Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

EsaiSastra

Penyair Sebagai Mesin: Sebuah Pembacaan Dekat

Oleh: Saut Situmorang

Ilustrasi: Ignatius Darmawan

 

ADA dua topik utama dalam buku Martin Suryajaya Penyair Sebagai Mesin: Sebuah Eksperimen Dalam Penulisan Jauh Dan Sejarah Lain Puisi Indonesia (2023) yaitu pembacaan jauh (distant reading) sebagai cara membaca karya sastra dan robot Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) sebagai pencipta karya sastra. Dalam bukunya ini Martin berusaha menunjukkan bahwa keduanya memilki hubungan simbiosis mutualistik.

Pembacaan jauh (distant reading) adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh Franco Moretti, seorang sejarawan sastra asal Itali tapi lama mengajar di Amerika Serikat, dalam sebuah eseinya berjudul Conjectures on World Literature yang dimuat di jurnal dua-bulanan New Left Review edisi Januari-Februari 2000 di Inggris. Sebuah moda membaca karya sastra yang memakai sampel, statistik, parateks, dan fitur lain yang dalam dunia kritik sastra tidak dianggap penting sama sekali. Bagi Moretti, memahami sastra bukan dengan cara mempelajari teks-teks tertentu tapi dengan mengumpulkan dan menganalisis data dalam jumlah yang besar. Data dalam jumlah yang besar adalah kata kunci dalam moda membaca pembacaan jauh ini. Kita butuh pembacaan jauh, kata Moretti, karena lawannya, yaitu pembacaan dekat (close reading), tidak dapat mengungkapkan keluasan dan hakekat sastra yang sebenarnya. Pembacaan jauh harus menggantikan pembacaan dekat sebagai satu-satunya metode untuk menganalisis dan memahami sastra. Dan komputer dan Internet merupakan dua alat bantu yang sangat penting dalam melakukan pembacaan jauh ini yaitu dalam melakukan penambangan-teks (textmining) untuk mendapatkan data yang berjumlah besar tadi.

Jadi secara ringkas bisa kita katakan bahwa bagi Moretti untuk memahami sastra, kita harus berhenti membaca buku sastra. Kita cukup menambang data dan membuat statistik tentang unsur-unsur dominan apa yang terdapat dalam ratusan bahkan ribuan karya sastra, novel misalnya, untuk benar-benar memahami keluasan dan hakekat sastra yang sebenarnya. Pembacaan jauh Moretti ini kemudian menjadi metode kerja khas dari apa yang disebut sebagai disiplin Digital Humanities terutama di dunia akademik Amerika Serikat.

Pembacaan jauh Morettian ini dipraktekkan Martin atas kumpulan sajak Dua Marga (2022) Nirwan Dewanto dalam artikelnya yang berjudul sangat panjang Seni sebagai Pelarian ke dalam Kepribadian Lain: Sebuah Eksperimen Pembacaan Jauh atas Dua Marga di Jurnal Urban Vol 6, No.1 : 01 – 101, April – September 2022. Membaca pembacaan jauh Martin atas buku Nirwan ini, saya benar-benar menderita rasa bosan yang tak terkatakan. Disamping tak tahan melihat kritik sastra direndahkan cuma jadi sekedar statistik linguistik belaka, gaya penulisan artikelnya itu pun tidak menimbulkan ekstasi tekstual alias tekstasi untuk menggaulinya lebih dekat karena terasa begitu kering dan jauh. Mirip seperti membaca manual komputer rasanya.

Keterpesonaan Martin pada moda membaca pembacaan jauh sudah ditunjukkannya dalam pengantar redaksi yang ditulisnya untuk merayakan peluncuran situs “kritik sastra” Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bernama tengara.id. Di situ Martin membuat klaim besar tentang Sastra bahwa telah terjadi pergeseran paradigmakritik sastra” dalam khazanah studi sastra dunia: “Contoh paling terang adalah pergeseran paradigma kritik sastra sejak awal abad ke-21: pembacaaan jauh (distant reading) yang diperkenalkan Franco Moretti(Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia”, tengara.id. 19 Agustus 2021).

Entah di dunia kritik sastra mana terjadipergeseran paradigmaini dan dia tidak (mampu) menjelaskannya! Apa yang justru terjadi adalah bahwa pembacaan jauh Morettian itu merupakan paradigma hanya di disiplin akademik bernama Digital Humanities yang lebih mirip varian terbaru dari cultural studies itu ketimbang dalam khazanah studi sastra (literary studies) dunia. Metode membaca pembacaan dekat (close reading) masih tetap merupakan metode khas kritik sastra dalam studi sastra (literary studies) di seluruh dunia.

