EDUKASI: (Kiri) Kadinsos Bali, Dr. Drh. Luh Ayu Aryani, M.P., didampingi tim Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Dinsos Bali, saat diwawancarai awak media, Senin, 4 Februari 2025. (Sumber: Gung Kris)
DENPASAR, Balipolitika.com- Menyoroti tren “Sing Beling Sing Nganten” yang berkembang menjadi sebuah budaya sebagian besar generasi muda di Bali, Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kadisos P3A) Provinsi Bali, Dr. Drh. Luh Ayu Aryani, M.P., mengingatkan para remaja akan bahaya dari penyebaran virus HIV/AIDS.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Aryani kepada wartawan Balipolitika.com saat disinggung terkait tingginya angka temuan kasus HIV/AIDS dikalangan remaja Bali, korelasinya terhadap dampak dari tren “Sing Beling Sing Nganten” di kalangan generasi muda Bali, ia juga menegaskan tren itu sangat bertentangan dengan aspek-aspek kehidupan lain seperti norma, nilai dan kepercayaan masyarakat Bali.
“Selain tidak bagus dari sisi norma kesusilaan itukan tidak bagus, tren (Sing Beling Sing Nganten, red) itu kan juga sangat mendeskriditkan kaum perempuan. Sekedar mengingatkan untuk bajang-bajang (perempuan generasi muda Bali, red) agar selalu menjaga kehormatan kalian, sedangkan untuk nak teruna-teruna (laki-laki generasi muda Bali, red) ini agar waspada. Virus HIV itu tidak mengenal umur dan waktu,” sentil Kadisos Bali, Senin, 24 Februari 2025.
Selanjutnya, Kadisos Bali juga turut memberikan edukasinya terkait bahayanya fenomena hamil di luar nikah terhadap resiko stunting, sangat merugikan bagi kaum perempuan yang dijadikan mesin percobaan untuk menghasilkan keturunan, tren itu juga sangat identik dengan seks bebas merupakan budaya orang barat.
“Penting bagi orang tua untuk kembali mengingatkan anak-anaknya yang sudah remaja, agar tren itu tidak menjadi budaya di kalangan mereka. Selain sangat rentan akan penyebaran HIV, tren itu juga sangat merugikan kaum perempuan, sehingga perlu adanya normalisasi dan edukasi yang dimulai dari lingkungan keluarga terkait bahayanya dari pergaulan seks bebas,” imbuhnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali mencatat, berdasarkan data komulatif penemuan kasus baru HIV/AIDS di Provinsi Bali, per 25 November 2024, angka tertinggi didominasi oleh kalangan remaja rentang umur 20-29 tahun, dengan temuan sebanyak 11401 kasus, 6071 diantaranya merupakan para remaja khususnya di Kota Denpasar.
Berdasarkan faktor resiko, prilaku heteroseksual atau orientasi seksual yang mengacu pada ketertarikan terhadap lawan jenis (laki-laki dan perempuan), menjadi penyebab utama tingginya penularan HIV/AIDS di Bali dengan total temuan sebanyak 22875 kasus, 93,8% merupakan perempuan dan 61,2% sisanya laki-laki.
Saat disinggung terkait fenomena “Sing Beling Sing Nganten”, Komisioner KPA Provinsi Bali, Gus Yuni Ambara mengatakan hal tersebut dapat menjadi salah satu pemicunya, mengingat hubungan seksual tanpa menggunakan pengaman (kondom) dengan bergonta-ganti pasangan, merupakan penyebab utama menyebarnya virus HIV/AIDS dan istilah tersebut sangat dekat korelasinya dengan budaya prilaku seks bebas.
“Sebisa mungkin (Sing Beling Sing Nganten, red) jangan dijadikan budaya. Tetapi kami sangat memahami bahwa diusia remaja hubungan seksual lawan jenis bisa kapan saja terjadi. Untuk itu, kami mengingatkan anak-anak muda di Bali ini harus menghindari prilaku bergonta-ganti pasangan, jangan lupa gunakan kondom jika memang hasrat kalian sudah tak lagi terbendung,” ungkap Gus Yuni, dikutip Sabtu, 22 Februari 2025.
Senada dengan KPA Bali, Ketua Yakeba, I Made Adi Mantara menambahkan, pihaknya tidak memungkiri bahwa fenomena tersebut memang terjadi di Bali, sehingga tanpa disadari Bali mengalami lonjakan temuan kasus HIV/AIDS, khususnya usia-usia remaja yang mengalami peningkatan sangat signifikan.
Sebagai upaya untuk menekan tingginya angka temuan kasus tersebut, Adi berharap upaya edukasi kali ini yang ditujukan kepada muda-mudi di Bali bisa memberikan pandangan, memberikan pemahaman bagi mereka bahwa sesungguhnya prilaku tersebut sangat rawan akan penularan virus berbahaya, terlebih juga memungkinkan resiko lain seperti stunting. (bp/GK)