Ilustrasi: Ignatius Darmawan
“Bagaimana, Emak?”
Pertanyaan itu terlontar di hati Hardi. Hanya di dalam hatinya. Sebab ia tak sanggup menyuarakan lewat bibirnya.
Kalau berdasarkan keinginannya, pertanyaan itu harusnya menyusul lontaran beberapa pertanyaan lain, yaitu, “Tidak salahkah seandainya saya mundur saja biarpun sudah menjadi caleg jadi, Emak? Apa pendapat Emak? Kira-kira bisakah Aminah menerima rencana saya ini?”
Baru saja Hardi berhasil lolos sebagai anggota legislatif DPRD kabupaten dengan suara hampir tiga ribu. Beberapa minggu ia senang dan bangga, yang ia yakini seperti juga emak dan isterinya Aminah. Bayangkan, seorang yang sebelumnya hanya karyawan rendahan swasta bisa menjelma politisi di dewan terhormat!
Tapi dua minggu belakangan rasa senang dan bangganya itu menurun, bahkan berubah menjadi kecamuk keraguan, kecemasan dan ketidakpastian keputusan.
Itu berawal dari mimpinya yang menakutkan.
Hardi bermimpi berada di neraka. Malaikat berwajah bengis menatap ia yang berdiri di tebing sungai yang alirannya berapi, menyala-nyala.
“Tukang suap, sebentar lagi giliranmu untuk masuk ke dalam sungai ini! Sebentar lagi kau terima azab atas dosamu!”
Seruan malaikat itu bergema, menggetarkan hati dan sekujur tubuh Hardi. Untung ia terbangun hingga tak sampai merasakan gelegak panas aliran sungai itu.
Tapi ia tak bisa tidur lagi. Sampai pagi kepala dan hatinya dicekoki bayangan pada mimpinya itu.
Ia berusaha untuk menepisnya, meyakin-yakinkan diri bahwa itu hanya bunga tidur, yang tidak seharusnya ia gubris.
“Tapi kenapa bunga tidurku harus serupa itu? Bukan yang lain?” Ia pula yang ujungnya menyanggah diri sendiri. “Kenapa mimpiku itu bertepatan sekali dengan saat usai pemilu, dimana aku juga benar telah melakukan suap? Apakah tepat kalau aku tak menganggap ini peringatan dari Tuhan? Apakah bisa aku mengabaikannya?”
Tak banyak suap yang telah diberikan oleh Hardi pada orang-orang. Totalnya hanya belasan juta. Itu pun pada orang-orang tertentu yang ia pikir layak mendapat bantuan. Seperti para janda, warga disabilitas yang tak punya pekerjaan dan buruh-buruh miskin. Per orangnya pun cuma lima puluh ribu rupiah.
“Tapi sekecil apapun, namanya tetap suap. Status caleg jadi kuperoleh karena aku membeli suara!”
Hardi tak lagi tenang. Sungguh ia takut akan mendapat azab Tuhan! Tiba-tiba yang menyeruak dan semakin mengeras dalam hatinya adalah keputusan untuk mundur saja. Ia sudah rela digantikan oleh caleg pesaingnya.
Tapi masalahnya ia tak bisa pula semudah itu membuat keputusan. Ada emaknya, ada Aminah, ada para konstituen, para pemilihnya, dan partai pengusungnya yang harus ia pertimbangkan kemungkinan reaksinya.
Sejak hasil final pilcaleg diumumkan dan Hardi positif akan dilantik, emaknya terlihat semakin sering sholat. Hardi yakin itulah cara yang ditempuh oleh perempuan tua itu untuk menyatakan rasa syukurnya pada Tuhan.
Aminah juga. Sebelumnya ia sholat sekadarnya. Tapi begitu Hardi menjadi pemenang, ia begitu getol menghadap kiblat, bahkan sambil menangis.
“Duh, mereka sebahagia itu, sampai menangis,” keluh Hardi. “Padahal saat aku hendak mendaftar sebagai caleg, mereka berdua tidak setuju. Tanpa alasan jelas. Lalu ketika aku mulai bergerak mencari suara, mereka pun mendukung dengan setengah hati. Sekarang mereka yang tak henti bersyukur pada Tuhan.”
Hardi sayang pada emak dan isterinya dan tak ingin membuat mereka kecewa dengan mendengar keinginannya mundur.
Lalu konstituen, para pemilihnya, juga pasti akan merasakan hal yang sama. Bahkan mungkin mereka protes, atau jengkel, atau marah, atau mencap Hardi sebagai manusia yang tak bisa dipegang kata-katanya.
Di samping telah memberi uang, caleg itu sudah pula menjanjikan para pemilihnya untuk dibantu dalam segala hal ketika dirinya sudah duduk di kursi dewan. Hardi sudah mendengar bahwa ada beberapa di antara mereka yang sedang merancang-rancang kegiatan usaha, yang kelak akan mengajukan proposal melalui Hardi, guna mendapat jatah dari dana pokir.
Lelaki itu tersudut.
“Jangan main-main, Pak Hardi,” kata Pak Rosyid dengan tenang.
Pria gendut itu masih tak percaya dengan apa yang dikemukakan oleh salah satu calegnya itu, yang telah sukses sebagai peraih suara terbanyak dan akan segera menjadi perpanjangan tangan partai yang dipimpinnya di DPRD kabupaten.
“Saya tidak main-main, Pak Rosyid. Saya sudah berpikir matang. Saya harus mundur…”
“Tapi apa alasannya, Pak Hardi?!” suara ketua dewan pengurus cabang itu mulai meninggi.
