suara berisik, komodo mengejar babi hutan lewat bawah kamar. Sekarang, sudah tak dibolehkan lagi ada hotel di Pulau Komodo.
Saat kami mendatangi Desa Komodo dengan dipandu ranger setempat, diperoleh cerita dari warga Desa Komodo bahwa mereka ini masih saudara kandung dengan komodo.
Seorang warga menuturkan, cikal bakal Pulau Komodo dari dua bayi yang lahir, satu seorang bayi berwujud manusia dan yang lain berwujud binatang komodo.
Ia meyakinkan, kenapa desanya disebut Desa Komodo. Desa ini benar-benar menempel di Pulau Komodo di bagian pantai, sedang sebelah kirinya sampai di bukit-bukit dihuni komodo.
Warga itu meyakinkanku, bahwa sampai kini tak pernah ada warganya yang dimakan komodo. Kalau turis Swiss pernah dimakan komodo di tahun 1970-an. Turis bandel dari Swiss itu seorang profesor, datang dengan kapal pesiar dan turun ke komodo, dan kembali ke kapal. Tak tahunya, turis bandel itu turun kapal lagi dan masuk ke Hutan Komodo seorang diri. Ketika kapal akan beranjak pergi, diketahui salah satu turis belum kembali.
Selang tiga hari, ditemukan kaca mata dan kameranya dan sampai kini diberi nisan berbentuk salib di tempat turis Swiss itu dimakan komodo. Nisan itu sampai kini masih bisa dilihat. Kisah ini menjadi sangat populer, karena telah ditulis di hand-book panduan ke Pulau Komodo.
Pada waktu itu juga ada mahasiswa IPB melakukan penelitian di Komodo termasuk mitos di atas.
Belakangan, ketika aku ke Pulau Komodo lagi, mendapat cerita baru ada bocah kecil sedang berak dari Desa Komodo diterkam komodo. Barang kali bocah itu saat berak ada komodo di sekitarnya. Jika bocah itu memang dari Pulau Komodo, pupus sudah mitos sebelumnya.
Friedrich von Schiller menulis drama berjudul Wilhelm Tell. Sebuah kisah yang berasal dari mitos gerakan politik di Swiss, dengan tokoh Wilhelm Tell dengan adegan penembakan buah apel di atas kepala. Kisah ini menandai ambruknya kekuasaan Kerajaan Austria di Negeri Alpen, Swiss. Drama ini ditulis di tahun 1804 dan dipentaskan di Weimar, Jerman.
Setiap tanggal 1 Agustus diperingati sebagai hari kemerdekaan Swiss di tepi Danau Vierwaldstättersee dan Patung Schiller berdiri kesepian di tepi danau.
Sandik, 19 Maret 2025
BIODATA
Sigit Susanto lahir di Kendal, 21 Juni 1963. Karya-karyanya antara lain Sosialisme di Kuba (2004), Pegadaian (novel; 2004), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 1 (2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia II (2008), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia III (2012), Kesetrum Cinta (2016), Jejak-Jejak yang Tertinggal (puisi, 2023), Si Bolang dari Baon (novel, 2024). Ia juga menerjemahkan beberapa karya sastra dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia, seperti: Proses karya Franz Kafka (2016), Surat untuk Ayah karya Franz Kafka (2016), Metamorfosis karya Franz Kafka (2018), Percakapan dengan Kafka karya Gustav Janouch (2018), Novelet Catur karya Stefan Zweig dalam proses penerbitan).