Ilustrasi: Ni Putu Sunindrani
Mengubah Diri Menjadi Irama Sunyi
Waktu meniti langkah yang patah
dalam lajur yang tak hingga sepinya
menerbangkan kekacauan dengan desik di kulit bahuku
hancur jiwaku
telah menjelma birama sunyi
menderai serempak nadir
mengubah diri menjadi emosi
Akar-akar keterpaksaan berlarian buta
di antara ada dan tiada
lantas tiba waktuku terbisu sendiri
mendengar makian yang sering kau gaungkan
Oh, betapa ! tiada sanggup aku menunggu tempias kata dalam kita
Sebelum sesap dari utara
menyapu habis kata di alir darahku
mencari bahasa yang tunggal
kumau burung kertasku tak lagi menggapai makna-makna
yang terbit di kilat matamu
Ternate, 12 Februari 2024
Ada Tanya Yang Membekas Di Kening
Malam yang terjaga mendongak
pada atap-atap biara sambil berbisik; satu ketukan
dua ketukan membawa malapetaka.
Setiap malam kulihat puluhan bunga menolak mentah-mentah bunyi dalam kamar
yang mencari celah sebelum usia menumbangkan rasa iba
dan di sepanjang jalan pulang sepotong kemungkinan berupaya memoles makna
tepat sebelum kesepian memostingkan air mata
Puisiku tak pernah bisa menyelesaikan bekal di perjalanan pesakitan selanjutnya
Puisiku tak pernah menemukan setumpuk harapan yang membungkus trauma dari masa lampau
bahkan setelah kuselesaikan ciumanmu dengan kemiskinan yang membeku
Mungkin aku hanyalah bingkai
yang pernah singgah setelah cinta mereka
Ternate, 14 Februari 2024
Dunia Yang Gugur
Kubungkus kenangan yang tak pernah dilalui
menampung resah dan gelisah yang dijadikannya puisi indah
membuat satu persembahan
yang lembab di kedua sungai pipimu
Tak lekas pulih…
sebuah senyum
mengalir sepi
seperti sebuah nama
tertiup selalu sakit
menjelma salah kita, aku dan kau
atau kita yang lain
Nampaknya hangatnya pelukanmu
Dirasa merangkul arti yang lain
melempar kabar dengan pesan singkat
“segala cerita yang terukir, hanyalah sisa kerikil-kerikil yang tajam “
Ternate, 2 Januari 2024
Pada Lembah Kesedihan
Kumpulan rintik hujan membaca hadirmu
Merangkum rangkaian petaka seperti daftar isi
Barisan kecupmu semakin mekar di depan mata
Mereka bilang dengan begitu, engkau abadi pada tiap gelap dan cahaya
Untuk alasan dan kemunduran,
berada di sampingmu salah satu yang sangat kusesali
pada sela-sela ketidakmungkinan aku memilih untuk tidak bertahan
pada sebuah nyanyian yang gaung atau pada perhentian dari gerakmu
Mungkin suara yang kuabadikan adalah kesedihan dari pesonamu
nyata atas buruk dan ketidakberdayaan
Aku ingin pulang
Jika pada samuderamu cintaku tak lagi mengalir
Ternate, 19 Februari 2024
Membawa Pesan Kepada Waktu
Kujadikan cahaya yang paling terang
membawa pulang kepada waktu awal mula
dalam keindahan sajak yang terurai
aku mencari secercah puing kata-kata yang terbuang
saat kupikir kau adalah luka yang pernah ada
Jalur perasaan kita terlalu merisaukan
melambung tinggi dibuai halusinasi
membawa aroma tubuhmu pada kesedihan yang paling menakutkan
menghantam gemuruh rindu di palung dadaku
dan menjadikan aku sebagai kehancuran di masa lalumu
Dalam doa-doa keselamatan
Kutemukan kekosongan yang berbicara dengan dirinya sendiri
Menatap ketiadaan yang bersandar di bilik jendela
Ternate, 22 Februari 2024
BIODATA
Nandy Pratama Matali lahir pada tanggal 15 Februari 1997. Dia adalah seorang terapis kesehatan sekaligus mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Bumi Hijrah. Dia menulis sejak SMP berupa cerpen dan puisi. Buku puisinya berjudul Terjebak Puisi dan Ina. Fb: Pratama Matali, IG: @nandymatali.
Ni Putu Sunindrani lahir di Denpasar, 10 Maret 1979. Dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan garmen di Denpasar. Melukis baginya adalah terapi batin dan sarana menghibur diri.