Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & Kriminal

Ada Udang di Balik OTT Bendesa Adat Berawa?

GPS Tanya Posisi KR dalam Pasal 12 E UU Tipikor

KRITISI: Visual editing Bali Politika, potongan foto dari akun FB pribadi Gede Pasek Suardika mengkritisi berita soal OTT Bendesa Adat Berawa, Minggu, 5 Mei 2024. (Sumber: bp/gk)

 

BADUNG, Balipolitika.com- Ramainya pemberitaan di media terkait penangkapan Bendesa Adat Berawa, Ketut Riana alias KR, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) digelar Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, salah satu prakitisi hukum asal Bali, Gede Pasek Suardika (GPS) dalam unggahan di akun Facebook pribadinya curiga ‘ada udang dibalik batu’ terkait kasus ini, ia menduga adanya kepentingan politik dalam peristiwa penangkapan beberapa waktu lalu.

Dalam unggahannya, pria yang akrab disapa GPS tersebut juga mempertanyakan kajian hukum yang menjadi dasar menjerat KR, dengan posisinya sebagai Bendesa Adat Berawa diduga telah melakukan pemerasan kepada investor berinisial AN, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

“Cukup mengagetkan dan makin memudarkan kewibawaan Bendesa Adat di Bali dengan adanya OTT ini. Belum jelas apakah kasus ini masuk kategori Tipikor atau Pidana Umum (Pidum, red). Namun sepintas kasusnya pemerasan. Jujur saya penasaran, kasus ini seperti apa kok bisa masuk ke ranah Pidana Khusus bukan Pidana Umum?,” ungkap GPS, dikutip pada Minggu, 5 Mei 2024.

Ia berasumsi, jika OTT dikaitkan dengan Tipikor maka secara tidak langsung jabatan Bendesa Adat telah bergeser menjadi jabatan publik pemerintahan, namun jika sebaliknya maka sebenarnya Kejaksaan tidak bisa melakukan OTT tersebut, karena ranahnya bukan Tipidsus tetapi delik pidana umum.

“Benang merahnya dimana ya? Padahal selama ini Bendesa Adat bukanlah jabatan publik pemerintahan. Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan pidana umum tetapi hanya penuntutan saja, soal terbukti atau tidak pemerasan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12 E UU Tipikor atau Pidana Umum masih menjadi hal menarik secara kajian hukumnya,” imbuhnya.

GPS menegaskan, kasus ini akan menjadi perhatiannnya untuk menentukan kemana arah Desa Adat ke depannya, melihat fakta terjadi pada kasus ini Bendesa Adat masuk dalam ranah Pidana Khusus bukan Pidana Umum, menurutnya kedudukan Desa Adat sangatlah kuat dan tidak mudah diintervensi oleh hukum nasional.

“Tentu nanti proses hukum lanjutan dan persidangan yang bisa membuka bagaimana sebenarnya posisi Bendesa Adat dalam konstruksi hukum pidana di Indonesia saat ini,” tutupnya.

Diberitakan sebelumnya, KR resmi menjadi tersangka, KR terjerat OTT Kejati Bali atas dugaan pelanggaran Pasal 12 huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, terkait pemerasan terhadap AN.

Saat ditangkap, KR baru saja menerima Rp 100 juta hasil memeras AN, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Bali, Putu Eka Sabana mengatakan, sejauh ini KR menjadi tersangka tunggal dalam kasus pemerasan investasi lahan di Desa Adat Berawa, Badung.

Dikutip dari laman resmi KPK, Pasal yang dimaksud di atas mengatur tentang Tipikor terkait dengan pemerasan dan Pungli alias Pungutan Liar, dikelompokkan ke dalam Tindak Pidana Khusus (korupsi) dan tindak Pidana Umum (pemerasan).

Riset Hutur Pandiangan tahun 2020 menyatakan, Pungli kebanyakan dilakukan oleh aparat dan digolongkan sebagai korupsi, kolusi, dan nepotisme, sedangkan riset lain membatasi Pungli sebagai kejahatan jabatan.

Pasal 12 huruf e tersebut berbunyi, “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,”

Rumusan dari pasal ini yaitu menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut pasal ini bila memenuhi unsur-unsur:

• Pegawai negeri atau penyelenggara negara

• Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

• Secara melawan hukum

• Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya

• Menyalahgunakan kekuasaan

Ancaman hukumannya jelas, penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar. (bp/gk)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!