Asersi Moretti bahwa pembacaan dekat (close reading) tidak dapat mengungkapkan keluasan dan hakekat sastra yang sebenarnya itu tentu saja mendapat respon keras dari para kritikus sastra, dari dunia sastra. Dua kritikus sastra terkenal yaitu Stanley Fish dan Gayatri Spivak termasuk di antara mereka.

Stanley Fish, misalnya, dalam artikelnya Mind Your P’s and B’s: The Digital Humanities and Interpretation di The New York Times 23 Januari 2012, menulis bahwa prosedur pembacaan jauh tak lebih daripadapertama Anda jalankan angkanya, dan kemudian lihat apa angka tersebut memicu hipotesis interpretatif. Metodenya, kalau bisa disebut demikian, ditentukan oleh kemampuan alatnyayaitu canggih tidaknya komputer yang dipakai dalam menambang teks (angka) tersebut. Dan tentu saja Stanley Fish menolakkritik sastra” model acak-nomor begini:

Apa pun visi yang diklaim oleh kaum Digital Humanities, tidak akan memiliki banyak relevansi untuk orang seperti saya dan untuk jenis kritik sastra yang saya praktikkan: yaitu kritik sastra yang menyempitkan makna ke signifikansi yang dirancang oleh seorang pengarang, kritik sastra yang menggeneralisasi dari sebuah teks yang sekecil setengah baris pun, kritik sastra yang menekankan perbedaan antara yang benar dan yang salah, antara yang relevan dan yang omong kosong, antara yang serius dan yang sekadar permainan.

Pembacaan Dekat

Pembacaan dekat (close reading) adalah metode analisis karya sastra yang diciptakan kaum Kritik Baru (New Criticism)yang mendominasi studi sastra di Amerika Serikat dari tahun 1930-an hingga 1970-anberdasarkan buku-buku Practical Criticism (1929) karya I. A. Richards and Seven Types of Ambiguity (1930)nya William Empson, dua kritikus sastra Inggris. Pembacaan dekat adalah analisis mendetil atas hubungan dan ambiguitas yang kompleks dari unsur-unsur verbal dan figuratif dalam sebuah karya sastra. Sejak kaum Kritik Baru inilah pembacaan dekat menjadi satu-satunya metode analisis karya sastra yang mendominasi studi sastra (literary studies) di seluruh dunia.

Menurut ChatGPT sendiri: Pembacaan dekat adalah metode analisis teks sastra yang berfokus pada pemeriksaan secara mendetil dan cermat bahasa, struktur, dan tema dalam karya tertentu. Eksplorasi yang teliti dan cermat atas kata, frasa, dan perangkat sastra yang digunakan oleh penulis, serta pemeriksaan hubungan antara berbagai elemen teks.

Saat melakukan pembacaan dekat, sarjana sastra sangat memperhatikan nuansa bahasa, seperti pilihan kata, struktur kalimat, dan bahasa kiasan. Mereka memeriksa bagaimana elemen-elemen ini berkontribusi kepada keseluruhan makna dan interpretasi teks.

Dalam bukunya Penyair Sebagai Mesin, Martin terlalu banyak membuat klaim asersif yang tidak (bisa) dia buktikan atau tidak diberikannya contoh pembuktian atau bahkan saling bertentangan pendapatnya. Misalnya dalam kasus seseorang yang bernama Khoirul Anam (hal. 154-156). Martin memuat dua teks yang belum apa-apa sudah disebutnya sebagaipuisi yang ditulis Khoirul. Kita tidak diberinya alasan kenapa dia menganggap kedua teks tersebut adalahpuisi”. Apa yang justru dia lakukan adalah menggugat kita kalau kita menganggap kedua teks tersebut jelek dan bukan puisi! Sementara itu pada bab Pendahuluan di mana dia melakukan eksperimen menulis tiga puisi dengan memakai bantuan robot ChatGPT, Martin entah kenapa tiba-tiba menjadi sangat kritis baik atas hasil dari eksperimentasinya itu maupun atas robot ChatGPT itu sendiri (hal. 5-9). Kenapa bisa terjadi kontradiksi ini? Apa Martin terkena schizofrenia karena terlanjur menganggap dirinya mesin yang menganggap dirinya penyair?

Tentang kanon sastra (hal. 10-11), bukankah Martin sendiri juga mereproduksinya dalam bukunya dalam seleksi nama-nama penyair yang rata-rata merupakan nama-nama dalam kanon Sastra Indonesia untuk dikolasenya dengan memakai mesin AI itu? Apakah nama-nama “Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Afrizal Malnabukan nama-nama yang dianggap sebagai kanon dalam perpuisian Indonesia?

Apa yang dilakukan Martin dalam bukunya ini sebenarnya cuma mendaur-ulang isu klise dalam sejarah pemikiran Barat yaitu apa yang disebut sebagai pertengkaran antara filsafat dan puisi yang dimulai oleh Plato, lalu masalahpositivisme vs anti-positivisme (interpretivisme)”, yang kemudian mencapai klimaksnya pada isudua budaya”-nya CP Snow dari Inggris di pertengahan abad 20. Terus terang saja ini merupakan isu yang sama sekali tidak menarik dan merupakan keisengan para pemikir Barat doang.

