DULU ketika Ibu masih hidup, dia sangat menyukai bunga lily. Mungkin dengan alasan itulah aku diberi nama Lily. Konon, bunga lily menjadi perlambang keindahan dan keanggunan. Bunga yang khas. Ada banyak lily yang ibu tanam di pekarangan rumah yang tidak luas milik kami. Sebelum Ayah pergi, pekarangan rumah itu selalu penuh dengan bunga lily. Ada yang berwarna putih, kuning, merah, oranye, ungu, dan merah muda. Semua dirawat oleh Ibu dengan baik dan penuh kasih sayang.
Pekarangan rumah kami sekarang gersang, tidak ada yang mengurus. Ya, Ibu meninggal dan Ayah pergi adalah definisi yang sama. Bedanya, yang satu bukan keinginan sendiri, tetapi yang lain didasari oleh keinginannya sendiri. Baik terpaksa maupun tidak. Tapi bagiku, tidak ada bedanya. Keduanya menyebabkan aku hidup sendiri, sebatang kara.
“Lily sayang, pijat bagian punggung agak kerasan dikit ya?” ujar laki-laki berkepala botak di hadapanku. Dia sepertinya orang Timur. Aku tidak peduli sama sekali dari mana dia berasal. Asalkan dia membayar dan memberi uang tip yang besar aku turuti saja kemauannya. “Lily, umurmu berapa?” lagi-lagi kepala botak itu merayuku. “dua puluh satu tahun, Om” jawabku singkat. “Wah, masih sangat muda ya? Boleh dong Om jadi pacar Lily?” Aku tidak terkejut dengan pertanyaan nakal dari para tamu di tempat ini. Aku sama sekali tidak peduli. Aku akan jawab dengan senyum, sesekali aku akan bersikap manja dengan mencubit para tamu itu. Jelas, itu dianggap tanda bahwa aku juga suka. Dengan begitu, aku akan diberikan uang tip yang banyak.
Kalau ada tamu yang memberikan uang tip beberapa lembar ratusan ribu, aku akan terisak menangis, ingat sosok Ayah yang entah di mana. Aku tidak habis pikir, mengapa laki-laki sebaik itu pergi tanpa pamit, hilang tanpa jejak, lenyap entah di mana. Aku ingat sekali ketika pertama masuk sekolah dasar, Ayah mengantarku sampai pintu gerbang sekolah. Dia mengantarku walaupun aku tahu dia sangat sibuk sebagai pegawai rendahan di sebuah pabrik. Dia mengantarku sampai pintu gerbang kemudian dia memberikan beberapa lembar uang untukku. “Untuk jajan Lily. Awas, kamu sekolah yang rajin ya? Supaya bisa jadi insinyur.” Aku hanya akan tersenyum sambil memeluk tubuh Ayah. Aku bisa merasakan Ayah meneteskan air mata. Aku tidak tahu mengapa Ayah menangis. Setelah itu, aku cium tangan Ayah dan tidak lupa Ayah mengecup keningku. “Lily sekolah dulu ya, Ayah. Dadah.”
“Lho, kok malah bengong. Kamu kenapa Lily?” Om Botak mengagetkanku.
“Eh, tidak apa, Om. Terima kasih.”
“Pijatan kamu enak, nanti Om datang lagi ya?”
“Lily, tunggu ya Om,” jawabku sekenanya.
Sejurus kemudian, Om Botak mengecup keningku dan sedikit nakal mencubit pipiku. “Om akan datang lagi dengan membawa banyak hadiah, khusus untuk Lily.”
***
Selesai bekerja Aku akan kembali ke kamar kosku yang sempit. Aku tinggal di kamar kos yang jauh dari kampungku. Ya, di Kota D kini aku tinggal. Sendiri. Tidak ada yang aku kenal di sini. Sudah 1 tahun aku kerja di panti pijat “Boenga D”. Tidak pernah terlintas dalam benakku akan bekerja sebagai seorang terapis di panti pijat. Tidak pernah. Ayahku selalu menyanjungku sebagai calon insinyur. Aku bangga dengan impian Ayah. Walaupun ketika itu aku tidak tahu apa itu insinyur. Ah, aku pun tidak peduli. Aku hanya sayang Ayah sambil berpikir dan berjuang untuk mewujudkan impiannya.
