BALI, Balipolitika.com – Manawa Dharmasastra VII, menerangkan bahwa sepuluh penerapan Hindu agar sukses (Dharma Sidhyartha) harus pada lima dasar pertimbangan.
Di antaranya, Iksa, Sakti, Desa, Kala, dan Tattwa. Iksa adalah pandangan, cita-cita seseorang atau masyarakat tertentu.
Artinya bahwa Dharma Agama Hindu harus penerapan dengan memperkuat pandangan atau cita-cita seseorang.
Yaitu Agama Hindu harus memberi nilai tambah pada jati diri seseorang. Serta Hindu harus meningkatkan kualitas moral dan tahan mental seseorang dalam menjalankan cita-citanya. Termasuk dalam menjalankan profesinya.
Kemudian ada Sakti, yaitu kemampuan. Dalam Wrhaspati Tattwa 14, ‘Sakti ngarania ikang sarwa jnana lawan sarwa karta’. Ini berarti Sakti namanya orang yang banyak ilmunya dan banyak kerjanya.
Hal ini bermakna, bahwa Agama Hindu menyajikan banyak pilihan dalam mengamalkan ajaran agama.
Sesuai dengan kemampuan (Sakti) seseorang. Pilihan sesuai dengan tingkat dan ragam kemampuan manusia.
Oleh sebab itu, semua tingkat dan ragam kemampuan dapat mengamalkan ajaran Hindu. Dari yang miskin hingga yang paling kaya.
Dari yang bodoh hingga para ilmuwan. Dari yang berkuasa hingga tidak punya kuasa. Intinya adalah keikhlasan hati yang suci berbakti pada Tuhan.
Dasar ketiga adalah Desa, yang berarti ketentuan-ketentuan setempat yang teranut oleh suatu masyarakat dalam suatu wilayah tertentu. Kata Desa ini,berasal dari Bahasa Sansekerta. Dis yang berarti patokan atau petunjuk rohani.
Kemudian dari sinilah timbul kata Upadesa, yang artinya sekitar petunjuk kerohanian. Hitopadesa artinya petunjuk kerohanian untuk mendapatkan kebahagiaan (Hita). Brahmopadesa artinya petunjuk kerohanian untuk mencapai alam ketuhanan.
Desa inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dalam menjalankan Dharma. Artinya menjalankan ajaran agama, hendaknya sesuai dengan norma-norma spiritual yang sudah berlaku baik di suatu tempat.
Kemudian ada Kala, atau waktu. Dalam ajaran Hindu, empat waktu yaitu Krta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Tentunya cara beragama setiap zaman ini tidak sama.
Sebab dalam ilmu Astronomi Hindu, adanya waktu baik dan buruk untuk melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan.
Di Bali dalam menentukan waktu terbaik, dengan istilah dewasya atau waktu terang dan baik.
Dalam Chandogya Upanisad, umat Hindu penganut Weda agar melakukan pemujaan tiga kali sehari.
Yaitu saat pagi hari, siang hari, dan sore hari (sandhya dina). Sembahyang pagi untuk memperkuat Sattwam. Karena waktu pagi adalah Sattwika Kala.
Kemudian sembahyang siang, guna mengendalikan sifat Rajas. Sedangkan sembahyang sore untuk mengendalikan sifat Tamas. Makanya dalam Hindu hingga saat ini adanya Tri Sandhya.
Yang terakhir adalah Tattwa, atau hakekat kebenaran Weda yang kekal abadi. Semuanya tidak boleh menyimpang dengan hakekat kebenaran Weda itu. Kebenaran Weda tertinggi adalah Satya.
Dalam Slokantara 2, Satya lebih tinggi nilainya dari seratus suputra (anak yang utama). Kemudian seorang suputra lebih tinggi nilainya, dari seratus kali berupacara yadnya.
Yadnya tidak hanya berarti upacara agama semata. Dalam Bhagawad Gita III, 9 bahwa pekerjaan itu sebagai yadnya dan untuk yadnya. Bahkan dana punia pun tergolong yadnya.
Sehingga dalam sloka 31, Bhagawad Gita adalah orang yang baik. Adalah orang yang memakan sisa-sisa dari yadnya.
Kemudian yadnya yang paling utama adalah yadnya ilmu pengetahuan atau Jnana Yadnya. Berbakti kepada pandita pun adalah yadnya.
Dalam pandangan Hindu, pernikahan dianggap sebagai ikatan suci antara seorang pria dan seorang wanita. Selingkuh atau perselingkuhan dianggap sebagai pelanggaran terhadap ikatan ini dan dapat memiliki konsekuensi karma.
Kemudian ada beberapa konsep yang terkait dengan hukuman selingkuh dalam pandangan Hindu:
1. Karma: Tindakan selingkuh dianggap sebagai tindakan yang tidak baik dan dapat menghasilkan karma negatif. Karma ini dapat mempengaruhi kehidupan saat ini dan kehidupan mendatang.
2. Dharma: Pernikahan adalah bagian dari dharma, yaitu tatanan moral dan etika. Selingkuh dianggap sebagai pelanggaran terhadap dharma dan dapat merusak keseimbangan sosial dan spiritual.
3. Punishment: Dalam beberapa teks Hindu, seperti Manusmriti, disebutkan bahwa pasangan yang berselingkuh dapat dikenai hukuman, seperti pemisahan atau bahkan hukuman fisik. Namun, hukuman ini dapat berbeda-beda tergantung pada konteks dan interpretasi.
Namun, perlu diingat bahwa pandangan Hindu tentang selingkuh dapat berbeda-beda tergantung pada interpretasi dan tradisi. Beberapa mungkin lebih menekankan pada pentingnya pengampunan dan rekonsiliasi, sementara yang lain mungkin lebih menekankan pada konsekuensi karma. (BP/OKA)