Bagi kritik sastra, pembacaan dekat (close reading) adalah satu-satunya metode analisis dan interpretasi karya sastra. Metode ini sama seperti metode seorang dokter dalam mendiagnosis penyakit apa yang diderita seorang pasien. Seorang dokter yang mau mendiagnosis apa penyakit yang diderita seorang pasien akan memeriksa pasien secara langsung dengan memeriksa tubuhnya dan malah tak jarang dengan bantuan alat seperti stetoskop. Setelah melakukan pemeriksaan langsung atas tubuh pasien inilah baru dokter bisa menyimpulkan penyakit apa yang sedang diderita si pasien. Inilah yng disebut metode pembacaan dekat (close reading) dalam Sastra itu. Susah dibayangkan apa yang akan terjadi kalau dokter tersebut melakukan pembacaan jauh Morettian atas pasiennya tersebut lalu menyimpulkan apa penyakit yang dideritanya!

Buku Martin ini bagi saya cuma merupakan usaha seseorang yang tidak berbakat menulis puisi tapi berhayal ingin jadi penyair dan menganggap menulis puisi itu sama saja dengan memasak nasi goreng bagi seseorang yang tak pernah memasak yaitu dengan bantuan instan resep makanan yang didapat dengan berkonsultasi dengan robot AI semacam ChatGPT. Tak peduli bagaimana nanti hasilnya, apa enak di mulut dan nyaman di perut, yang penting nasi gorengnya jadi! Tak dianggapnya penting fakta bahwa sebuah keahlian itu bisa dikuasai sebagai keahlian karena dilatih terus menerus bertahun-tahun di mana keahlian itu sendiri akhirnya akan menjadi sebuah style yang membedakannya dari beragam style yang ada. Latihan terus menerus bertahun-tahun itu membutuhkan pengorbanan dan kesabaran yang dalam bahasa preman sastra disebut berdarah-darah. Bukankah sebuah robot AI seperti ChatGPT pun harus dilatih terus menerus bertahun-tahun biar bisa memproduksi sesuatu yang menarik?

Pasti tak akan masuk dalam akal seorang Martin Suryajaya testimoni para penyair top markotop dunia ini tentang proses kreatif menulis puisi berikut ini:

Bagi penyair Romantik Inggris William Wordsworth: Puisi adalah luapan spontan dari perasaan yang kuat: berasal dari emosi yang diingat kembali dalam ketenangan. (Lyrical Ballads with Other Poems (1800))

Bagi penyair Modernis Inggris-Amerika TS Eliot: Urusan penyair bukanlah menemukan emosi baru, tapi menggunakan emosi biasa dan, dalam mengolahnya menjadi puisi, mengungkapkan perasaan yang sama sekali tidak ada dalam emosi yang sebenarnya. Dan emosi yang belum pernah dia alami akan berguna baginya begitu juga dengan emosi yang akrab dengannya. (Tradition and the Individual Talent (1919))

Bagi penyair besar Indonesia Chairil Anwar sendiri: “Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentukkannya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideeel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam bayangannya (verbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri.

Jalan, ketumbuhan, proses dari penciptaan kembali ini, datangnya, keluarnya, tersemburnya dari konsepsi si penyair, penglihatannya (visie), cita-citanya (ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannya. Semua cabang-cabang dan ranting-ranting dari bahan pokok yang besar ini haruslah sesuatu yang dialami, dijalani (dalam jiwa, cita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penyair, menjadi sebagian dari dia, suka dan dukanya sendiri kepunyaannya, kepunyaan rohaninya sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga terjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte). (Pidato Radio 1946 di Derai-derai Cemara: Puisi dan Prosa Chairil Anwar (2000))

Nampak betapa “feelings” alias baper merupakan sebuah hal penting dalam menulis puisi. Baper adalah ideologi artistik penyair besar dunia! Walaupun Eliot menyatakan bahwa Puisi bukanlah pelepasan emosi, melainkan pelarian dari emosi; bukan ekspresi kepribadian, tapi pelarian dari kepribadian dan sering dikutip untuk menunjukkan seolah Eliot merupakan penyair “anti bapertapi para pengutipnya itu lupa, dan akibatnya kena jadi korban permainan bahasa Eliot yang terkenal itu, bahwa Eliot juga menulis begini sebagai lanjutan kalimatnya yang sering dikutip tadi: Tapi, tentu saja, hanya mereka yang memiliki kepribadian dan emosi yang paham apa artinya ingin lepas dari hal-hal ini seperti bisa dibaca dalam kutipan dari eseinya yang terkenalTradition and the Individual Talent ini:

“Poetry is not a turning loose of emotion, but an escape from emotion; it is not the expression of personality but an escape from personality. But, of course, only those who have personality and emotion know what it means to want to escape from these.”

