Ilustrasi: Ni Putu Sunindrani
HARUSNYA Rabu pagi adalah hari tersibuk bagi Marni. Selain harus mengajar pada jam pertama di sekolah tempat ia mengais rejeki, ia juga harus menyiapkan segala keperluan untuk anaknya yang hendak berangkat sekolah; belum lagi si bungsu yang selalu minta susu. Rabu ini ada tambahan harus mengurusi suaminya yang baru datang kemarin sore. Biasanya meski bangun sejak dini hari, tetap saja pekerjaan rumah mengantre tiada henti. Namun, pagi ini Mar menggulung dirinya dengan selimut motif bunga berwarna merah.
***
“Kamu sakit?”
Mar menggeleng. Kedua tangannya tampak lebih merekatkan selimut ke tubuhnya. Paijo suami Marni mengangkat jidat. Tangan kanan Paijo menyugar rambutnya yang tampak belum tersisir rapi. Perlahan Paijo meninggalkan Marni yang tengah bergulung selimut di kasur. Kedua matanya terangkat hingga membuat guratan berjajar di jidatnya. Tak ada kopi di meja, piring kotor menggunung, bekas mainan anak di lantai berantakan, baju kotor menumpuk di mesin cuci. Mungkin kebanyakan bajunya yang dibawa dari tanah rantau kemarin. Sama sekali belum disentuh Marni. Kenapa istrinya berbeda, batin Paijo.
Paijo bolak balik antara ruang tengah, ruang makan, dan dapur. Paijo merasa jengah dengan keadaan yang tidak mengenakan hatinya. Akhirnya ia kembali ke kamar.
“Kamu engak masuk ngajar hari ini, Mar?’
“Udah izin, sama kepala sekolah.”
“Izin atas apa?”
“Ada halangan.”
Paijo semakin mengerutkan jidatnya. Bisa-bisanya seorang guru minta izin untuk hal yang tidak jelas. Kenyataanya hanya menggulung diri dengan selimut. Paijo berusaha mengusir pikiran negatif tentang istrinya. Ia kembali mengambil satu batang rokok dari kantong celananya. Rencananya rokok itu akan disulut di teras rumah sambil menunggu kebaikan Marni membuatkan secangkir kopi hitam.
“Ibu … mana sarapan?” ucap Tasya anak sulungnya.
Paijo bingung, tak ada sarapan untuk Tasya anak sulungnya yang akan segera berangkat sekolah. Dadanya kembang kempis menahan kesal. Paijo kembali ke kamar melihat tingkah Marni. Rokok belum disulutnya. Masih tampak diapit oleh jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Paijo duduk di ujung kasur.
“Kamu datang bulan?”
Marni kembali menggelengkan kepalanya.
“Terus kamu kenapa? Tasya belum ada sarapan.”
“Sesekali. Kamulah yang bikin sarapan anak.”
Paijo meninggalkan Marni. Langkah Paijo melewati si Pumpum anak bungsunya yang masih terlelap tidur. Jarum pendek mulai meninggalkan angka tujuh. Ia gegas menuju dapur. Telor mata sapi dibuat Paijo. Sekalian ia membuat kopi hitam sendiri. Gini amat ya, ngerjain pekerjaan rumah, batin Paijo.
“Pak, airnya mana?” tanya Tasya yang meminta air minum dari meja makan. Tangan Paijo mengepal. Tak mudah menjalani semuanya sendirian. Tumben istrinya tidak mau bergerak di pagi hari. Ia baru sadar anaknya belum disediakan air minum. Paijo beringsut mengambil sebuah gelas dan mengisi air minum dari dispenser. Tasya menggerutu, telor buatan bapaknya tak seenak buatan ibunya. Terdengar bunyi sendok beradu dengan piring. Paijo menatap anak gadisnya. Kemudian mengerutkan jidatnya. Pasti ada yang tidak beres. Perlahan Paijo mendekati Tasya. Lalu meggeser sebuah kursi tepat di samping anaknya.
“Ada yang salah?”
“Kenapa pinggir telornya agak gosong? Aku kan engak suka.”
“Maafin bapak. Bapak tidak biasa membuat telor mata sapi. Ibumu mungkin sedang tidak enak badan.”
Tasya tak menjawab, hanya bibirnya tampak maju ke depan beberapa senti memperlihatkan wajah kekesalan
“Antarkan aku ke sekolah.” Ucap anak kelas enam sekolah dasar itu.
Dengan langkah malas anak itu meninggalkan meja makan menuju ke teras. Paijo semakin bingung. Ia tidak biasa dengan semua pekerjaan itu. Yang ia tahu laporan setiap hari dari istrinya. Semuanya beres. Setengah berlari Paijo kembali ke kamar.
“Mar, Tasya dianterin siapa ke sekolah?”
“Suruh saja pak Ujang menjemput, kasih uang sepuluh ribu.”
“Nomor telepon pak Ujangnya, mana?”
“Mas masih nyimpen, ‘kan?”
Marni meneruskan tidurnya. Paijo kembali geleng-geleng kepala. Tangan kanannya menekan tombol-tombol di layar hape. Suara seseorang di ujung sana terdengar jelas. Lima menit lagi akan datang.
Sebuah becak terparkir di depan rumah. Wajah tua pak Ujang tampak tersenyum menyambut Tasya. Anak itu langsung duduk di bagian penumpang. Hanya jarak tiga ratus meter menuju sekolah Tasya. Pak Ujang sudah menjadi langganan di keluarga Marni sejak Tasya sekolah TK.