Panti pijat “Boenga D” memang terkenal di kota ini. Banyak orang besar, pejabat, artis, orang kaya, bahkan para turis datang ke tempat ini. Tidak hanya sekadar pijat, tempat ini juga menawarkan jasa lebih. Orang bilang plus-plus-plus. Ya, aku tidak menampik, para terapis akan banyak mendapatkan uang tip dari tamu dengan servis plus tadi. Walaupun tentu saja, cibiran miring dan omongan orang akan terasa menusuk di dalam hati kami. Mereka tidak tahu sebab-musababnya kami bisa berada di tempat seperti ini. Ya, itu tidak lagi kami pikirkan, setidaknya olehku. Aku sudah tidak peduli orang mau bilang apa. Aku hanya butuh penghasilan untuk kehidupanku, kehidupan anak semata wayangku yang aku titipkan di saudaraku di kampung sana. Tidak lebih.
Setelah turun dari kendaraan umum, aku memasuki gang kecil yang sempit sekitar 200 meter. Kanan-kiri gang itu adalah kawasan kumuh yang padat. Kosanku adalah bangunan dua lantai dengan kamar-kamar kecil yang dibuat berhadapan dengan nomor di pintu. Kamar kosku berada di sebelah tangga naik di lantai 2 dengan nomor 21. Di sebelah kamar kosku, kamar 22 dihuni oleh ibu-ibu paruh baya yang tinggal sendiri. Dia seperti dibuang oleh anak-anaknya. Konon, ibu ini adalah orang kaya, anak-anaknya hanya peduli harta warisannya. Setelah ayah mereka meningal, ibu mereka diasingkan di kamar kos ini. Anak-anaknya hanya akan datang sebulan sekali untuk membawakan berbagai keperluan hidupnya dan tentu saja membayar sewa kamar kos itu. Aku sering tertegun. “Ini tidak adil.” pikirku. Mengapa ada orang tua yang meninggalkan anaknya karena alasan yang tidak dipahami oleh anak, tetapi ada pula anak yang tega membuang orang tuanya karena alasan harta. Ini benar-benar tidak adil bagiku.
“Mbak Lily baru pulang kerja?” tanya ibu-ibu itu.
“Iya, Bu,” jawabku singkat.
“Mbak Lily, tadi ada laki-laki datang ke sini mencari Mbak.”
“Siapa Bu?”
“Wah, saya tidak tahu. Dia hanya memberikan ini.”
“Terima kasih Bu,” sambil saya ambil bungkusan itu terus bergegas langsung masuk ke kamar.
Agak aneh, siapa juga orang yang memberikan hadiah padaku, seorang asing yang tinggal di kota besar ini sendirian. Ah, tidak penting juga aku harus memikirkan itu. Bungkusannya rapi, seperti kado yang berbentuk persegi dengan kertas berwarna merah muda dan hiasan bunga lily. Ada secarik kertas di atasnya yang bertuliskan “Untuk Lily, Semangat ya?” begitu tulisannya. Hah, apa pula menuliskan kata “semangat”. Bikin geli.
“Sebentar!” kata semangat. “Ah, akankah itu bungkusan dari Ayah?” Ayah selalu mengucapkan kata itu. “Semangat belajarnya, Lily!” “Ayo semangat, Lily!” dan ucapan itu masih terngiang di telingaku. “Oh, Ayah. Apakah itu engkau.”