Bagi para calon penyair, mereka yang ingin menulis puisi yang “menjadi”, puisi yang benar-benar puisi, tentu testimoni dari para penyair sejati yang sudah diakui sejarah sastra kepenyairannya-tentang apa itu puisi dan bagaimana menuliskannya, proses kreatif macam apa yang harus dilalui dalam menulis puisi, jauh lebih meyakinkan, lebih masuk di akal untuk diikuti ketimbang eksperimen ahistoris dari seseorang yang sama sekali tidak dikenal sebagai penyair bahkan di dunia sastra nasionalnya sendiri.

Semangat Martin Suryajaya dalam usahanya menghancurkan Sastra, minimal dalam usahanya mengoreksi Sastra biar sesuai dengan selera kepribadiannya memang layak untuk diacungin jempol. Sayangnya, usaha heroiknya itu terutama yang paling mutakhir dengan penerbitan bukunya Penyair Sebagai Mesin ini hanyalah sebuah kesia-siaan yang epik.

Membacapuisi-puisihasil eksperimen kolase-intertekstualnya atas puisi-puisi para penyair Indonesia di dalam bukunya ini, saya jadi teringat atas reaksi dan komentar pemusik Australia Nick Cave dari grup rock band Nick Cave and the Bad Seeds terhadap hasil dari sebuah eksperimentasi menulis lagu oleh ChatGPT yang diklaim dilakukan denganwritten in the style of Nick Cave”:

“Lagu ini sampah” kata Nick Cave. “Dengan segala cinta dan rasa hormat di dunia, lagu ini adalah sampah, sebuah penghinaan konyol tentang bagaimana rasanya menjadi manusia, dan, ya, saya tidak begitu menyukainya.”

Alasan Nick Cave menolak lagu hasil bikinan robot ChatGPT yang diklaim ditulisdalam gaya Nick Cave” itu (juga merupakan alasan saya untuk menolak menganggap hasil eksperimen kolase-intertekstual Martin atas puisi-puisi para penyair Indonesia di dalam bukunya ini sebagaipuisi”) di samping mutunya yang tidak menawarkan ide baru dan segar karena merupakanduplikasi yang menjijikkan adalah bahwa:

Lagu lahir dari penderitaan, maksudnya berdasarkan pada perjuangan internal kompleks manusia dalam proses penciptaannya dan, sejauh yang saya tahu, algoritma tidak merasakan. Data tidak menderita.

ChatGPT tidak memiliki jiwa, tidak pernah ke mana pun, tidak pernah mengalami apa pun, tidak memiliki keberanian untuk melampaui keterbatasannya, dan karenanya tidak memiliki kapasitas untuk berbagi pengalaman transenden, karena tidak memiliki keterbatasan untuk ditransendenkan.

Menulis lagu yang bagus bukanlah mimikri, atau replikasi, atau pastiche, justru sebaliknya. Merupakan laku bunuh diri yang menghancurkan semua upaya yang telah dilakukan seseorang di masa lalu. Laku penuh bahaya dan menakutkan yang melontarkan sang seniman melampaui batas-batas dari apa yang ia kenal sebagai dirinya.

“Ini adalah bagian dari perjuangan kreatif otentik yang mendahului penemuan sebuah lirik unik yang benar-benar bernilai; konfrontasi menegangkan dengan kerentanan seseorang, dengan keterbatasan seseorang, berhadapan dengan perasaan akan penemuan mengejutkan yang tiba-tiba; laku artistik yang menggugah hati pendengarnya, di mana pendengar mengenali dalam jiwa lagu tersebut darah mereka sendiri, perjuangan mereka sendiri, penderitaan mereka sendiri.”

Sebagai penutup dari esei ini saya ingin mengungkapkan rasa heran saya atas sebuah ironi besar. Martin Suryajaya begitu bersemangat memfetishkan digital humanities dengan pembacaan jauhnya itu sampai menerbitkan sebuah buku tentangnya yang ketebalannya menyaingi tiap novel dalam Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer. Kenapa dia masih menganggap penting untuk menerbitkan bukunya tersebut dalam bentuk buku cetak konvensional ketimbang dalam versi digital di dunia digital seperti website seperti yang jadi ideologi digital humanities? Apa Martin sendiri masih ragu-ragu dengan the pleasure of the text dari membaca teks digital dibanding teks kertas?! Apa ini merupakan contoh lain dari schizofrenia Martin Suryajaya yang terlanjur menganggap dirinya mesin yang menganggap dirinya penyair itu?

 

*penulis adalah sastrawan, menetap di Yogyakarta.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!