Pura di Bali – Pemujaan dewa-dewi dan bhatara-bhatari dalam Hindu di Bali memiliki banyak tujuan. Simak alasan mengapa Tuhan di Hindu punya banyak nama.
BALI, Balipolitika.com – Mengapa dalam Hindu Bali, Tuhan memiliki banyak nama?
Berikut penjelasan Tri Handoko Seto, mantan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kemenag RI.
“Memang begitu konsep ketuhanan kita (Hindu). Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti,” sebutnya.
Di mana bermakna, Tuhan itu satu, dan oleh orang bijaksana menyebut dengan banyak nama.
Lanjutnya, sebenarnya manusia pun memiliki banyak nama dan panggilan. Semisal seseorang pria, bisa menjadi suami, ayah, kakak, adik, dosen, dan lain sebagainya. Namun dia tetap satu orang itu.
Hal ini juga di jelaskan oleh mendiang Ida Pedanda Wayahan Bun, yang mengungkapkan konsep ketuhanan dalam ajaran agama Hindu.
Mendiang Ida pedanda dari Griya Sanur Pejeng Gianyar ini, menjelaskan bahwa dalam Weda sangat jelas bahwa Tuhan adalah satu.
“Dalam puja Trisandya juga, ada sebuah mantra berbunyi ‘Eko Narayana Na Dwityo Asti Kascit’ yang berarti bahwa Tuhan adalah tunggal tidak ada duanya,” jelas beliau beberapa tahun lalu.
Sementara, dalam kitab suci Weda secara jelas ‘Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti’ yang artinya pun sama, yakni Tuhan hanya satu tidak ada duanya.
“Namun orang bijaksana menyebutkan Tuhan dengan banyak nama,” imbuh mendiang ida pedanda.
Beliau menyebutkan, bahwa kata ‘Bahuda Wadanti’ memiliki nama banyak makna.
Dalam artian banyaknya fungsi Tuhan, dan setiap fungsi Tuhan itu kerap memiliki nama atau sebutan dari umatnya.
Seperti misal, Tuhan sebagai Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, bahkan Baruna (laut).
Termasuk Dewa Candra (bulan), Surya, dan bintang-bintang di langit, merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.
“Kemudian dalam agama Hindu sebutan dengan Sang Hyang Siwa,” jelas beliau.
Literatur agama lainnya, yang menjelaskan Tuhan satu adalah Kekawin Arjuna Wiwaha.
Mendiang ida pedanda menyanyikan sebuah bait kekawin tersebut.
“Sasi wimba haneng gata, mesi banyu. Ndan asing suci nirmala mesi wulan. Iwa mangkana, rakwa kiteng kadadin. Ring angabekin yoga kiteng sakala,” ujar beliau sembari matembang. Arti dari bait kakawin ini sangat dalam tentang ketuhanan di dalam Hindu.
“Secara garis besar, arti dari bait tadi adalah adanya bayangan bulan dalam periuk yang berisi air jernih,” ujar beliau menjelaskan.
Lanjut beliau, meskipun ada 100 periuk bahkan sejuta periuk berisi air jernih dan memantulkan bayangan bulan di langit. Namun bulan tersebut tetaplah satu.
“Demikianlah bayangannya, layaknya sinar suci Tuhan yang banyak. Seakan-akan beliau banyak, namun sejatinya hanya satu,” tegas Ida pedanda.
Untuk itu, jelas bahwa konsep ketuhanan dalam agama Hindu adalah monoteisme. Atau secara harfiah, berarti Tuhan adalah satu atau tunggal.
“Hindu mengenal Siwa sebagai Tuhan. Sehingga, kita melihat bumi adalah Siwa, air juga Siwa, api juga Siwa, angin juga Siwa dan akasa juga Siwa,” sebut beliau.
Itu dalam bhuana agung, atau skala yang lebih besar. Sedangkan dalam bhuana alit, yakni tubuh manusia itu sendiri. Suara juga disebut Siwa, rupa juga Siwa, dan rasa juga Siwa.
“Dalam diri manusia juga di sebutkan Siwa atau Tuhan. Budi, manah dan ahamkara juga Siwa,” imbuh beliau.
Bagi mendiang ida pedanda, inilah kebesaran Tuhan sehingga seluruh dunia bahkan alam semesta dipenuhi oleh Tuhan itu sendiri.
Kemudian orang bijaksana, para mahaguru menganggap Tuhan ada di mana-mana. Tuhan tidak hanya berada di pratima saja, tidak pada api saja, tidak dalam diri manusia saja, tetapi di setiap sudut dan partikel terkecil pun beliau berstana. (BP/OKA)