Hardi akan kelabakan. Tidak, tidak mungkin ia akan menjelaskan bahwa ia telah bermimpi akan ditarik tangannya oleh malaikat ke dalam sungai berapi. Malaikat yang dari ucapannya kemungkinan besar melakukan tugas dari Tuhan yang akan mengazab Hardi akibat telah melakukan praktik suap dalam pemilu.
Pak Rosyid pasti akan tertawa terpingkal-pingkal. Ia yang telah malang melintang sekian lama dalam dunia politik pasti menganggap pengakuan Hardi adalah sebentuk kelucuan. Politik, usaha merebut kekuasaan, menurutnya terpisah dari keyakinan spiritual. Apalagi itu baru mimpi, yang bisa saja bunga tidur.
“Kita telah masuk ke dalam politik, Pak Hardi. Maka kita harus realistis!”
Itu yang sering pula diucapkan Pak Rosyid, yang akan menambah alasan pria itu melecehkan pikiran, perkataan, permintaan dan alasan Hardi. Maka Hardi tak berani menemuinya untuk menyampaikan kehendaknya mundur. Belum lagi jika Pak Rosyid mempermasalahkan akan gagalnya rencana-rencana dewan pengurus cabang partai yang telah dirancang sejak Hardi dinyatakan lolos ke dewan serta bakal menjadi wakil partai. Atau minimal sang ketua itu akan mempertanyakan pertanggungjawaban Hardi atas komitmen yang telah ia buat pada partai yang sudah bersedia mengusungnya. Maka pembicaraan barusan terus saja berlangsung dalam angan-angan Hardi. Ia hanya bisa membayangkannya.
Hardi pusing. Emaknya yang sejam sudah duduk di ruang tamu dan hendak ia ajak bicara, telah bangkit masuk ke kamar.
***
“Separah itukah dosa suap, Ya Allah, hingga tak harus menunggu lama Kau peringatkan hamba-Mu ini?” jerit batin Hardi.
Wajahnya yang tertunduk dalam menyembunyikan air mata dari jama’ah yang keluar masuk masjid.
Ia membiarkan dirinya cengeng, sebab keyakinannya menyatakan bahwa tak apa-apa seorang hamba sentimental di depan Tuhannya. Justeru itu bisa menjadi salah satu cara menunjukkan pada Sang Tuhan bahwa si hamba sungguh-sungguh memiliki sebuah pengharapan yang ingin segera dikabulkan.
Tiga malam sudah Hardi datang itikaf untuk membawa harapan agar segera dikabulkan, yaitu jalan keluar, atau petunjuk atas persoalan yang sedang ia hadapi.
Mungkin jalan keluar, atau petunjuk itu bisa diberikan lewat mimpi pula. Misalnya mimpi ia berada di sebuah taman bunga dan malaikat berwajah ramah mendatanginya, lalu berseru, “Tuhan tahu bahwa gajimu sebagai karyawan rendahan sangat kecil. Kau butuh penghasilan lebih besar agar bisa mensejahterakan keluarga. Dan menjadi anggota legislatif adalah salah satu pilihan tepat. Kau berusaha untuk menang dalam pileg, bahkan terpaksa membagi-bagi uang sebagai sogokan agar warga memilihmu. Tuhan memahami itu. Kau tidak salah!”
“Astagfirullah!” seru Hardi tak sadar. “Ampuni aku, Ya Allah! Ampuni aku yang membayangkan Kau memahami kesalahanku. Mana mungkin Kau membiarkan perbuatan dosa! Mana mungkin Kau benarkan praktik suap!”
Para jama’ah memandangi lelaki yang terus mengucapkan istigfar itu.
Ketika Hardi mengangkat muka, tatapannya membentur wajah-wajah yang heran dan penasaran.
Lekas Hardi mengusap air matanya, lalu bangkit dan keluar.
Ia nyalakan mesin motornya dan menjalankannya sedikit kencang meninggalkan halaman masjid.
Karena kencang ia tak bisa mengendalikan lajunya di gerbang yang langsung berbatasan dengan jalan raya. Roda depannya dengan cepat masuk ke badan jalan. Sebuah mini bus datang pada saat bersamaan.
“Ya Allah!” jerit dua wanita yang berada di dekat lokasi, yang menyaksikan mini bus itu menghantam roda motor Hardi, menyaksikan si pengendaranya terpental dan jatuh dengan posisi kakinya lebih dahulu menumbuk aspal.
Setengah jam kemudian Hardi telah berada di ambulan yang datang agak telat.
***
Di dipan ruang inap rumah sakit kabupaten, Hardi terbaring. Masa kritisnya telah lewat. Tapi kedua kakinya patah. Dokter mengatakan ia akan lumpuh permanen.
Hardi tersenyum menatapi plafon.
Barusan ia tertidur dan bermimpi berada di depan surga. Malaikat terkekeh melihatnya.
Terjaga, ia yakin Tuhan telah memberinya jalan keluar. Kini ia benar-benar tak akan lagi bisa menjadi anggota anggota legislatif setelah Sang Khalik membuatnya cacat.
Ia tak tahu kemana emak dan Aminah.
Keduanya sedang berada di musollah. Sedang sujud syukur setelah doa mereka terkabul. Doa yang selalu mereka panjatkan usai sholat, sejak Hardi mendaftar, yang semakin sering –dengan sambil menangis- ketika Hardi dinyatakan menang. Doa agar Tuhan membalikkan keadaan, dengan cara apa pun, asal Hardi tak usah duduk di kursi dewan, sebab anaknya itu, suaminya itu, telah berjuang dan sukses dengan cara yang salah.
BIODATA
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Solo Pos, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.
Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.