BULELENG, Balipolitika.com – Aksi protes terjadi di Buleleng, Bali. Kaitan dengan suara bising akibat aktivitas PLTGU Pemaron.
Masyarakat yang bermukim di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Pemaron, Desa Pemaron, Kecamatan Buleleng mendatangi Kantor Bupati Buleleng pada Senin (16/6). Mereka mengeluhkan suara bising serta asap hasil operasional pembangkit listrik tersebut.
Setidaknya ada belasan masyarakat yang turut datang ke lobi kantor Bupati Buleleng. Mereka membawa spanduk yang meminta penghentian operasional pembangkit listrik tersebut.
Didampingi Ketua Adhoc Forum Komunikasi Lingkungan (Forkom Link), Nyoman Tirtawan, masyarakat juga menuntut dua hal.
Pertama menghentikan operasional PLTGU/Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), atau membebaskan pemukiman masyarakat di sekitar dengan membeli aset masyarakat.
“Investor harus taati undang-undang lingkungan. Kami warga terdampak betul-betul dirugikan. Jangan berinvestasi tapi merusak dan merugikan kami,” kata Tirtawan pada orasi tersebut.
Salah satu warga bernama Mariono, meminta agar operasional pembangkit listrik tersebut dihentikan. Sebab asap, getaran, hingga kebisingan sangat mengganggu aktivitas masyarakat sekitar.
Mariono yang bermukim di Perumahan Nirwana bernama mengaku sangat terganggu. Apalagi rumahnya berjarak sekitar 20 hingga 50 meter dari PLTGU Pemaron.
“Kita kami masih ingin hidup panjang. Sedangkan kami sudah terdampak. Banyak masyarakat kami yang sakit. Ya sakit hati, sakit badan juga. Karena pembangkit listrik yang begitu mengganggu keberadaannya,” keluh dia.
Mariono mengaku pada tahun 2020 lalu, lokasi sekitar aman-aman saja. Hingga sekitar 7 sampai 8 bulan terakhir, pembangkit listrik ini kembali beroperasi menggunakan mesin diesel.
Awalnya operasional diesel dimulai dari pukul 8.00 Wita hingga 22.30 Wita. Setelah ada masyarakat yang protes, operasional dikurangi menjadi pukul 20.30 Wita.
“Ini bukan hanya jangka waktu kebisingan saja. Melainkan dampaknya. Banyak masyarakat kami yang mulai bongol-bongolan (budek). Tak hanya itu kami khawatir jangka panjangnya banyak masyarakat yang mengalami penyakit pernapaasan,” katanya.
Suara bising mesin diesel yang dikeluhkan masyarakat bahkan belum aktif secara keseluruhan. Sebab sesuai informasi, total ada 140 unit mesin diesel yang akan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.
“Menurut ceritanya ada 140 mesin diesel yang per satu unitnya sebesar kontainer. Kita mendengarkan mesin diesel di sawah saja sudah bising. Apalagi ini 140 mesin akan dipasang. Belum dipasang 140 saja kami sudah bongol, pernapasan juga sudah ngos-ngosan,” ucapnya.
Dampak suara bising tentu harus sesuai persetujuan dari masyarakat sekitar. Mengenai hal ini, Mariono mengatakan sebelumnya, pihak pembangkit listrik memang sempat mengadakan pertemuan. Hanya saja tidak pernah ada persetujuan dari masyarakat.
“Memang sempat bertemu, tapi bentuknya bukan koordinasi, melainkan lebih ke pemaksaan. Karena pada waktu pertemuan tidak ada satupun warga yang setuju. Tapi dipaksakan untuk beroperasi,” katanya.
Mariono menambahkan, ini merupakan kedatangan keduanya ke kantor Bupati Buleleng untuk menyampaikan keluhan. Sebelumnya ia sempat menyampaikan keluhan ke perbekel, namun tidak ada tindak lanjut.
“Intinya kami ingin solusi. Kalau memang bisa diberhentikan, ya berhentikan. Tapi kalau tidak bisa dihentikan, bebaskan lahan kita agar kita tidak menderita secara batin,” imbuhnya.
Informasi yang dihimpun, suara bising ini tidak hanya mengganggu masyarakat Desa Pemaron, namun juga empat desa lainnya. Di antaranya Desa Baktiseraga, Panji Anom, Panji, dan Tukad Mungga.
Sementara itu, Wakil Bupati Buleleng, Gede Supriatna mengatakan pihaknya akan mendalami lagi keluhan yang disampaikan masyarakat Pemaron.
Pihaknya telah memerintahkan Satpol PP dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Buleleng untuk mencari informasi lebih detail pada manajemen sekitar.
“Kita dalami lagi. Karena ada perubahan sistem dari pembangkit listrik tenaga gas uap menjadi tenaga diesel. Tentu kita cari informasi seperti apa kok bisa terjadi perubahan,” ucapnya. (BP/OKA)