POLEMIK: (Kiri) Praktisi Hukum, Dr. Togar Situmorang, SH.,MH.,MAP.,C.Med.,CLA. (Kanan) Anggota DPD RI Perwakilan Bali, Niluh Putu Ary Pertami Djelantik. (Ilustrasi: Gung Kris)
DENPASAR, Balipolitika.com- Semakin menarik perhatian warganet Bali, perseteruan antara, Praktisi Hukum, Dr. Togar Situmorang (Bang Togar) dengan Anggota DPD RI Perwakilan Bali, Niluh Putu Ary Pertami Djelantik (Niluh Djelantik), pasca mencuatnya kasus lebian munyi yang berawal dari pro-kontra atau polemik terkait kebijakan untuk mewajibkan driver online (Ojol) ber-KTP Bali, Bang Togar mengingatkan Niluh Djelantik bahwa adanya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 juga telah menjamin hak sebagian besar warga Bali yang mencari nafkah di Pulau Sumatera, dikutip Rabu, 12 Maret 2025.
Togar sangat menyayangkan adanya sikap dari Niluh Djelantik yang menyerang dirinya secara pribadi melalui unggahan di akun Sosial Media (Sosmed) miliknya, melakukan pembullyan terhadap kontra opini terkait ojol KTP Bali yang disampaikan Togar di sebuah media online, dianggap tidak mencerminkan etika sebagai seorang Senator RI yang seharusnya menyerap aspirasi di seluruh lapisan masyarakat, menurut Togar sikap Niluh tersebut berpotensi memicu kesenjangan sosial di masyarakat.
“Niat saya tidak menyinggung masyarakat Bali, tetapi mengkritisi kebijakan (Ojol wajib KTP Bali, red) yang menurut saya bertentangan dengan konstitusi. Kan bisa, kalau ojol ini tidak harus KTP Bali tapi kendaraannya saja wajib platnya DK? Tapi mereka harus melengkapi SKTT (Surat Keterangan Tempat Tinggal, red) dari kelurahan setempat, beres kok, tidak melanggar Undang-Undang, semua bisa cari nafkah di Bali, di Sumatra, selama itu di Indonesia, negara menjamin hak-hak itu,” ungkapnya kepada wartawan Balipolitika.com, Selasa, 11 Maret 2025.
Sebagai pengamat kebijakan publik, Togar mengaku bahwa opini yang dia sampaikan ke media memiliki dasar yang jelas, kritik yang bersifat membangun agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali tidak salah dalam mengambil keputusan yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat, bukan berniat untuk memprovokasi masyarakat Bali karena sudut pandang yang berbeda terkait kebijakan ojol KTP Bali.
“Opini saya itu jelas kok di media, baca deh Pasal 27 UUD 1945, saya mengkritisi kebijakannya tidak ada niat lain. Tapi, apa yang diposting ulang (Niluh Djelantik, red) itu yang masalah bagi saya pribadi, dari situ saya melapor ke BK (Badan Kehormatan, red),” lanjutnya.
Mengulas sedikit pernyataan Togar di atas, untuk diketahui masyarakat, Pasal 27 UUD 1945 mengatur hak dan kewajiban warga negara Indonesia, termasuk hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta kewajiban bela negara.
Pasal 27 ayat (2) berbunyi, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Negara diwajibkan memberi perlindungan warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan.
Hal tersebut menjadi dasar Togar mengkritisi kebijakan yang mewajibkan Ojol ber-KTP Bali, di sisi lain banyak hal yang bisa diterapkan pemerintah daerah selain kebijakan tersebut, termasuk kebijakan mewajibkan Ojol menggunakan Plat DK sehingga siapapun mereka tetap bisa bekerja, tetapi pajak kendaraannya masuk ke kas wilayah tempat mereka bekerja.
Selanjutnya untuk mengatasi permasalah adminstrasi ataupun kekhawatiran lainnya, tindak kriminal yang melibatkan Ojol di Bali, pemerintah daerah bisa juga menerapkan kebijakan yang mewajibkan driver untuk membekali diri dengan Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT) yang diperoleh dari kelurahan dengan menunjukkan surat keterangan Banjar/Desa Adat tempat tinggalnya selama di Bali.
Togar menilai banyak opsi yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk mengatasi polemik yang terjadi, hal tersebut di atas menjadi salah satunya yang ia yakini tidak bertentangan dengan konstitusi ataupun UUD 1945.
Sementara, saat disinggung terkait adanya somasi dari Daniar, Penasihat Hukum dari Niluh Djelantik, kepada dirinya untuk meminta maaf kepada seluruh masyarakat Bali, sekali lagi Togar menegaskan bahwa opininya tersebut tidak ditunjukan untuk menyinggung masyarakat Bali, tetapi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah daerah.
Menurut Togar, justru sebaliknya narasi ataupun diksi yang diungkapkan Niluh terhadap kontra opini di pemberitaan melalui unggahannya di sosmed, hal itu yang menjadi memicu publik Bali menjadi salah paham.
“Saya disuruh minta maaf, salah saya di mana? Saya mengkritisi kebijakan lewat berita. Yang membuat publik berasumsi negatif siapa di sosial media? Dia (Niluh Djelantik, red) itu pejabat publik, gunakanlah bahasa yang elok dan jangan memprovokasi. Gini, kalau saya disuruh minta maaf salah saya di mana? Ayo mari duduk bareng, biar kita ini saling ngobrol, ga ada yang salah paham,” sentil Togar. (bp/GK)