Tergesa aku buka bungkusan itu, Kaget sekali ketika dibuka ada beberapa gepok uang dan foto Om Botak dengan tulisan. “Lily, minggu depan ikut Om ya?”. Sontak aku terkaget. Aku buang bungkusan itu jauh-jauh. Aku menangis sejadi-jadinya. Bayangan Ayah memudar hilang dan tenggelam dalam tangisanku yang panjang.
Keesokannya, aku pergi ke tempat kerja dengan rasa kesal dan marah. Aku akan tanya, siapa yang telah memberikan alamat kosku kepada Om Botak. Aku tahu memang selama ini Om Botak sudah menjadi langganan di panti pijat ini. Tapi bukan berarti dia bisa seenaknya. Ini sudah keterlaluan pikirku. Aku datangi manajer yang bertugas sekaligus pencari tamu itu.
“Kenapa Bapak memberikan alamat kosku kepada Om Botak!”, sambil kesal
“Kamu kesurupan apa Lily. Sebentar, Om Botak itu siapa? Alamat apa?” Dia kebingungan atas sikapku siang itu.
“Kemarin, ada yang datang ke kosanku dan memberikan hadiah sekaligus ucapan menjijikan.” Aku masih marah.
“Begini, Lily. Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Aku sendiri tidak pernah tahu alamat dan tempat tinggal kamu, kan?” “Kita bekerja di sini profesional. Bahkan nama asli orang-orang di sini pun aku tidak tahu. Apalagi alamat dan tempat tinggal kamu.” Panjang lebar orang itu menjelaskan. Aku tersadar memang semua orang di sini tidak ada yang tahu nama asli masing-masing. Kami menggunakan nama samaran. Ada yang dipanggil dengan nama Sisil padahal nama aslinya Munaroh; ada yang ingin dipanggil Keysha padahal aku intip KTP nya dia bernama Titin. Betul juga. Mungkin hanya aku yang menggunakan nama asli, Lily. Aku hanya ingin mengingat Ayah. Nama itu diberikan oleh Ayah. Aku harus tetap menggunakan nama itu. Sampai kapan pun. “Lalu, mengapa Om Botak tau tempat tinggalku ya?” batinku.
****
Semenjak kejadian hari itu, aku tidak banyak bicara. Aku masih kesal, marah, dan emosi pada semua orang. Aku kesal karena mengapa ada orang yang tahu tempat tinggalku, mengapa ada orang yang tahu tentang kata-kata yang biasa diucapkan Ayah. Orang-orang di panti pijat pun tidak ada yang berani menegurku. Semua diam. Mungkin mereka takut kalau Aku akan marah-marah seperti kepada manajer tempo hari. Setelah kejadian itu pun Om Botak pun hilang tidak ada kabar dan beritanya. Dia lenyap seperti asap. Dia yang biasanya datang ke panti pijat dua kali dalam seminggu, kini sudah 2 bulan tidak pernah datang lagi.
“Mbak Lily, tadi ada laki-laki yang datang menitipkan surat ini.” Ujar ibu-ibu tetangga kamar kosku
“Dari siapa, Bu?” tanyaku penasaran.
“Wah, Ibu juga tidak tahu. Coba saja buka.”
“Baik Bu, terima kasih.” Ucapku seraya membawa surat itu dari tangan ibu-ibu itu.
Masuk ke dalam kamar aku langsung buka surat itu dan membaca dengan terbata, “Lily, aku adalah ayahmu sekaligus ayah dari anak kamu.”
Bandung, 24 Desember 2024
BIODATA
HERI ISNAINI lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Pernah mengikuti acara “Temu Penyair Asia Tenggara 2018” di Padang Panjang, Sumatera Barat, mengikuti Festival Seni Multatuli 6-9 September 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Puisi-puisinya juga pernah dimuat pada Jurnal Aksara, Deakin University, Australia. Cerpennya pernah dimuat pada koran Radar Banyuwangi, Radar Kediri, dan Harian Rakyat Sultra. Kegiatan sehari-harinya adalah Dosen Sastra IKIP Siliwangi Cimahi.