DENPASAR, Balipolitika.com– Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Dapil Bali, Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H., soroti tragedi terbunuhnya seorang tahanan di sel Polresta Denpasar, Rabu, 4 Juni 2025 lalu.
Ironisnya, tahanan dugaan kasus pencabulan itu tewas dalam posisi belum 1×24 jam mendekam di sel Polresta Denpasar karena diduga dianiaya pengguni sel lainnya.
‘’Siapa pun yang bertugas saat itu, termasuk pimpinannya, wajib bertanggung jawab, baik dalam konteks tugasnya sebagai polisi pengayom masyarakat maupun sebagai warga negara yang sama kedudukannya di depan hukum. Propam Polda Bali mesti secara transparan dan tegas mengusut petugas yang bertanggung jawab. Kapolresta juga tidak boleh lepas tangan atas peristiwa yang memakan korban nyawa ini,’’ ujar Sudirta, Kamis, 19 Juni 2025.
Polda Bali melalui Kabid Humas, Kombes Pol Ariasandy, S.I.K. memang menyampaikan bahwa tiga anggota polisi telah menjalani penempatan khusus (patsus), meski demikian Sudirta menilai bagaimana pun juga insiden nahas ini membuat masyarakat yang keluarganya berada dalam tahanan tahanan institusi kepolisian jadi was-was.
Was-was dimaksud jelas Sudirta lantaran berbagai pihak mengkhawatirkan keamanan dan keselamatan sanak keluarganya jika terjerat kasus mengingat fakta membuktikan di tempat yang paling aman seperti sel tahanan Polresta Denpasar justru insiden pembunuhan terjadi.
Tak ingin kondisi ini menjadi preseden buruk, Sudirta mengingatkan kepolisian selain menegakkan hukum juga wajib mengayomi masyarakat, termasuk mereka yang menjadi tahanan dalam status tersangka.
“Negara memberikan tugas dan kewenangan maupun anggaran kepada kepolisian untuk itu. Anggaran itu bersumber dari pajak rakyat. Tentu kita mengapresiasi langkah Kapolda dan Propam Polda Bali sudah mengambil langkah menetapkan 3 orang petugas dalam status patsus,’’ kata Sudirta.
“Kalau pelaku pengeroyokan sudah ditetapkan sebagai tersangka, petugas yang karena kelalaiannya menyebabkan tahanan kehilangan nyawa, juga harus diusut seperti halnya para terduga pelaku di daerah lain karena semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum,’’ lanjut Sudirta.
Seperti diberitakan berbagai media, pada Rabu, 4 Juni 2025 sekitar pukul 21.30 Wita, seorang pria berinisial AI (35 tahun) yang ditahan karena kasus dugaan tindak pidana pencabulan, meregang nyawa di dalam sel tahanan Polresta Denpasar.
Dugaan awal, penyebab kematian korban karena dikeroyok oleh sesama tahanan dan polisi menyebut 6 tahanan kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka, yang sebagian besar tersandung kasus narkotika dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan yang menyebabkan kematian.
Sudirta mengaku mendapat pertanyaan dari berbagai kalangan masyarakat apakah cukup pelaku pengeroyokan atau penganiayaan yang dijadikan tersangka?
Bagaimana halnya dengan petugas yang bertugas di hari H, serta seberapa jauh Kapolresta Denpasar harus bertanggung jawab?
Apakah Propam Polda Bali dalam hal ini sudah memeriksa dan meminta pertanggungjawaban Kapolresta Denpasar dan Kasatreskrim Polresta Denpasar?
“Kalau sudah, bagaimana hasilnya? Itu seharusnya diumumkan secara transparan agar masyarakat tidak menaruh curiga tentang kemungkinan adanya perlakuan pilih kasih atau perlindungan yang berlebihan terhadap sesama anggota korps kepolisian. Kalau benar sudah diperiksa Propam Polda Bali, hasil pemeriksaan harus disampaikan ke publik secara transparan. Jangan sampai masyarakat menuding ada ketidaksamaan antara pelaku pengeroyokan dan petugas yang karena kelalaiannya mengakibatkan penganiayaan sampai menghilangkan nyawa tahanan lain,’’ tandas Sudirta.
Sudirta menggarisbawahi ketika seseorang telah berada di bawah penguasaan negara, maka nyawa dan keselamatannya adalah tanggung jawab penuh negara, dalam hal ini, aparat kepolisian yang menahan.
“Penahanan, sebagaimana disebut dalam hukum acara pidana adalah bagian dari proses hukum. Fungsinya mencegah tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya. Tapi yang tak boleh dilupaka, penahanan bukanlah hukuman. Tersangka belum tentu bersalah sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, menyatakan tersangka atau terdakwa bersalah dan dijatuhi hukuman oleh majelis hakim di pengadilan. Maka, ketika berstatus tersangka dan ditahan, seorang tahanan tetap punya hak atas rasa aman, kesehatan, dan kehidupan, sebagai hak asasi manusia di negara yang memuliakan hak asasi manusia, sebagaimana falsafah negara dan bangsa, Pancasila,” tutup Sudirta. (bp/ken)