Paijo mengelus dada setelah melepas Tasya berangkat sekolah. Ternyata pagi hari bukan saat yang santai untuknya. Bayangan dari tanah rantau menikmati kopi hitam ditemani sigaret di pagi hari di teras rumah pupus sudah. Isi tempurungnya masih berputar-putar. Kenapa sikap istrinya tidak seperti biasanya. Kedua matanya tertuju pada tumpukan piring kotor, cucian yang menggunung di mesin cuci, belum lagi sampah rumah yang berantakan. Dengan langkah gontai, Paijo mengambil sabun cuci dan spon untuk mencuci semua piring dan gelas-gelas kotor. Tangan kirinya memutar tombol di mesin cuci. Satu persatu piring dan gelas dicuci dengan air sabun menggunakan spon. Baru saja niat tulus Paijo akan membereskan semuanya. Terdengar suara si anak bungsunya merengek minta susu.
“Susu, bu. Susu ….”
Mendengar suara anak bungsunya menangis, Mar, istrinya tak beranjak sedikit pun dari tidurnya. Padahal jarak mereka hanya dipisahkan kasur yang berbeda. Terpaksa Paijo menghentikan pekerjaannnya. Sadar sedari tadi kopi hitam yang ia buat belum sama sekali terjamah. Paijo lantas menyesap tiga kali tegukan. Rasanya seperti mendapatkan kenikmatan yang tiada tara. Padahal ia berharap dapat menikmatinya jika ditemani sigaret. Tak apalah setidaknya kerongkongannya tidak mengering. Setelah dilewati aliran hangat nan manis meski agak pahit. Paijo melihat si Pumpum yang sudah menangis histeris. Marni tetap bergeming.
“Kamu tidak mendengar anakmu nangis, Mar?’
“Kamu saja yang buat susunya.”
“Dimana dot-nya?’
“Cari saja di lemari piring.”
Dengan menelan air ludah, Paijo terpaksa mengerjakan arahan istrinya. Jika saja bukan karena kepala rumah tangga tentunya ia enggan mengerjakan semua itu. Baru satu hari ia injakkan kakinya di rumah, rasanya jika setiap pagi harus seperti ini, ia enggan untuk kembali. Padahal jauh-jauh pulang dari tempat bekerja hanya ingin merasakan nikmatnya berbagi dengan keluarga.
“Berapa sendok susunya, Mar?” suara meninggi diutarakan Paijo dari dapur agar terdengar oleh istrinya yang ada di kamar.
“Empat sendok seratus lima puluh sese.” Jawab Marni tak kalah kencang suaranya.
Sambil berjalan ke arah si Pumpum, Paijo mengocok-ngocok botol dot. Anak itu langsung meraih botol dot. Tangisannya seketika terdiam.
“Kamu, udah gede masih nyusu, Pum. Ntar kamu sering ngompol.”
Pumpum, anak bungsu Paijo yang postur tubuhnya tampak gempal dan bongsor. Ia tidak memedulikan apa kata bapaknya. Ia kembali memejamkan kedua matanya setelah mulutnya tersumpal botol dot. Sejenak Paijo melirik ke arah istrinya yang masih bergulung dengan selimut di kasur sebelah. Hanya tampak beberapa lembar rambutnya yang menyembul keluar dari selimut. Paijo menarik napas dalam lalu megembuskannya pelan. Belum juga jarum jam menuju angka delapan, badannya sudah seperti setrikaan di pagi hari. Tenaganya nyaris habis mengerjakan ini itu.
Si Pumpum tampak sudah kembali tidur pulas. Dot yang dari tadi penuh sudah tak bersisa, hanya meniggalkan gelembung-gelmbung air di dalamnya. Paijo penasaran dengan istrinya. Tangan kanannya meraih selimut motif bunga itu dan meraba kening Marni.
“Kamu demam?”
Marni menggeleng. Hanya tampak bulir bening menggelindng dari sudut mata Marni. Paijo semakin tak paham. Apa yang terjadi dengan istrinya. Yang ia tahu istrinya akan berselimut dan bermalas-malasan saat sedang datang bulan saja.
“Ada yang salah denganku, Mar?”
“Apa aku sudah tak menarik lagi, Mas?
Hening.
Kedua mata mereka saling menatap. Sesekali memejam. Tak ada jarak di antara mereka. Yang terdengar hanya desahan napas keduanya. Marni tak sendiri lagi bergulung dalam selimut. Senyum mengembang tampak dari wajah Marni. Paijo baru paham.***
Garut, 1 Agustus 2023
BIODATA
Lia Laeli Muniroh. Pegiat literasi dan penikmat sastra. Bergiat di komunitas menulis NIMU CLUB sejak 2021. Berprofesi sebagai penulis dan pengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di MA PLUS ALMUJAMMIL, Garut-Jawa Barat. Tulisan cerpennya tersebar di beberapa buku antologi dan media massa nasional seperti: Kompas.id, Radar Bromo, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Suara Merdeka, Sastra Riau, Cendananews.com, Idestra.com, mbludus.com, dll. Memenangi berbagai lomba Menulis berbau sastra. Buku-buku yang telah diterbitkan: Anak Rantau Jadi CEO (2022), Warisan Cinta Penjerat Asa (novel, 2022), Dari Lelah Hingga Berdusta (kumcer, 2024). Domisili di Kabupaten Garut, Jawa Barat. IG:@lialaelimuniroh, FB: Lia Laeli Muniroh.
Ni Putu Sunindrani lahir di Denpasar, 10 Maret 1979. Dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan garmen di Denpasar. Melukis baginya adalah terapi batin dan sarana menghibur diri.