Ilustrasi pekerja – Gelombang pehaka benar-benar kian meresahkan. Sudah 52 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan.
Nasional, Balipolitika.com – Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) berlanjut di beberapa sektor di dalam negeri. Sejak awal tahun hingga 26 September 2024, tercatat sudah 52.933 pekerja yang menjadi korban PHK.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyebut, di bulan September saja, kasus PHK sudah bertambah sebanyak 6.753 orang. Jika sejak awal tahun, jumlahnya mencapai 52.993 pekerja.
“Total PHK per 26 September 2024 sebanyak 52.993 tenaga kerja, meningkat (dari periode yang sama tahun lalu),” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker, Indah Anggoro Putri dalam keterangannya.
Adapun, kasus PHK terbanyak terjadi di Jawa Tengah dengan total 14.767 kasus, lalu Banten 9.114 kasus dan DKI Jakarta 7.469 kasus.
Sementara, berdasarkan sektornya, kasus PHK terbanyak berasal dari sektor pengolahan yang mencapai 24.013 kasus.
Kemudian, sektor jasa yang menyampai 12.853 kasus dan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang mencapai 3.997 kasus.
Peningkatan kasus PHK juga selaras dengan peningkatan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Ketenagakerjaan telah menyalurkan klaim untuk program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebesar Rp 182,13 miliar sejak Januari 2024 hingga Mei 2024. Total tersebut kepada 24.450 peserta klaim JKP.
Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun, mengungkapkan klaim JHT oleh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 539 ribu klaim atau 30,63 persen, dengan total manfaat senilai Rp 6,19 triliun.
Kemudian, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan 1,7 juta klaim untuk jaminan hari tua (JHT) dengan total manfaat mencapai Rp 26,33 triliun.
“Mayoritas klaim JHT karena peserta yang mengundurkan diri, sebanyak 1 juta klaim atau 57,32 persen, dengan total nominal mencapai Rp 11,55 triliun,” jelas Oni Jumat lalu.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), sebanyak 46.240 pekerja terkena PHK pada Januari-Agustus 2024.
Mayoritas pekerja yang di-PHK berasal dari sektor TPT. Jumlah ini bisa saja bertambah mengingat banyak perusahaan TPT yang tidak melaporkan tindakan PHK kepada karyawannya, apalagi di kalangan UMKM.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengatakan, tren penutupan pabrik lalu PHK karyawan akan terus terjadi selama pemerintah tidak serius menutup rapat celah impor TPT ilegal.
Lantas, pabrik-pabrik yang masih beroperasi pun tidak mampu berproduksi secara optimal, mengingat produknya kalah saing dengan produk impor ilegal. “Posisi saat ini utilisasi TPT secara nasional tinggal 40 persen,” kata Redma.
APSyFI menyoroti kinerja Satgas Anti Impor Ilegal yang tidak efektif karena hanya berwenang terhadap penindakan di pasar.
Padahal, pintu masuk yang menjadi penyebab utama maraknya impor TPT ilegal berada di bawah Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Sampai saat ini tidak ada niatan dari Bea Cukai untuk memperbaiki. Justru mereka malah sibuk mencari alasan,” kata Redma.
Masa kerja Satgas Anti Impor Ilegal yang melibatkan berbagai kementerian, Kejaksaan Agung, hingga Badan Intelijen Negara (BIN) akan berakhir pada Desember 2024.
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana khawatir, Satgas hanya hadir layaknya seremonial semata.
Tidak tahu seperti apa proses hukum atas terduga pelaku importasi TPT ilegal yang di bekuk Satgas. “Publik juga tidak siapa pelaku-pelaku impor ilegal,” imbuh dia.
API tak menampik adanya sikap wait and see dari importir TPT ilegal semenjak adanya Satgas Anti Impor Ilegal.
Namun, bukan berarti mereka kapok untuk berjualan di Indonesia. Apalagi, terdapat oknum-oknum yang biasa membantu kegiatan importasi ilegal tersebut. Alhasil, penindakan hukum terhadap pelaku impor ilegal terkesan setengah hati.
Lebih lanjut, prospek industri TPT masih akan suram sampai akhir tahun nanti, meski terdapat momentum libur natal dan tahun baru.
Hal ini seiring kondisi ekonomi yang tidak stabil dan tandanya daya beli masyarakat yang melemah. “Sepertinya permintaan tidak akan signifikan dan itu pun akan di makan oleh barang impor,” tandas Redma. (BP/OKA)